Ngapain ke KUA?

1910 Words
"Jadi, sudah berapa lama?" Pertanyaan ambigu yang langsung dilontarkan mama Rey kepada anak semata wayangnya dan juga Ana yang duduk di sofa berhadapan dengannya. Sementara Rey duduk di sofa single yang ada di sebelah kiri. Mama Rey menaikkan alisnya, menatap Rey dan Ana secara bergantian ketika keduanya sama-sama memilih tetap bungkam. "Jadi, kalian ... sering melakukannya?" Kembali tuduhan menohok dilontarkannya. "Wah, jadi sudah sering sekali ya?" Mengambil kesimpulan sendiri atas apa yang disaksikannya beberapa saat lalu. "Enggak nyonya! Anda salah paham! Kami tidak melakukan apa-apa, ini cuma salah paham." Ana spontan menggeleng, menyelamatkan diri dari kesalahpahaman mama Rey. Ia tidak mau jika nyonya Renata semakin berpikiran yang tidak-tidak tentang dirinya dan Rey, atasannya yang sama sekali tidak melakukan pembelaan apa pun sejak tadi. Nyebelin emang! Melihat reaksi Ana, mama Rey nampak heran. Ia menaikkan satu alisnya, menatap seksama wanita itu yang terlihat sangat gugup. Dari raut wajahnya yang cantik, tampak gurat ketakutan saat menatap dirinya. Apakah dirinya semenyeramkan itu? "Enggak salah lagi," sahut mama Rey yang semakin membuat Ana tampak kalang kabut. "Sumpah Nyonya! Kami nggak ngapa-ngapain tadi," Ana benar-benar panik, hingga kesulitan merangkai kelimat untuk meyakinkan mama atasannya itu. Sementara bosnya, malah terlihat santai dan cuek sekali. Rasanya Ana ingin sekali menghantam kepala Rey dengan palu Thor. Kenapa jadi harus Ana yang mati-matian menjelaskan, sedangkan kesalahpahaman ini terjadi gara-gara ulah bosnya? Ana tidak habis pikir, bisa-bisanya Rey tidak melakukan pembelaan sama sekali, seolah membiarkan mamanya terus salah paham dan menuduhkan hal-hal yang sama sekali tidak terjadi di antara mereka berdua "Saya sama pak Rey, em ... kami nggak ngelakuin apa-apa tadi. Itu cuma-" "Cuma apa, Ana?" sergah mama Rey, menciutkan nyali Ana. "Yang saya lihat tadi semuanya jelas kok, kalau kalian ini ...." Mama Rey melirik putranya, sembari mengulas senyum penuh arti. "Nggak perlu saya jelaskan, kita sama-sama tahu apa yang terjadi, 'kan?" Rey mengembuskan napas kasar, akhirnya buka suara menyudahi kesalahpahaman mamanya. "Apa yang mama lihat, nggak seperti apa yang mama pikirkan," terangnya, meluruskan kesalahpahaman mamanya. "Kami nggak ngelakuin apa pun yang seperti Mama pikirkan." "Masa?" Mamanya memicingkan pandangannya kepada Rey, seakan menegaskan keraguannya akan jawaban Rey barusan. "Orang jelas-jelas kamu tadi-" "Ma," potong Rey, memutar bola mata malas. Sejujurnya ia malas harus menjelaskan hal yang menurutnya tidak penting. Tapi melihat mamanya berpikiran terlalu jauh soal dirinya dan Ana tadi, tentu saja Rey harus meluruskan atau mamanya akan semakin berpikiran yang macam-macam. "Aku cuma bantuin Ana, tadi antingnya nyangkut di gaunnya, makanya Rey coba bantu lepasin." Ana refleks menoleh kepada bosnya, tidak menyangka kalau atasannya itu akan mengarang cerita untuk menyudahi kesalahpahaman mamanya. "Bener 'kan, Ana?" Rey beralih menatap Ana, mengkode lewat sorot matanya agar Ana mengiyakan. Tapi Ana terlalu lambat menangkap sinyal yang ia kirim, hingga Rey begitu geregetan dan melototi Ana. "Saya cuma bantuin kamu aja tadi, nggak lebih?" ulang Rey, sorot matanya menajam. Seolah sedang meneriaki Ana agar segera mengiyakan. "Eh-iiya!" Ana langsung mengiyakan, tersenyum lebar. Senyum penuh paksaan. Bos sialan, ngapain sih pakai acara melotot segala! Tuh mata rasanya pengen gue culek! Mama Rey menghela napas, meski terlihat belum juga puas dengan alibi Rey. Namun, beliau tidak lagi mempermasalahkan. "Ngomong-ngomong kalian mau ke mana?" tanya mama Rey kemudian, menyadari penampilan Ana dan Rey yang begitu rapi. "Ngedate?" Astaga! Rey mengusap kasar wajahnya, sedangkan Ana kian menunduk dalam, memejamkan mata sembari berkomat-kamit. Ngedate? Sama bos alay, narsis, galak, nyebelin ini? Yang bener saja! Sorry ye, gue nggak mau! batin Ana. "Apaan sih, Ma? Siapa juga yang mau ngedate," Rey menghela napas kasar, tidak habis pikir dengan pertanyaan yang dilontarkan mamanya. "Mama lupa? Hari ini ada pesta perayaan anniversary pernikahan pak Hutomo, papa minta aku yang mewakilkan karena papa katanya mau ngedate sama mama." Mama Rey tersenyum malu-malu. "Oh iya, mama lupa. Acaranya hari ini ya. Maaf ya, karena mama pengen jalan-jalan ke puncak, kamu jadi musti meluangkan waktu weekend kamu buat gantiin papa." Rey hanya bergumam, enggan menyahut panjang lebar. "Terus, kenapa Ana juga ikut?" tanya mama Rey. "Ya, karena Rey nggak mau dateng sendirian. Rey butuh patner buat ke sana," jawab Rey. Ana melirik sinis Rey, dalam hati berteriak. Bilang aja karena jomlo, jadi nggak punya pasangan buat diajak ke sana! "Makanya punya pacar Rey, jadi kamu bisa ajak pacar kamu buat jadi patner, bukan malah nyusahin Ana mulu," cetus mama Rey, mengulti anaknya sendiri. "Kasian Ana, harusnya dia sedang menikmati hari liburnya, tapi malah musti lembur nemenin kamu." Bener banget tuh! Ana menyahut dalam hati. Meski sangat ingin meneriakkannya pada Rey, tapi bibirnya tidak bernyali. Ganggu waktu libur gue aja! Emang dasar bos rese, nyebelin, arrrggghhh! "Sudah jadi resikonya, lagian Rey juga bayar mahal buat lemburannya, setimpal buat gantiin weekend-nya." Rey tetap tidak mau merasa bersalah, apalagi disalahkan. Merasa jika yang dilakukannya wajar, apalagi Ana mendapat bayaran lembur yang fantastis, setengah dari gajinya per sekali lembur begini. "Terus, kamu suruh Ana ke pesta pakai baju begini?" Mama Rey geleng-geleng kepala melihat gaun yang Ana pakai saat ini. Gaun panjang merah menyala tanpa lengan, bertali spageti, dengan belahan dada rendah. Sejujurnya Ana mirip sosis goreng dengan balutan gaun tersebut, meski cukup indah karena lekukan tubuhnya yang sempurna. "Apa ada yang salah dengan gaunnya?" Rey balik bertanya. "Gaunnya bagus, limited edition lagi. Cocok juga dipakai sama Ana, pas di badannya." "Tapi terlalu terbuka Rey," komentar mama Rey, menyoroti gaun berbelahan dada rendah yang Ana kenakan. "Apa kamu nyaman dengan gaun itu, Ana?" Lalu bertanya pada Ana. Ana melirik sekilas bosnya, sebelum kembali beradu tatap dengan mama Rey. Ia tampak ragu untuk menjawab, tapi bukankah tidak apa jika Ana kali ini berkata jujur. Ana menggeleng pelan, ya sejujurnya Ana tidak nyaman dengan gaun yang dikenakannya. Bahkan untuk kesekian kali Ana membenarkan tali gaun yang melorot dari bahunya. "Kamu lihat sendiri Rey? Ana tidak nyaman dan kamu paksa Ana pakai gaun begituan?" omel mama Rey, tidak suka dengan yang dilakukan anaknya. Rey yang merasa tidak memaksa pun sontak menyanggah. "Rey nggak pernah paksa Ana, mama. Ana sendiri tidak keberatan, bener 'kan, Ana? Saya tidak memaksa kamu." Ana sontak melotot, menatap horor Rey. Ini manusia bener-bener minta disantet. Dan tanpa rasa bersalah Rey kembali mengulang kata-katanya. "Bener 'kan, Ana?" Ya Allah, tolong kutuk bos hamba jadi kodok! Ana ingin sekali memaki bosnya, tapi apa daya ia tidak mampu. Untungnya mama Rey tidak percaya ucapan anaknya dan lebih memihak Ana. "Mana mungkin! Kamu pasti maksa Ana." "Enggak Ma, tanyakan saja sama Ana." Rey masih bersikeras. Namun, mamanya tetap tidak mempercayainya. "Sudah-sudah, mama tuh tahu kamu, Reynaldi Stronghold!" Mama Rey kemudian meletakkan sebuah paper bag yang sedari tadi ia bawa ke hadapan Ana. "Kamu ganti gaunnya pakai ini ya, Ana. Saya tahu, kamu pasti nggak nyaman pakai itu. Saya baru ambil dari butik, sepertinya lebih cocok dipakai sama kamu." Ana mengecek isi paper bag yang dimaksud. Di dalamnya ada gaun ungu yang begitu cantik, terlebih gaunnya lebih sopan dari pada gaun yang ia kenakan sekarang. Ana seketika semringah, dari sorot matanya yang menatap mama Rey penuh haru. Seakan tatapannya menggambarkan betapa ia sangat bersyukur karena mama Rey telah menyelamatkannya dari gaun ketat yang menyiksa ini. "Terima kasih nyonya Renata," ucap Ana, tersenyum lebih lebar. Mama Rey mengangguk lembut. "Ganti sekarang," suruhnya. Ana pun menurut, bergegas pergi meninggalkan Rey dan mamanya. Selepas kepergian Ana, sang mama kembali mengajukan pertanyaan demi memenuhi rasa penasaran yang belum terpuaskan. "Kamu beneran nggak ada apa-apa sama Ana, Rey?" Rey mendengkus pelan. "Rey harus berapa kali bilang agar Mama percaya kalau Rey sama Ana nggak ada hubungan apa-apa. Kita cuma rekan kerja, Ana sekretaris Rey dan Rey bos Ana, nggak lebih." Mamanya mengembuskan napas kasar, tampak kecewa. "Padahal mama nggak keberatan loh kalau kamu sama Ana. Dia gadis yang baik, cantik, sopan juga. Cocok buat jadi mantu mama-" Rey seketika batuk-batuk, tersedak ludahnya sendiri. Ia tidak menyangka sang mama akan berkata seperti itu. "Apaan sih, Ma? Nggak usah ngomong aneh-aneh deh." Mama Rey berdecak. "Aneh gimana? Emang salah kalau mama bilang Ana cocok jadi mantu mama sama papa? Lagian kamu juga, udah kepala tiga tapi belum juga punya pasangan. Boro-boro kasih mama cucu, kalau pacar aja kamu nggak punya. Apa perlu mama cariin jodoh buat kamu?" "No!" sergah Rey, menolak tawaran sang mama. "Emang seenggak laku itukah Rey, sampai Mama harus cariin jodoh segala?" "Ya, kalau gitu buruan cari jodoh sendiri. Mama sama papa udah kepengen gendong cucu. Kamu anak semata wayang, Rey, harapan kami cuma kamu. Emang nggak kasian apa sama kami? Makin tua, tapi belum bisa gendong cucu. Kalau keburu meninggal gimana?" celoteh mama Rey, menyuruh Rey agar segera mencari jodoh. Rey mengusap kasar wajahnya, malas membahasnya lebih jauh. "Nanti juga ada waktunya, Mama sama papa tenang aja, Rey pasti akan kasih kalian cucu, cuma nggak sekarang-sekarang ini. Masih banyak hal yang harus Rey selesaikan." "Nanti kapan?" sahut mama Rey dengan nada kesal. "Mama nggak mau tahu ya, Rey. Sampai bulan depan belum ada calon, kamu harus mau mama jodohkan. Banyak kenalan mama yang punya anak gadis, atau kalau kamu mau, Ana bisa jadi kandidatnya. Mama siap buat lamarin kamu." Rey mengacak-acak rambutnya, stres kalau mamanya sudah bahas soal jodoh. "Terserah Mama sajalah, Rey pusing." "Kamu tuh ya-" Mama Rey hendak mengomeli Rey lagi, tapi urung saat ada panggilan masuk di ponselnya. Ia buru-buru mengangkatnya. "Iya Pa, gimana? Mama masih di apartemen Rey." Mama Rey melirik anaknya yang nampak acuh tak acuh. "Oh, papa sudah di depan. Yaudah, mama langsung ke bawah kalau gitu. Tunggu ya." Terus menutup panggilan telepon dan kembali menatap Rey sepenuhnya. "Papa udah jemput, mama pulang dulu ya. Kamu jaga diri, jangan lupa makan sama minum vitamin dan ingat, jangan macam-macam sama Ana kalau kamu nggak mau seriusin dia! Ngerti!" Rey mengembuskan napas kasar kesekian kali, lalu mengangguk. "Iya Mama, tenang saja, Rey nggak bakal apa-apain Ana, dia bukan tipe Rey-" "Hus!" Mama Rey melotot, tidak suka mendengar penuturan anaknya. "Mama sumpahin kamu suka sama Ana, biar tuh mulut nggak asal bicara!" Rey berdecak, malas menanggapi. "Inget ya Rey, satu bulan, waktu kamu buat cari pasangan sendiri, kalau nggak, mama bakal jodohin kamu." "Iya Mamaku sayang." Rey memutar bola mata, lalu mengantar mamanya menuju pintu. "Hati-hati, salam buat papa." "Oke." Mama Rey melambaikan tangan. "Salam ya buat Ana, bilang sama dia, nggak usah balikin gaunnya, buat dia aja." Rey mengiyakan dengan anggukan, memastikan mamanya masuk lift. Baru ia menutup pintu dan berbalik. "Oh shit!" Rey memekik, matanya melotot, jantungnya nyaris copot ketika ia berbalik dan mendapati Ana sudah berdiri di depannya. "Kamu-" Mengabaikan keterkejutan bosnya, Ana menatap pintu yang tertutup rapat seraya bertanya, "Nyonya Renata sudah pulang?" Rey menelan kedongkolannya, lalu menyahut dengan gumaman datar. "Hm, kenapa?" "Oh, nggak apa-apa." Ana kembali mengalihkan pandangannya pada Rey. "Jadi pergi sekarang? Saya sudah selesai ganti baju." Rey menaikkan satu alisnya, matanya bergerak menyisir penampilan Ana dari atas sampai bawah. Seperti yang mamanya bilang, gaun sabrina ungu sepanjang lutut itu memang cocok dipakai Ana. Lekukan tubuhnya tampak pas, tapi juga tidak terlihat vulgar, jauh lebih baik ketimbang gaun merah menyala yang tadi ia berikan. "Pak Rey?" panggil Ana ketika atasannya tidak menjawab dan malah tampak melamun. "Pak, jadi pergi sekarang?" "Hah?" Rey mengangkat pandangannya, bertemu dengan mata indah Ana yang entah kenapa begitu berbinar indah sampai-sampai ia tanpa sadar berkata ambigu. "Pergi? Emang KUA buka sekarang?" "Ya?" Ana mengernyit, heran akan pertanyaan atasannya. Hah? KUA? Ngapain ke KUA, balikin peci penghulu? "Pak Rey mau ke KUA?" tanya Ana, dijawab anggukan kepala. "Mau ngapain ke KUA? Emang ada yang mau nikah?" Rey kembali mengangguk, membuat Ana heran. "Siapa?" "Kita," jawab Rey, entah sadar atau tidak, yang pasti jawaban Rey berhasil membuat Ana terdiam.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD