bc

Jebakan Cinta CEO Tampan

book_age18+
5
FOLLOW
1K
READ
possessive
CEO
comedy
sweet
bxg
humorous
city
office/work place
surrender
assistant
like
intro-logo
Blurb

Anastasya, seorang sekretaris yang memiliki loyalitas tanpa batas. Dia baru saja diangkat menjadi sekretaris CEO muda berbakat dari St Entertainment. Reynaldi Stronghold, bos narsis dengan segala kegilaannya yang membuat Ana akhirnya memutuskan untuk resign.Berharap bisa cepat terbebas dari bosnya, Ana justru terjebak dalam perjanjian kontrak seumur hidup dengan bosnya. Demi menyelamatkan ayahnya dari jeratan utang rentenir, Ana rela menggadaikan masa depannya. Bayangan berkarir sukses, justru menjerat Ana jadi wanita serbaguna untuk bosnya.Lalu, mampukah Ana bertahan menghadapi kelakuan bosnya yang super mesum, narsis, dan pamaksa? Akankah Ana bisa merealisasikan keinginannya untuk terbebas dari seorang Reynaldi Stronghold?

chap-preview
Free preview
Jomlo Karatan
Tak peduli kicau burung mulai berisik menyambut sang fajar, maupun bunyi alarm yang memenuhi ruangan sepetak. Anastasya, memilih tetap bergelung di bawah selimut tebal dan enggan membuka mata. Namun, suara berisik alarm yang tidak kunjung berhenti cukup mengganggu, membuat satu tangannya refleks menggapai jam beker di atas nakas dan mematikan alarm sialan itu, lalu kembali tidur, menyambut mimpi indah yang belum usai. Weekend, jadwal tidur seharian untuk seorang Anastasya. Kesibukannya sebagai sekretaris CEO di kantornya, membuat hari-harinya melelahkan dan kurang istirahat. Itu kenapa Anastasya lebih memilih menghabiskan hari liburnya untuk tidur. Bahkan ia memilih tetap melajang di usianya yang menginjak dua puluh delapan tahun, ketika teman-teman seusianya sudah menikah dan punya anak. Ana tidak punya waktu walau sekedar untuk menjalin sebuah hubungan. Hari-harinya benar-benar sibuk. Namun, keinginan untuk tidur seharian itu nyatanya selalu pupus, ketika suara dering telepon menggema memenuhi ruang kamar kosnya. Tanpa perlu melihat, Ana sudah tahu siapa yang menelepon di pagi hari begini. Memangnya siapa lagi kalau bukan, Reynaldi Stronghold! Bos narsis, super duper rese, tidak berperikekaryawanan dan selalu mengganggu waktu liburnya. "Apa dia tidak punya kerjaan selain merusak hari libur orang lain!" gerutu Ana dengan suara serak parau, ketika ponselnya terus berdering tanpa henti. Ana memilih mengabaikannya, berusaha tetap memejamkan mata dan berharap mimpi indah segera menjemputnya. Tapi sialnya suara dering ponsel yang terus berbunyi mengacaukan usahanya, Ana sontak membuka mata dan memaksa tubuhnya beranjak bangun. Meski kesal setengah mati, mau tidak mau Ana mengangkat panggilan telepon yang sempat ia abaikan sampai lima kali panggilan tidak terjawab. "Halo." Dengan suara pasrah, Ana mengangkat panggilan dari bosnya dan detik berikutnya Ana refleks menjauhkan genggaman ponsel dari telinganya saat suara bariton keras berpotensi membuat gendang telinganya pecah, disusul dengan ocehan berkecepatan 160km/menit. Telinga Ana seketika berdengung dan ia refleks mengumpat. "Sial!" "What? Kamu bilang apa Ana?" Dan apesnya si bos mendengar umpatan Ana. "Kamu baru saja mengatai saya?" Astaga! Ana memejamkan mata, mengembuskan napas kasar, sembari otaknya bekerja merangkai kalimat pembelaan sebagai alibi. Meskipun gondok, Ana tidak boleh menunjukkannya secara terang-terangan pada sang atasan. Ia tidak mau bunuh diri dengan hal konyol seperti itu! "Enggak pak Rey, pak Rey kayanya salah dengar. Saya nggak bilang sial, tapi saya bilang siap." Walaupun sadar jawabannya tidak nyambung, Ana tetap berusaha tenang menghadapi bosnya yang sedang murka. "Alasan!" Seperti yang Ana perkirakan, bosnya akan menyahut dengan format seperti biasanya. Alasan! Kata andalan yang sering bosnya katakan. "Kamu lupa ini hari apa?" "Em, hari sabtu, 'kan, pak? Weekend?" Ana menjawab dengan suara rendah, mati-matian meredam emosinya. Weekend, waktunya saya libur dan seharusnya pak Rey nggak ganggu hari libur saya! Ingin sekali Ana melontarkan kalimat itu, tapi hanya tertahan sampai tenggorokan. Ia tidak punya nyali untuk menyuarakan isi hatinya, mengingat segalak apa bosnya. "Terus kenapa kamu belum ke sini juga!" Suara bariton Rey kian meninggi, terdengar begitu kesal karena Ana yang tidak kunjung datang ke penthouse-nya. "Kan, saya libur Pak. Ini weekend, waktunya semua karyawan libur." Ana meringis, keceplosan. Haruskah dirinya sejujur itu? "Sejak kapan kamu bisa atur hari libur sendiri, Ana? Kamu lupa? Yang bisa menentukan kamu libur atau tidak itu saya, atasan kamu! Dan hari ini kamu nggak libur! Kamu lupa? Hari ini saya ada undangan ke pesta anniversary pernikahan pak Hutomo, jadi cepat kamu datang ke sini, sekarang juga!" What the hell!!! Ana menggigit bibir bawahnya, mati-matian menahan diri untuk tidak meneriaki bosnya dengan sumpah serapah dan penghuni kebun binatang. Namun, seakan tidak punya kuasa, Ana tidak mampu merealisasikan keinginannya, memilih tetap sabar menghadapi bosnya yang menyebalkan! "Tapi, pak Rey," Ana berusaha protes, mengingat ia semalam habis lembur dan badannya masih terasa pegal semua. Ana butuh istirahat. Lagian cuma ke acara kolega saja, kenapa harus melibatkan dirinya! Ana tidak habis pikir, sebenarnya job-nya sebagai sekretaris atau baby sitter! "Nggak ada tapi-tapian Ana!" Suara tegas Rey membuat Ana nyaris jantungan. "Ke sini sekarang juga, atau kamu mau bayar denda karena melanggar perjanjian kerja!" Ana memejamkan mata, satu tangannya mengelus dada. Sabar, sabar, sabar. Menghadapi bayi tantrum memang harus banyak-banyak sabar! "Kamu dengar tidak, Ana!" Suara bariton Rey kembali memekakkan telinga Ana. "Baik pak Rey. Saya akan segera meluncur kesan–––" Ana melongo, menatap nanar layar ponselnya. Ketika ia sadar saat sambungan telepon itu langsung di putus sepihak padahal ia masih berbicara. What the hell. Bos sialan! "Emang dia siapa??" Ana membanting ponselnya, segera loncat dari kasur. "Nggak bisa apa, bos sialan itu nggak ganggu wekeend gue?" gerutu Ana, sembari berjalan menuju kamar mandi. Hanya butuh lima belas menit untuk mandi dan bersiap-siap. Karena ini bukan hari kerja ataupun ke kantor, maka Ana tidak perlu repot-repot memoleskan make-up ke wajahnya yang bisa memakan waktu lama. Cukup pakai bedak tipis, serta liptint berwarna peach, sudah membuat Ana terlihat cantik dan menarik. Resiko cewek cantik. Jarum jam terus berputar, rasanya waktu begitu cepat berlalu. Ana tergesa-gesa menuruni tangga, kamar kosnya ada di lantai dua. Ia setengah berlari, berharap langkah kakinya bisa secepat kilat untuk tiba di halte. Bosnya hanya memberikan waktu satu jam untuk Ana sampai di penthouse-nya, sementara jarak dari kos Ana cukup jauh. Bosnya memang tidak punya hati! Mengingat Ana seharusnya sedang menikmati mimpi indah, bukan malah berlarian berpacu dengan waktu. "Pagi Ana." Langkah Ana harus terhenti ketika cowok-cowok yang sedang berkumpul di dekat gerbang menyapanya. Meski enggan, demi kesopanan Ana membalas sapaan mereka dengan senyum tipis, lalu berlalu meninggalkan kediaman kosnya. Sementara gerombolan cowok-cowok itu pun lanjut membicarakan Ana, yang memang jadi primadona di kos-kosan. Padahal Ana sendiri jarang berinteraksi dengan mereka, tapi paras ayunya berhasil membuat hampir seluruh penghuni kos menyukainya. "Diem aja, kapan ajak kenalannya?" Salah satu dari gerombolan cowok itu menyikut seseorang yang masih setia memandangi kepergian Ana. "Dilihatin doang, keburu dipatok yang lain." Yang lain ikut nimbrung. "Kalau lo nggak maju-maju, biar gue aja yang maju, langsung gue pepet ke pelaminan tuh si Ana." Bahkan saling mengompori. "Jangan gitu, masa gebetan temen mau diembat." "Ya, lagian kaga ada pergerakannya, masa cuma nongkrongin si Ana doang tiap pagi, ya sekali-kali diajak kenalan, ajak jalan, abis itu ajak nikah." Sementara cowok yang dimaksud hanya bisa geleng-geleng kepala melihat teman-temannya saling mengompori agar ia segera ambil tindakan untuk mendekati Ana, bukan sekedar diam-diam memperhatikan Ana seperti saat ini. Merasa kian panas dikompori, cowok itu pun menyahut, "Tenang saja, semua ada waktunya, nanti juga kalian terima undangannya." "Ciyeelah, mau langsung gas pelaminan aja." "Suit-suit!" "Tapi ngomong-ngomong, emang Ananya mau?" Pertanyaan yang cukup mengusik, tapi ditanggapinya dengan sambil lalu. "Lihat aja nanti." Ana pasti jadi milik gue. *** Ana mendengkus pelan, menatap sebal layar interkom di depannya. Sudah hampir sepuluh menit dirinya berdiri kaku di depan pintu penthouse atasannya, menunggu tuan rumah membukakan pintu. Namun, sedari tadi tidak ada tanda-tanda pintu itu akan terbuka. Ke mana sih tuh orang? Rese banget! Kenapa lama banget! Nggak tahu kaki gue udah pegel banget! Emang dasar manusia laknat! Dia yang nyuruh dateng cepet, giliran dah sampai nggak dibukain pintu! Arrrrgh!!! Ana merutuk dalam hati, memaki bosnya yang tidak kunjung membukakan pintu dan entah sampai kapan Ana harus berdiri di sana. Sebenarnya hal seperti ini tidak akan terjadi, seandainya Ana membawa kartu akses yang membuatnya tidak perlu repot-repot menunggu dibukakan pintu. Bosnya itu sudah memberinya kartu akses yang bisa ia pergunakan untuk mengakses penthouse milik beliau. Tapi sialnya, Ana meninggalkannya di kos-kosan, ia lupa memasukkannya ke tas saking buru-buru berangkat dan sekarang hal itu menyusahkan dirinya. Ana berdecak, tidak sabar lagi harus menunggu pintu dibuka. Ia memencet tombol di interkom, mencondongkan wajahnya ke depan layar. "Pagi pak Rey, saya sudah sampai dari lima belas menit yang lalu. Bisa tolong bukakan pintunya, saya lupa bawa kartu akses." Hening. Tidak ada sahutan dari dalam. Ana yakin kalau sebenarnya bosnya pasti tahu akan keberadaannya, ia berpikir kalau bosnya sengaja membiarkannya berdiri lama untuk menghukumnya. Sialan! Ana makin gondok. Harus banget pakai acara dihukum begini! Bener-bener bos nggak ada ahlak! Habis sudah kesabaran Ana. Ia enggan menunggu lagi, lantas ia mengeluarkan ponsel dari dalam tasnya untuk menelepon bosnya. Hal yang jarang Ana lakukan kecuali untuk urusan pekerjaan dan urgent. Namun, kali ini ia terpaksa melakukannya karena menurutnya itu opsi terakhir yang bisa ia lakukan agar tidak terus-terusan berdiri kayak patung di depan pintu. "Nggak diangkat juga!" Emosi Ana makin mencuat ke ubun-ubun. Panggilan teleponnya diabaikan. "Apa sih sebenernya maunya? Dia yang suruh dateng, dia juga yang ngerjain gue begini! Emang biadab banget!" Ana mengomel, kembali menghubungi nomor bosnya dan hasilnya kembali panggilannya tidak diangkat. Ana memejamkan mata, mengatur napas. Tidak ada cara lain, mau tidak mau Ana pun memakai opsi terakhir. Opsi yang sebenarnya tidak mau Ana lakukan, tapi terpaksa ia lakukan karena kini hanya itu yang bisa ia lakukan. "Pak Rey!" "Buka pintunya!" Ana menggedor pintu. "Pak Rey, saya udah sampai dari tadi, kalau nggak dibukain juga, saya mendingan pul—" Cara Ana kali ini membuahkan hasil, pintu seketika terbuka dan membuatnya tercekat. OMG! Ana melongo sesaat, lalu refleks mengerjapkan mata, memastikan apa yang dilihatnya benar-benar nyata. Pak Rey, seksi banget—sadar Ana! Ana spontan menggeleng, menepis pemikiran sesat yang mendadak muncul di dalam kepalanya dan ini semua disebabkan Rey yang membuka pintu dalam keadaan setengah naked. Ya, laki-laki itu hanya memakai handuk sepinggang dan membiarkan bagian dada bidangnya terekspos. Wajar jika Ana sempat terpesona, karena badan atletis Rey benar-benar menggoda. Ana salah tingkah, ketika sadar bosnya sedang memperhatikannya sedari tadi. Ana jadi kikuk sendiri, padahal harusnya yang merasa malu itu bosnya karena hanya memakai handuk, tapi ini malah Ana yang merasa seperti tengah ditelanjangi. "Ngapain masih di situ?" Setelah diam cukup lama, akhirnya Rey buka suara. Tatapannya masih intens pada Ana yang sengaja menghindari sorot matanya, "Masuk!" Ana mengerucutkan bibir, mendengar suara Rey yang seolah-olah siap melahap dia hidup-hidup. Galak kayak kucing olen, arghhhh! "Saya suruh kamu datang cepat, kenapa lelet banget baru sampai!" omel Rey sambil berjalan masuk menuju kamarnya, diikuti Ana yang berjalan di belakangnya. "Gara-gara kamu, saya jadi kesiangan!" Ana mendengkus pelan, meredam amarahnya yang seakan mau meledak. Bukankah harusnya dirinya yang marah? Kenapa malah bos sialan ini yang ngomel-ngomel nggak jelas! Sayangnya Ana tidak bernyali untuk menimpali omelan Rey. Ia hanya tertunduk sambil bilang, "Maaf Pak, semalam 'kan, saya nemenin Pak Rey lembur, makanya saya bangun kesiangan. Saya juga lupa kalau hari ini Pak Rey ada acara. Tapi biasanya 'kan, Pak Rey bisa dateng sendiri kalau bukan acara kantor." Ana menggaruk kepalanya yang tidak gatal, berharap bosnya tidak murka karena ucapannya barusan. "Ganti baju kamu pakai ini!" Mengabaikan ucapan Ana barusan, Rey menyodorkan paper bag sebuah brand busana dari desainer terkenal. Ana mengernyit, menerima paper bag yang Rey sodorkan. "Jangan bilang Pak Rey, mau saya—" "Kenapa?" potong Rey, seakan tahu apa yang akan Ana katakan. "Kamu keberatan?" "Tapi Pak, ini 'kan—" "Anggap saja hari ini lembur," tukas Rey, berlalu meninggalkan Ana. Ana berdecak, pasrah jika sudah begini! Ia tidak bisa menolak jika bosnya sudah berkehendak, termasuk menemani bosnya ke setiap acara-acara penting koleganya. "Kenapa nggak cari istri aja sih, gue mulu perasaan yang disuruh nemenin!" Sepanjang mengganti baju, Ana terus menggerutu. "Percuma ganteng kalau pacar aja nggak punya, dasar jomlo karatan!" Tanpa Ana sadari, jika orang yang dimaksud mendengar semua perkataannya. "Jangan-jangan si pak Rey nggak doyan cewek, makanya jomlo! Berarti pak Rey, ups!" Ana refleks menutup mulut, tidak percaya dengan apa yang tercetus dalam pikirannya. Rey yang sudah tidak tahan lagi mendengar pemikiran absurd Ana, lantas menyahut, "Berarti apa?" Mendengar suara Rey, sontak Ana terkejut. Ia refleks berbalik dan kaget bukan main mendapati Rey ada di ambang pintu kamar. "Pak Rey!" Rey dengan setelan necis bewarna navy, berjalan menghampiri Ana yang syok melihatnya. "Memangnya kenapa kalau saya jomlo?" Ana tertegun, dalam hati mengutuk mulutnya yang asal bicara dari tadi. Ia tidak menyangka kalau atasannya akan mendengar semuanya. "Dari mana kamu tahu kalau saya nggak suka cewek?" Rey terus berjalan maju, saat Ana berusaha menghindarinya hingga punggungnya menabrak dinding. Ana terjebak, tidak bisa ke mana-mana ketika Rey berhenti di hadapannya, menutup semua akses dengan tangannya yang menopang ke sisi kepala Ana. "Jadi menurut kamu, saya ini—" Ana spontan menggeleng, berusaha menepis demi menyelamatkan diri dari kemarahan Rey. "Enggak Pak, saya nggak bermaksud—" "Ssuuut!" Rey membungkam bibir Ana dengan telunjuk, tidak memberi kesempatan Ana untuk membela diri. Rey menunduk, mensejajarkan wajahnya di depan Ana sambil berkata, "Saya sudah dengar semua Ana." Ana menelan ludah. Mati gue! "Pak Rey, saya ...," Ana mendongak, menatap takut bosnya yang tampak tampan, tapi juga menyeramkan dengan sorot mata tegas yang tidak lepas menatapnya. "Saya—" Di saat Ana berusaha ingin menjelaskan, suara lain tiba-tiba menginterupsi. "Apa yang sedang kalian berdua lakukan?" Suara familiar yang membuat Ana dan Rey refleks menoleh ke pintu. Baik Rey, maupun Ana, sama-sama terkejut melihat siapa yang datang. "Mama!" Rey mendelik, tidak menyangka akan dipergoki oleh mamanya. Meskipun sebenarnya ia dan Ana tidak melakukan apa-apa, tapi melihat posisi mereka saat ini, jelas siapa pun akan berpikiran ke arah yang sama. "Nyonya Renata!" Ana melotot. Mampus gue, cobaan apa lagi ini! Sementara orang yang dimaksud pun geleng-geleng kepala melihat posisi Rey dan Ana. "Mama tunggu di luar, kita harus membahasnya," ucapnya kemudian, berlalu meninggalkan keduanya yang masih terpaku.

editor-pick
Dreame-Editor's pick

bc

My Secret Little Wife

read
94.8K
bc

Dinikahi Karena Dendam

read
204.1K
bc

Siap, Mas Bos!

read
12.1K
bc

Tentang Cinta Kita

read
189.1K
bc

Single Man vs Single Mom

read
97.1K
bc

Iblis penjajah Wanita

read
3.4K
bc

Suami Cacatku Ternyata Sultan

read
14.8K

Scan code to download app

download_iosApp Store
google icon
Google Play
Facebook