Bab 5. Mak Lampir cantik

1281 Words
Dua hal yang akan terjadi saat seseorang terlanjur sakit hati. Pertama, berubah menjadi lelaki brengsekk, dengan melampiaskan sakit hati pada wanita manapun yang dianggap bisa dimanfaatkan. Kedua, berusaha menjadi lebih baik, membuktikan diri bahwa penolakan dan sakit hati adalah cambuk untuk hidup lebih baik lagi. Sialnya, Anjas justru memilih opsi nomor dua. Beberapa kali bertemu sudah meyakinkan Maureen bahwa lelaki yang pernah ditolaknya itu berubah semakin lebih baik, yang membuat penyesalan dalam dirinya semakin meronta-ronta. “Tidak, untuk apa aku benci.” jawabnya dengan senyum lembut. Sial, Maureen menyukai senyumnya. “Kita adalah teman, benar bukan? Seperti yang sering kamu ucapkan dulu, bahwa kita hanya sebatas teman dan nggak akan lebih.” Anjas mengingatkan Maureen akan ucapannya dulu. “Oh,, iya benar. Kita adalah teman.” Maureen tersenyum canggung. “Aku hanya berpikir kamu membenciku karena penolakan waktu itu.” Anjas tersenyum samar. “Penolakan waktu itu?” ia mengulangi pertanyaan. “Aku tidak menganggapnya serius, jangan terlalu dipikirkan. Lagipula ada benarnya juga kamu menolakku saat itu, sebab ternyata aku tidak sesuka itu padamu.” Kedua mata Maureen mengerjap. Apa dia bilang? Tidak sesuka itu padanya? Ya ampun,,, haruskah Maureen ingatkan kembali bagaimana lelaki itu begitu menempel padanya? Bahkan setiap hari ia datang menjemputnya menggunakan motor jelek yang sering mogok itu. Walaupun saat ini Anjas sudah memiliki mobil mahal, tapi lelaki itu pernah begitu mencintai motor butut yang selalu dibanggakannya, padahal motor tersebut kerap menyusahkan dengan mogok atau rusak. “Iya, namanya juga masih remaja labil. Nggak mungkin lah suka beneran.” balas Maureen tidak mau kalah. Ia tidak akan menunjukkan betapa menyesalnya saat ini, karena telah menolak Anjas dulu. Jika saja saat itu Maureen mau mendengarkan hatinya, mungkin saat ini ia sudah menjadi calon istri seorang CEO. “Iya, bisa-bisanya aku menempel padamu seperti lelaki nggak punya harga diri, padahal sudah beberapa kali kamu menolak ku.” “Iya..” Maureen meringis pelan. “Selamat ya, kamu sudah sukses sekarang. Aku masih gini-gini aja,” Maureen menatap penampilan dirinya dan penampilan Anjas, sungguh berbanding terbalik bagaikan bumi dan langit. Dimana lelaki itu mengenakan pakaian serba mahal dan rapi, sementara Maureen hanya mengenakan seragam biasa dengan tidak ada titel di depan namanya. “Iya,,,” balasnya. “Aku pamit dulu, masih banyak pekerjaan yang harus aku selesaikan. Salah satunya menyikat WC.” Maureen tersenyum jahil. “Aku duluan ya, Anjas.” Anjas hanya mengangguk samar, membiarkan wanita itu pergi begitu saja. Pertemuan yang tidak pernah diduga sebelumnya, bahwa ia akan kembali bertemu dengan wanita yang pernah menghancurkan hatinya. Wanita yang menjadi alasan mengapa ia mau kembali ke keluarga besarnya, setelah masa pemberontakan selama dua tahun lamanya. Anjas menghela lemah, ia sudah sampai di titik ini dengan usaha dan kerja kerasnya, tapi ia merasa masih ada yang kurang. Apakah kekurangannya itu ada pada hatinya, dimana ia belum menuntaskan kisah masa lalu? Anjas sangat berharap Maureen menjalani hidupnya dengan baik, atau setidaknya wanita itu bahagia dengan pasangannya, seperti yang diinginkannya sejak dulu, tapi dua kali bertemu di tempat berbeda, sudah sangat menunjukkan bahwa wanita itu tidak menjalani hidupnya dengan baik. “Sayang, ngapain?” terdengar suara Siska, yang membuat Anjas menoleh ke arah sumber suara. Wanita cantik itu tersenyum dan menghampiri. “Dari toilet.” balas Anjas. “Toilet ada disebelah sana, nggak salah jalan, kan?” tanya Siska bingung, melihat posisi Anjas saat ini yang berseberangan dengan lokasi toilet berada. “Ah,, iya. Lama nggak kesini jadi lupa.” Anjas menghampiri Siska, merangkul pinggang wanita itu. “Mau makan siang bersama?” tanyanya. “Boleh.” “Bareng Anjani, nggak apa-apa kan?” “Oke.” Anjas melepaskan rangkulannya, lalu menggenggam tangan Siska kembali masuk ke ruang meeting. Sementara itu dibalik pintu darurat, Maureen terdiam dengan menahan sakit dalam hatinya saat melihat adegan romantis yang sangat diimpikannya selama ini. Perlahan menutup pintu dan menyandarkan kening disana. “Lo bodoh banget, Ren. Lo salah nolak orang,” sesalnya. Anjas menjalani hidupnya dengan sangat baik, bahkan lelaki terlihat baik-baik saja, setelah penolakannya tempo dulu. Padahal hari itu, Anjas terlihat begitu sedih saat Maureen menolaknya dan meminta Anjas untuk tidak menempel padanya. “Gue kayaknya mau resign deh,,,” Maureen menghampiri Alifa, yang sudah terlebih dulu sampai di atap gedung, tempat favorit keduanya. “Kenapa lagi sih?!” tanya Alifa sambil melempar botol air mineral dingin ke arah Maureen. “Nggak betah.” balasnya, sebelum membuka botol air minum dan meneguknya hingga separuh. “Yakin? Baru pertama kali denger nggak betah kerja disini, padahal sebelumnya baik-baik aja. Apalagi banyak uang sampingan untuk beli makan, nikmat mana lagi yang kau dustakan?!” Maureen menghela lemah, “Gue nggak mau ketemu mantan gebetan gue tiap hari. Nggak nyaman aja.” jujurnya. “Gebetan? Siapa emang? Kayaknya nggak mungkin anak magang itu deh, wajahnya kelihatan polos tanpa dosa, nggak mungkin dia sempet suka sama tipe cewek Mak lampir kayak Lo.” Maureen tertawa. “Sialan Lo! Mana ada Mak lampir cantik kayak gue!” Alifa pun tertawa. “Lalu, siapakah lelaki sial yang pernah jadi gebetan Lo itu?!” “Bukan hanya gebetan, tapi itu laki pernah cinta setengah modar sama gue!” Maureen membanggakan diri. “Masa sih? Siapakah gerangan lelaki apes itu?!” “Lo ngejek banget sih!” Maureen memukul Alifa dengan botol air. “Kalau Lo tahu, gue jamin bakal kena serangan jantung!” “Siapa emang?” Alifa memasang wajah serius yang dibuat-buat. “Lo tau kan, rombongan tadi yang lewat persis depan muka kita?” Alifa mengangguk, saat ia mengerti maksud dari ucapan Maureen. “Salah satu dari mereka mantan gebetan gue.” “Yang mana? Nggak mungkin yang pake kacamata kayak Boboho bau kain kafan itu, kan? Atau cewek tengil yang kasih salam jari tengah.” “Bukan mereka berdua,” “Siapa lagi? Nggak mungkin lelaki tampan yang jadi kekasihnya Bos Siska, kan? Ketinggian banget mengkhayalnya kalau lelaki itu sempet suka Lo.” “Alsi, Alifa. Gue nggak bohong!” “Serius?!” Maureen menganggukkan kepalanya. “Dulu dia nggak seganteng sekarang, dulu culun banget.” “Ya ampun! Lo melewatkan tambang emas!” Maureen hanya menghela lemah, lalu mengangguk. Waktu itu… Beberapa tahun lalu.. “Ren, udah makan?” Anjas mentato dengan senyum kagum yang tidak pernah luntur di wajahnya saat menatap Maureen. “Lo mau traktir gue?” tanya Maureen dengan nada ketus, yang menjadi ciri khasnya saat bicara dengan Anjas. “Aku ada uang nih, cukup untuk kita makan berdua.” Anjas menunjukkan uang seratus ribu dari dalam kantong seragam. “Cukup kan, untuk kita berdua?” “Cukup nggak ya,,, kayaknya nggak deh.” Maureen memasang ekspresi sedih yang dibuat-buat. “Kalau begitu kamu aja yang makan, aku cuman nemenin aja. Gimana? Mau kan?” Anjas masih berusaha membujuk. “Gue mau kopi mahal, uang segitu hanya cukup untuk satu minuman aja.” “Nggak apa-apa, kamu aja yang beli. Yang penting kita bisa jalan,” Maureen tersenyum jahil. “Oke deh,,, tapi jangan pake motor butut Lo itu lagi ya? Malu ke Mall besar bawa motor butut.” “Aku pinjem motor Mas Anton, tenang aja.” Anjas terlihat begitu senang saat ajakannya diterima Maureen, meskipun dengan uang pas-pasan dan bisa dipastikan hanya cukup untuk membeli satu minuman mahal kesukaan Maureen saja. Tapi anjas sudah sangat merasa senang, baginya asal bersama Maureen, apapun akan dilakukan. Maureen memang kerap menjahili Anjas, membuat lelaki itu terlihat menyedihkan. Namun, jauh di lubuk hatinya yang paling dalam, Maureen tidak pernah sungguh-sungguh ingin membuat Anjas malu, tapi Maureen ingin membuat lelaki itu sadar mengingat kondisi ekonomi keluarga Anjas yang terbilang sangat pas-pasan, di mata Maureen Anjas tidak memiliki masa depan yang dapat merubah nasibnya. Namun ternyata dugaan itu meleset jauh, dimana anjas justru tumbuh menjadi sosok sukses idaman banyak wanita.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD