Bab 6

1349 Words
Setelah drama panjang dan tidak berkesudahan akhirnya aku setuju menikah dengan Rakha, aku akan membuatnya menyesal menikah dengan perempuan egois seperti aku. Aku nggak akan membiarkan dia menginjak-injakku seperti suami-suami lain di luar sana yang menginginkan istrinya menjadi pembantu di rumahnya sendiri. Aku juga nggak akan berhenti kerja meski sedang hamil. Dia pikir enak apa jadi bapak rumah tangga yang seharian berada di rumah, mengasuh anak dan membersihkan rumah. Tempat pertama yang kami datangi setelah memutuskan menikah adalah rumah mami Renny. "Mi, Rakha mau kawin." Mami Renny melihat ke arahku, wajahnya masih terlihat sangat kaget saat Rakha datang dan langsung bilang mau kawin, aku memberi kode agar Rakha lebih halus dalam menjelaskan kedatangan kami. "Maaf mi, maksud Rakha ... Rakha mau mami datang ke rumah Gema terus bilang ke bunda Sandra kalau Rakha mau tanggung jawab karena sudah buat Gema hamil," ucapnya sekali lagi. Wajah mami Renny semakin tegang saat mendengar alasan Rakha menikahiku, aku menunduk saking malunya. Dulu aku menolak saat mami Renny memintaku jadi menantunya dan sekarang aku hamil cucunya, aku sudah menjilat ludahku sendiri dan itu semua gara-gara b*****g homo yang duduk di sampingku tanpa menunjukkan rasa bersalah sejak aku terbukti hamil. "Tunggu ... mami nggak mimpi kan? Kamu hamil Gema?" tanya mami Renny ke arahku. Aku bisa apa? Kesepakatan sudah ditandatangani dan daripada hidupku semakin berantakan dan mengancam masa depanku akhirnya aku mengangguk pelan. "Oh, bagus deh. Berarti Rakha nggak homo dong. Buktinya kamu bisa hamil kan?" lanjut mami Renny dengan wajah gembira dan penuh kemenangan. Kenapa sih sepertinya mereka sangat suka dengan kehamilanku ini. "Oke ... oke ... mami akan lamar Gema untuk kamu, ini berita yang sangat membahagiakan bagi keluarga kita. Kamu tau? Mami pikir kamu itu homo loh soalnya nggak pernah kelihatan suka sama wanita," ujar mami Renny dengan girang dan mami Renny bergegas masuk ke kamarnya untuk bersiap-siap ikut bersama kami ke rumahku. "Mami bisa pingsan kalau sampai tau kamu itu benaran homo," bisikku pelan. Rakha mendekatiku lalu membalas dengan cara berbisik, "Homo tapi bisa kasih mami cucu kayaknya masih dimaafkan. Sekarang tergantung takdir, siapa tahu setelah menikah gue balik ke normal," bisiknya pelan. Aku mencubit pahanya lalu mengutuk nasib sialku kenapa bisa bertemu dan bersahabat sama manusia seperti Rakha. Cukup lama kami menunggu mami Renny selesai berdandan, entah sudah berapa gelas s**u diminum Rakha. Setahuku dia tidak suka s**u dan mungkin bawaan bayi ini mengubah semua kebiasaan Rakha. "Mbak, minta segelas lagi." pintanya ke mbak penjaga rumah. "Baik den, non mau minum apa?" tanyanya ke arahku. "Air mineral saja," balasku ramah. "Baik non." Tak lama mbak penjaga rumah datang dengan segelas s**u putih dan sebotol air mineral, Rakha langsung meneguknya sampai habis seakan tinggal di gurun pasir. Setelah susunya habis Rakha pun mulai menguap, dia mulai merebahkan kepalanya di pahaku dan lagi-lagi dalam hitungan detik aku mendengar dengkuran halus dari mulutnya. Baru sepuluh menit Rakha tidur, mami Renny keluar dari kamarnya dengan penampilan sangat rapi dengan kebaya berwarna toska, kain batik berwarna senada dan sanggul jawa seakan semua ini sudah dipersiapkannya saat Rakha memutuskan untuk menikah. "Ayo, yah katanya mau lamar Gema eh dia malah tidur," oceh mami Renny. "Mami cantik banget," pujiku dengan jujur. "Mami sudah persiapkan semuanya jikalau suatu saat nanti Rakha minta kawin dan akhirnya semua keinginan mami untuk melihat dia menikah terwujud dan mami semakin bahagia saat tau calon menantu mami itu kamu." Maaf mi, mami masih akan menganggapku menantu apa nggak kalau tau tentang rencana pertukaran kami. "Mi, sebelum kita ke rumah Gema. Rakha mau beritahu mami sesuatu hal penting," aku menoleh ke arah Rakha yang mulai kembali duduk ke posisinya semula. "Apa? Ayo buruan. Mami nggak sabar buat beritahu mbak Sandra tentang kehamilan Gema." "Mi, setelah menikah Rakha akan berhenti kerja lalu semua pekerjaan rumah tangga Rakha yang kerjain." Aku menendang kaki Rakha pelan agar dia menutup mulutnya, sejak kapan sih Rakha lemes banget mulutnya. "Maksud kamu ... kamu yang mengurus rumah, anak dan segala hal?" tanya mami Renny dengan wajah bingung. Rakha lalu mengangguk. "Oh ... kamu juga dong yang netekin cucu mami kalo sudah lahir?" Hampir saja aku tertawa lantang andai bukan mami Renny yang sedang berdiri di depanku. "Ya nggak lah, emangnya aku bisa ngeluarin asi. Kamu kan yang netekin anak kita?" tanyanya bingung ke arahku. "Mi, masalah netek meneteki nanti saja ya kita bahas. Bisa aku bicara empat mata dengan Rakha dulu sebelum semuanya berlanjut lebih jauh?" pintaku dengan sopan. Mami Renny mengangguk lalu meninggalkan kami berdua menuju mobil yang sudah menunggunya di teras rumah. "Elo benar-benar ya ... nggak perlu kasih tau mami masalah itu, mami bisa berpikir kalo gue ini akan menindas anaknya," ujarku dengan geram. Rakha mengangkat bahunya dengan santai. "Mending nggak ada dusta di antara kita, jadi mami nggak bakalan kaget saat melihat gue pakai apron dan memegang spatula setiap paginya." Lagi-lagi ada saja jawaban dari mulutnya, ngidam apa sih mami Renny saat mengandungnya. Aku sampai kehilangan kata-kata untuk membalas semua perkataannya. "Serah loe dah." Aku pun meninggalkan Rakha menuju mobil yang sama, mami Renny melihatku lalu menyuruhku duduk di sampingnya. "Makasih ya sudah mau menikah sama Rakha, mami hampir gila memikirkan kemungkinan Rakha itu homo. Mami nggak bisa bayangkan punya menantu sejenis sama dia, amit-amit deh. Kalo butuh sesuatu atau apapun jangan malu minta sama mami ya, mami waktu ngidam Rakha suka makan bebek loh ..." dan mami Renny sepanjang perjalanan menceritakan masa kecil Rakha dan makanan yang disukanya saat mengandung Rakha, pantasan Rakha pintar banget ngeles dan punya ribuan kata untuk menjawab pertanyaanku. Sesampainya di rumah, bunda sudah menungguku di teras bersama mbak Hanin dan mas kembarku. Ayah terlihat tidak ada, aku pun turun bersama mami Renny dan juga Rakha. Bunda menyalami mami Renny yang juga teman arisan. "Ayo jeng masuk, saya kaget loh saat Gema telepon kalo jeng Renny akan datang bertamu," ujar bunda dengan ramah. Rumah yang tadinya sepi terlihat ramai dengan kedatangan keluarga mbak Hanin, mas Fadel dan mas Farel. Aku juga melihat di sudut ruangan suami mbak Hanin sedang menatap kolam ikan dari kursi rodanya. Keponakanku berlarian di ruang keluarga dengan gelak tawa semakin membuat kemeriahan di rumah yang sangat jarang seramai ini. "Jadi ... kalo boleh saya tau alasan jeng Renny dan nak Rakha datang ke sini apa ya?" tanya bunda langsung tanpa basa basi menawarkan makanan dan minuman. Ternyata kedua keluarga kami sangat suka bicara tanpa basa basi. "Itu loh jeng ... anak kita berdua sudah bikin dosa yang cukup besar dan menurut saya nggak baik nambah dosa dengan membiarkan mereka tidak segera menikah," balas mami Renny. Aku yang duduk di samping mbak Hanin langsung dicoleknya. "Kamu hamil?" "Kok tau?" "Dosa apa lagi yang harus diselesaikan dengan pernikahan kalo bukan kamu sedang hamil," bisik mbak Hanin pelan. "Iya sih." "Terus?" balas bunda masih bingung. "Rakha sudah ngehamilin Gema, bun. Mami bertele-tele dalam menjelaskan jadi Rakha saja yang menjelaskan maksud kedatangan kita," sela Rakha. Bunda melihatku dan Rakha bergantian, tak lama bunda menarikku menuju dapur. "Bunda," aku berusaha melepaskan pegangannya. "Kamu beneran hamil?" tanya bunda masih tak percaya. Aku cuma bisa mengangguk. "Ayahnya anak kamu itu Rakha? Tapi dia kan homo. Kok bisa kamu hamil?" aku pun bingung bunda, kenapa bisa Rakha menghamiliku. "Homo mah status bun, kalo sudah nyebarin benih dan menghasilkan bayi di rahimku apa masih dibilang homo?" kataku membela Rakha. "Maminya setuju kalian menikah?" "Kalo nggak setuju bunda pikir maminya mau datang jauh-jauh ke sini untuk melamar aku, seharusnya bunda bahagia kan akhirnya aku mau menikah dan nggak jadi perawan tua seperti ketakutan bunda dulu. Kok sekarang kayak nggak senang aku memutuskan menikah." Bunda memukul tanganku. "Bukan nggak senang hanya saja bunda masih kaget kalo Rakha ternyata bisa jadi laki-laki normal. Sekarang semua tergantung kamu, jangan biarkan dia kembali ke jalan yang salah. Mumpung kamu hamil, lebih baik kamu memutuskan resign dari kantor." "Bun," Aku dan bunda melihat Rakha berdiri di pintu dapur. "Oke. Maaf tadi bunda terlalu syok hingga menarik Gema ke sini." "Bun, aku mau bilang ..." Sebelum Rakha membuka mulutnya tentang keinginannya jadi bapak rumah tangga aku mendorong bunda meninggalkan dapur dan memberi kode agar Rakha menutup mulutnya. Bisa-bisa bunda ngamuk berat kalau sampai tahu Rakha berniat menjadi bapak rumah tangga. ****
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD