Andai membunuh orang nggak bakal masuk penjara mungkin malam ini Rakha hanya tinggal nama, aku benar-benar panik dan dia bisa-bisanya tidur nyenyak tanpa rasa bersalah. Dadaku naik turun menahan emosi yang semakin membuncah, kepalaku seperti ditusuk ribuan paku tajam ditambah panas api semakin membuat kepalaku penuh dengan paku dan api seperti pemain debus.
"b*****g bangun! Antarin gue ke dokter!" teriakku dengan keras.
Rakha membuka matanya dan menatapku dengan mata sipitnya. Dia berusaha untuk duduk tapi masih oleng akibat pengaruh alkohol, dengan mata sayunya dia melihat ke arahku.
"Apa sih cantik." Rakha lalu memegang kepalanya.
Aku mendekati Rakha dan memegang tangannya, berharap dia mau mengabulkan keinginanku untuk menggugurkan anak ini.
"Gue serius cong, gue nggak mungkin lanjutin kehamilan ini. Apa kata dunia dan keluarga besar gue," balasku dengan wajah sedikit mengiba.
Rakha menggeleng pelan.
"Elo bandel ya. Besok gue ke rumah orangtua elo dan ngaku kalau gue sudah ngehamilin elo. Simpel kan? Jadi nggak ada cerita gugurin anak gue," tolaknya langsung.
"Gue bakalan bunuh diri kalo elo berani datang dan bikin kegemparan. Gue nggak main-main cong. Elo tau sendiri gue paling nggak suka dengan pernikahan," ancamku dengan tegas.
Mata Rakha membesar saat aku mengancamnya. Ada raut amarah yang sangat jarang aku lihat dari wajahnya, dulu pernah sekali dia melakukan itu saat kami masih sangat muda saat dia menyatakan cintanya dan aku tolak.
"Elo egois Gem, elo nggak pernah peduli sama perasaan orang di sekitar elo dan gue besok akan tetap datang buat ngelamar elo. Elo bunuh diri gue juga bunuh diri. Kita ketemu di neraka dan bikin keluarga bahagia di sana. Jangan mimpi di surga karena surga udah jauh dari pasangan amoral seperti kita."
Wajahnya yang serius tadi langsung berubah jadi menyebalkan, seakan kehamilanku bukan masalah besar di hidupnya. Percuma ngomong panjang lebar dengan manusia seperti Rakha. Ada saja jawaban yang semakin membuatku kesal dan naik darah.
"Serah loe! Gue benci elo! Pokoknya gue nggak mau nikah sama elo."
"Terus elo mau jadi ibu tunggal?"
"Kalo terpaksa ya harus gue jalanin."
"Kita buat anak itu berdua dan elo mau misahin gue dari anak gue sendiri?"
Aku mendengus kesal.
"Ya nggak, elo bakal tetap jadi sahabat gue."
"Sahabat tapi ayah anak elo? Udah deh jangan ngeyel. Besok gue lamar dan kita nikah sebelum perut elo semakin gede." Rakha kembali berbaring, aku membuat gerakan ingin meninjunya saking kesal dengan sikap santainya.
"Tapi elo homo cong. Masa homo nikah sama perempuan."
Sekali lagi dia membuka matanya, "Gue rela jadi normal asal bisa hidup sama kalian," balasnya dengan wajah serius.
Astaga, ini beneran Rakha kan? Kok dia bisa seromantis ini. Oke Gema, jangan terpancing dengan gombalannya.
"Terharu kan? Homo mah kepuasan bathin sedangkan menikahi elo adalah kewajiban gue sebagai laki-laki dan juga sahabat. Gue nggak mau anak gue lahir tanpa ayahnya yang ganteng ini."
Narsisnya kembali muncul. Capek aku meladeninya, pembicaraan ini nggak akan berujung seperti kemauanku.
****
Suasana kantor sedikit membuatku melupakan masalah besar di hidupku. Rapat untuk mendengar penjelasanku tentang hasil kerja di Padang berjalan lancar dan tentu ada Rakha di ruangan rapat. Sesekali dia memberi kode agar aku melepaskan heel tapi aku abaikan dan fokus menyelesaikan presentasi di depan pemimpin perusahaan dan karyawan lainnya.
"Bagaimana pak? Apa ada yang kurang?" tanyaku sambil menatap Rakha setelah aku selesai menjelaskan penemuan-penemuan yang janggal dari laporan keuangan PT. CINTRA ANDALAS setelah aku selesai mengaudit selama dua minggu.
"Jangan pakai heel. Nanti kamu capek dan saya nggak mau ..." aku membesarkan mataku agar Rakha berhenti membahas masalah ini di depan pak Hendrawan dan karyawan lainnya. Aku melihat ke semua arah ruangan rapat dan semua mata menatap aku dan Rakha bergantian.
Aku mencoba mengalihkan perhatian dengan melanjutkan penjelasanku tentang pekerjaan di Padang tapi sepertinya usahaku gagal, mereka masih sibuk dengan kejadian barusan yang amat sangat langka melihat Rakha yang biasanya cuek dan nggak banyak bicara saat di kantor berubah jadi penuh perhatian.
"Ehemmmm, bisa kembali fokus?" pintaku dengan salah tingkah. Keringat dingin mulai keluar dari keningku.
"Saya nggak mau ba ..."
"Stop!" aku tidak mau Rakha melanjutkan ucapannya.
Bukannya berhenti Rakha semakin berbuat seenaknya. Keriuhan semakin membesar saat Rakha berdiri dari kursinya lalu mendekatiku. Dia kemudian jongkok lalu menarik kakiku untuk melepaskan heel yang sedang aku pakai.
"Ba ... Yi nya kesakitan," sambungnya. Dia lalu tersenyum penuh kemenangan saat mengumumkan kalau aku kini sedang hamil di depan semua orang. Aku menunduk saking malunya dan untuk pertama kalinya aku menitikkan air mata di depan atasan serta bawahanku.
"Kamu keterlaluan," aku mendorongnya dan berlari keluar dari ruang rapat dengan bertelanjang kaki. Rasanya aku tidak punya muka lagi untuk tetap berada di kantor dalam situasi tidak kondusif seperti ini. Gosip akan sangat cepat menyebar dan tentu saja dalam hitungan menit seluruh keluargaku akan tahu tentang kehamilanku.
****
Entah sudah berapa jam aku duduk di sebuah cafe tanpa alas kaki, mataku sembab dan semua orang melihatku dengan tatapan aneh. Untungnya pelayan cafe tidak mengganggapku orang gila saat aku mengeluarkan beberapa lembar uang agar mereka tidak mengusirku.
"Minta kopi segelas lagi," pintaku ke pelayan yang aku panggil. Ini gelas kopi ke tiga sejak aku duduk di cafe ini.
"Baik mbak, ada tambahan lain?" tanya pelayan cafe dengan ramah.
"Cake Vanilla ada?"
"Ada, itu saja?"
Aku mengangguk lalu membuang napas, entah bagaimana masa depanku sejak Rakha menghancurkannya. Semua ini tidak akan terjadi kalau malam itu aku tidak terpancing dan melakukan hal yang akhirnya aku sesali.
"Elo bikin gue hampir mati jantungan," suara laki-laki menyebalkan itu kembali terdengar di telingaku. Aku malas meladeninya dan memilih berdiri untuk keluar dari cafe ini.
"Gema," Rakha menahan kepergianku tapi aku langsung menghalaunya.
Emosi dan rasa malu akibat perbuatannya tadi membuatku melayangkan tangan ke pipinya. Dia masih menatapku tanpa berkedip meski ada bekas warna merah di pipinya dan saat sadar aku menyesal menamparnya tapi emosi membuatku sulit menahan diri.
"Puas elo? Puas elo buat gue malu. Gue semakin nggak mau nikah sama elo dan persahabatan kita putus! Gue nggak mau kenal sama elo lagi dan jangan harap gue akan mempertahankan anak ini!" teriakku lantang.
Pengunjung cafe melihat ke arah kami.
"Buang napas Gem, gue nggak mau elo kontraksi di sini."
Sialan! AKu benar-benar bisa gila menghadapi Rakha. Bahkan kehamilanku masih terhitung minggu dan dia pikir aku bisa kontraksi seperti ibu hamil tua.
"Maaf ya, istri saya lagi sensi. Maklum lagi hamil muda bawaannya emosi mulu. Nanti saya cium deh biar emosinya turun," pengunjung cafe tertawa mendengar ucapannya. Aku mencoba untuk tetap tenang sambil membuang napas berkali-kali. Rakha akan semakin nekat kalau aku bersikap kasar.
Rakha lalu menarik tanganku dan membawaku ke mobilnya.
"Lepasin!"
"Elo pikir bisa semudah itu lepas dari gue. Gue bakal hantui elo sampai elo mau kawin sama gue. Serah dah elo terima apa kagak, yang penting semua orang sudah tahu tentang kehamilan elo dan sekarang kita ke rumah elo untuk minta restu." Rakha menarik seatbelt lalu memasangkannya.
"Gue benci sama elo!"
"Entar juga cinta kayak di novel-novel," balasnya dengan senyum licik.
"Tunggu dulu," aku memegang tangannya.
"Elo bohong kan kalau elo itu homo? Gue nggak pernah lihat ada homo seniat itu mau nikahi perempuan," tanyaku dengan mata tajam.
"Homo atau nggak yang penting gue bakal nikahi elo."
Sialan!
"Gue nggak suka sama elo! Gue nggak mau jadi ibu rumah tangga! Gue masih mau bebas!"
Rakha menghentikan mobilnya lalu melihatku dengan mata tajamnya.
"Gue mau kok gantiian elo jadi ibu rumah tangga, masalah gampang itu."
Aku melihatnya dengan sangat serius.
"Serius?" tanyaku meyakinkan diri.
Dia mengangguk lalu mengeluarkan sebuah kertas kosong dari laci mobilnya serta sebuah pena.
"Kita bisa bikin perjanjian tertulis agar elo percaya gue akan melakukan apa saja asal elo mau mempertahankan anak kita," balasnya.
"Yakin apa saja?" tanyaku sekali lagi. Lagi-lagi dia mengangguk.
"Oke," aku merebut kertas itu lalu mulai menulis isi perjanjian yang akan kami sepakati.
Perjanjian Pernikahan Antara Gema dan Rakha.
1. Nggak boleh ada kontak fisik.
2. Tugas ibu rumah tangga diserahkan sepenuhnya ke tangan Rakha Gailendra.
3. Nggak boleh bawa pasangan sejenis ke rumah.
4. Jabatan Direktur Utama di serahkan sepenuhnya ke tangan istri sah.
5. Uang belanja untuk keperluan rumah tinggal minta.
6. Nggak boleh ada perasaan selain persahabatan.
Aku menyerahkan kertas itu dan Rakha mulai membacanya.
"Point ke satu gue nggak jamin ya. Masalah kontak fisik kalau kon*** gue butuh pelampiasan gimana?" Rakha mencoret point nomor satu lalu menambahkan isi yang sesuai keinginannya.
1. Kontak fisik boleh asal suka sama suka dan tidak ada paksaan.
Oke itu lebih manusiawi.
"Point dua gue terima, gue akan lakuin semua tugas ibu rumah tangga. Masak, cuci, bersihin rumah dan ngasuh anak." Rakha memberi tanda oke di samping point kedua.
"Point ke tiga gue juga setuju."
"Point ke empat setuju banget."
"Point ke lima nggak perlu kuatir, gue punya tabungan lebih dari cukup untuk keperluan kita."
"Point ke enam sulit kayaknya. Namanya rumah tangga walau tidak didasari cinta tapi kan gue ganteng dan siapa tau nantinya elo suka sama gue."
Narsisnya semakin menjadi-jadi dan hampir saja aku memuntahkan seluruh isi perutku.
"Serah elo dah, setuju ya oke kalau nggak ya nggak masalah." Aku membuat gerakan ingin keluar dari mobil tapi Rakha menahan tanganku.
"Ambekan banget sih elo sejak hamil. Iya gue setuju semua keinginan elo, puas?" Rakha menandatangani surat perjanjian itu dan menyerahkannya ke aku untuk ikut menandatangani.
Entah apa yang ada dipikiranku saat ini, aku yakin nantinya perjanjian ini akan menjadi masalah baru dikemudian hari. Aku melihat ke arah Rakha dan lagi-lagi ada senyum licik muncul dari ujung mulutnya.
"Tunggu!"
"Apa lagi sih cantik."
Aku kembali mengeluarkan kertas tadi.
"Ada point tambahan."
"Ribet banget sih mau kawin."
Aku mulai menulis hal yang selama ini masih menjadi tanda tanya di hatiku.
7. Kalau Rakha Gailendra terbukti bohong tentang orientasinya selama ini maka Gema Putri Bhakti Utomo akan langsung menggugat cerai.
Aku menyerahkan kertas itu dan Rakha langsung membacanya.
"Apa-apaan ini."
"Gue jadi ragu elo beneran homo atau nggak. Kok kesannya elo bahagia banget dengan kehamilan gue. Pokoknya kalau elo ketahuan nggak homo, kita cerai!"
"Cerai mati ya, sekali elo jadi bini gue. Kita hanya akan berpisah kalau Tuhan mencabut nyawa gue."
"Rakha!"
****