Bab 6. Musuh tambahan

1169 Words
“Mana duit!! Gue mau duit!!” teriakan kencang itu terdengar menyambut kepulangan Maureen dari tempat kerja. Sekitar pukul lima sore, ia baru sampai ke kediamannya, atau yang kerap disebut sebagai neraka olehnya. Biasanya di jam seperti ini salah satu musuh dalam hidupnya tidak akan berkeliaran di rumah, dia akan pulang saat dini hari dalam keadaan mabuk berat. Apes sekali hari ini, sebab sosok itu pulang lebih awal, sebelum Maureen melarikan diri atau bersembunyi di kamar. Maureen menghela lemah, menatap sebal ke arah lelaki yang juga menatap serupa padanya. “Ngapain Lo melototin gue?! Punya nyawa berapa Lo?!” lelaki yang bergelar Abang itu menghampiri, dengan tatapan tajam bak binatang buas yang hendak memangsa. Maureen segera memutus andang, padahal ingin rasanya mencakar atau memukul wajahnya hingga babak belur. Namun Maureen sadar bahwa ia hanya seorang wanita, sekeras apapun ia berusaha membela diri, pada akhirnya ia akan tetap kalah melawan buas nya Rizal. “Duit!” Ia mengulurkan tangannya ke arah Maureen. “Gue mau duit, yang banyak! Cepet!” Bicara tidak pernah pelan, seolah jarak diantara keduanya berjauhan. Dengan kondisi rumah petak yang serba sempit, suara berbisik pun akan terdengar, apalagi dengan suara Rizal yang begitu menggema dan berteriak, bisa dipastikan suara tersebut akan terdengar sampai keluar. Namun untungnya, lingkungan tempat tinggal Maureen sudah mentoleransi kebiasaan Rizal, atau mungkin sudah terbiasa dan membiasakan diri dengan segala keributan yang ada. “Nggak ada, duitku habis.” Maureen bersikap tenang, walaupun sebenarnya ia tengah mempersiapkan diri untuk menerima pukulan, entah dibagian mana lagi ia akan mendapatkannya. “Jangan berbohong!” sentak Rizal. “Aku tahu kamu menyembunyikannya!” “Nggak ada, Bang. Sumpah deh! Aku nggak punya uang, baru dua hari yang lalu Ibu minta buat beli beras.” Maureen menoleh ke arah wanita yang disebut Ibu, tapi sayangnya sikap dan kelakuan wanita itu tidak jauh berbeda dengan Rizal. Sama-sama kerap menyiksanya. “Ibu bilang kamu ada uang, dia lihat di dalam tas ada lima ratus ribu!” Maureen kembali menoleh ke arah ibu dengan tatapan kesal. Rupanya wanita itu diam-diam kerap memeriksa tas, bahkan kabarnya. “Iya, memang ada lima ratus ribu, tapi sudah aku kasih Ibu dua ratus. Sisanya tiga ratus untuk beli bensin dan makan.” “Bohong! Sini tasnya!” Maureen langsung memegang erat tas miliknya, “Nggak ada lagi.” Ia berusaha melindungi tas, dimana masih terdapat uang dua ratus ribu yang akan dipergunakan untuk keperluannya sehari-hari. “Sini!” tapi bukan Rizal namanya jika tidak memaksa, apapun yang menjadi keinginannya. Tas direbut paksa, bahkan Rizal langsung menumpahkan segala isi di dalamnya, termasuk beberapa alat make up milik Maureen hingga berhamburan ke lantai. Beberapa diantaranya langsung pecah seketika, tidak tertolong lagi. Tujuan Rizal hanya satu, yakni dompet berwarna merah tua. Ia langsung mengambil benda kecil itu dan langsung menjarah isinya tanpa sisa. “Jangan pernah berani berbohong! Kecuali kalau Lo punya nyawa cadangan!” Rizal melempar dompet yang sudah tidak ada isinya itu tepat ke wajah Maureen. “Jalangg murahan!” umpatnya, sebelum ia pergi meninggalkan kekacauan yang telah diperbuatnya. Maureen sadar jika uang tersebut sangat penting untuknya. Ia bisa menahan lapar karena tidak punya uang, tapi tidak dengan bensin untuk motor butut miliknya. Ia membutuhkan itu sebagai satu-satunya alat transportasi ke tempat kerja. Jika uang raib tak tersisa, ia tidak akan bisa sampai ke tempat kerja, dimana uang bisa dihasilkan disana. “Bang, jangan ambil semuanya. Aku butuh untuk bensin.” Maureen berusaha untuk mengambil kembali uangnya, walaupun mustahil Tapi setidaknya ia harus berusaha meyakinkan Rizal agar tidak mengambil semua uang miliknya. “Bang, janganlah diambil semuanya. Aku butuh,,,” belum sempat Maureen menuntaskan ucapannya, pukulan keras mendarat di wajahnya. Sangat keras dan sakit, hingga ia mengaduh kesakitan. “Lo mau mati?!” umpat Rizal, yang hendak kembali memukulnya. “Iya. Aku mau mati, bunuh aja kalau begitu. Aku capek dan muak hidup seperti ini!” Maureen balik menantang, tapi hal tersebut justru dijadikan kesempatan untuk Rizal kembali memukulnya. Lelaki yang sudah terpengaruh minuman beralkohol itu tidak hentinya memukul Maureen, sementara Ibunya hanya diam dibalik pintu kamar, menyaksikan bagaimana Maureen disiksa tanpa henti. Jika saja seseorang tidak datang menolong, mungkin Rizal akan terus memukulinya hingga benar-benar mati. “Lo yang minta ingin mati, gue hanya mengabulkan keinginan Lo. Tapi, Lo nggak bisa mati secepat itu, Lo harus cari uang lebih banyak lagi untuk gue!” ucap Rizal, sebelum pergi meninggalkan Maureen. Seseorang yang berhasil menolongnya hanya bisa menatap kasihan, “Kenapa nggak teriak sejak tadi, mungkin kamu nggak akan babak belur kayak gini.” “Aku memang sengaja diam, siapa tahu bisa mati lebih cepat. Makasih udah bantu, aku mau mandi dan kerja lagi.” ucapnya pada orang itu. “Jangan membahayakan diri hanya untuk menolong saya. Saya baik-baik aja.” Padahal wajahnya sudah sangat menunjukkan bagaimana keadaan Maureen saat ini, yang jauh dari kata baik-baik saja. Maureen segera masuk kedalam kamar, niatnya ingin membersihkan diri dan langsung berangkat ke lokasi kerja berikutnya, namun sebelum ia masuk kedalam kamar, langkahnya terhenti saat melihat ibunya masih berdiri, bersembunyi di balik pintu. “Aku belum mati, dan tidak akan mati sebelum melihat kalian berdua menyesal karena kerap memperlakukanku seperti binatangg. Tunggu pembalasanku, Ibu.” Maureen tersenyum manis, namun diakhiri dengan senyum dan tatapan penuh kebencian. “Aku tidak selemah yang kalian pikir.” ucapnya lagi, sebelum ia masuk kedalam kamar dan mengunci diri di dalamnya. Ia memang selalu menunjukkan keinginannya untuk membalaskan dendam, namun sampai hari ini Maureen belum juga berkesempatan untuk melakukannya. Ia masih menjadi sosok yang mudah ditindas di rumah, walaupun di luar rumah ia terkenal dengan sikap pemberani dan kasar. Hal tersebut dilakukan semata-mata karena ia tidak ingin seluruh dunia menginjak-injak dirinya, cukup dua makhluk kejam yang selalu berhasil membuat ia tidak berdaya sejak masih kecil. *** “Lo kerja dengan wajah seperti ini? Yakin pada mau beli minuman yang Lo jual?” Seorang senior datang menghampiri, menertawakan wajah Maureen yang terlihat lebam akibat pukulan Rizal tadi. Maureen tidak berhasil menyembunyikan luka, selain karena make up yang dimiliki sudah hancur, juga karena luka tersebut meninggalkan bekas yang begitu kentara, hingga make up saja tidak mampu menutupinya. “Mau bertaruh? Siapa yang lebih banyak dapat uang.” Maureen tersenyum tipis. “Nantangin Lo?!” “Nggak sih. Tapi, bukannya kamu butuh pembuktian siapa yang paling bisa menjual minuman lebih banyak?” Tatapan wanita itu semakin terlihat kesal, merasa ditantang oleh Maureen. “Ayo! Buktikan kalau kamu bisa, jangan cuman omong doang!” Maureen menganggukkan kepalanya. “Oke.” ia menerima tantangan tersebut dengan berani, lalu melangkah mendekati wanita itu lebih dekat lagi. “Tapi ingat, jangan pakai cara kotor dengan membuka celana dalammu hanya untuk menarik pembeli. Kita main aman dan jujur, oke.” Bisik Maureen, yang membuat wanita itu kian marah saja. “Anak baru, belagu lagi!” “Anak lama, perekk lagi.” Balasnya dengan senyum, sambil mengedipkan mata. Maureen memilih pergi untuk mengambil beberapa minuman, namun setelah jarak antara dirinya dan wanita itu cukup jauh, ia menghela lemah. “Ya ampun, tambah satu lagi manusia Dajjal, nggak cukupkah hanya dua?!” keluhnya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD