BAB 18

972 Words
Hamdan pulang dan mendapati kedua istrinya tengah berada di dalam kamar masing-masing. Hamdan tentu memilih kamar Rahma karena semua pakaiannya ada di sana. Saat ia memasuki kamar, Rahma nampak tengah cemberut dengan wajah di tekuk. Hamdan merasa heran dengan Rahma yang tak biasanya seperti itu. “Sayang, ada apa?” tanya Hamdan. “Aku merasa terhina Mas!” Rahma mendadak emosi. Hamdan semakin tak mengerti. “Terhina kenapa? Ada yang menghina mu?” “Bukan menghinaku, tapi, menghina Sekar. Perempuan itu sungguh keterluan, Mas. Aku benci sekali, aku marah sekali, tapi aku kesal dengan Sekar.” “Loh, kok, malah kesalnya malah ke Sekar?” Hamdan jadi makin bingung, “Karena Sekar melarangku untuk adu mulut dengan perempuan itu, padahal perempuan itu sudah sangat keterlalun. Kamu apa yang perempuan itu katakan pada Sekar?” “Apa?” “Perempuan itu mengatakan Sekar cacat dan gembel di depan mataku! Rasanya ingin sekali aku hajar wajahnya.” Hamdan diam. Satu sisi ia mendukung Rahma yang memberi pelajaran pada perempuan itu, tapi, satu sisi Sekar juga benar telah melerai adu mulut yang bisa berubah jadi adu jotos. Bagaimana cara menangani masalah ini agar tidak terkesan memihak? Hamdan mendekat ke arah Rahma dan memeluknya. Ia usap punggungnya agar tenang dan rileks. Ia kecup pelipis Rahma dan memeluknya kembali dengan erat. “Aku tahu rasa marahmu, aku pernah ada di posisimu. Marah karena Sekar di hina. Aku tahu yang kita lakukan adalah membela orang yang kita sayang dan jaga. Tapi, kamu tidak boleh marah pada Sekar karena ia meleraimu adu mulut. Coba kamu fikirkan bila adu mulut itu Sekar biarkan dan bahkan Sekar dukung. Apa yang akan terjadi?” Rahma nampak berfikir sejenak. “Adu jotos,” jawab Rahma pelan seperti bergumam. “Ya, itu benar, karena kita sudah tersulut emosi hingga akal kita hilang tertelan amarah. Dan Sekar hadir menghentikan dirimu untuk mengajakmu kembali berfikir rasional. Bayangkan jika kamu benar-benar adu jotos. Aku tahu kamu akan menang, tapi, apakah bagus untukmu nanti? Kamu istriku, yang terkenal sangat ramah, murah senyum dan juga anggun. Berita itu sangat jahat, sayang. Mereka bisa memutar balikkan fakta yang ada agar berita mereka laris manis di tonton orang.” “Bila hal itu berlanjut, bukankah akhirnya nanti baik kamu dan Sekar bahkan aku akan di cari dan menjadi perbincangan publik? Namamu tentu tak akan seindah dulu lagi. Sekar lebih buruk lagi, siapa Sekar, kenapa kamu  begitu membelanya, dan jika semua orang tahu, bukankah Sekar akan semakin terancam keselamatannya?” Rahma bengong mendengar semua penjelasan panjang dari sang suami. “Jadi, aku salah ya?” “Tidak sayang, situasi yang tidak mendukung saja.” “Aku sayang Sekar, dan aku benci jika ada yang mengatakan hal buruk tentangnya.” “Aku tahu sayang, harusnya kamu bangga pada Sekar, karena ia begitu sabar dan tabah dengan semua hal ini. Kita saja yang mendengar hinaan itu emosi namun, Sekar justru sebaliknya, ia tetap tenang, tetap tabah dan Sekar pasti dengan cepat melupakan hal itu. Masalah akan selesai dengan sendirinya karena orang yang di ajak ribut lebih memilih diam. Justru itu cara yang anggun untuk menyelesaikan masalah.” “Begitu?” “Ya, begitu.” “Kalau begitu, aku harus minta maaf pada Sekar karena sudah marah padanya tadi.” “Nanti saja, tenangkan dulu dirimu ya, biar aku yang bicara pada Sekar dulu. Tidak apa-apa kan?” Rahma mengangguk dan mengusap lengan sang suami. “Terima kasih ya, Mas, sudah menyadarkan aku.” “Sama-sama sayang.”   **** Sekar tersentak dan berusaha memberikan senyumnya untuk menyambut sang suami yang datang ke kamarnya. Ia bahkan buru-buru merapihkan coretan pensil di kertas semua ia masukkan ke dalam lacinya. Hamdan yang melihat itu mencoba mengabaikannya karena sepertinya itu privasi dan Hamdan tidak mau ikut campur. “Kamu sudah pulang, Mas?” tanya Sekar berbasa-basi dan bangun dari duduknya lalu meraih jemari Hamdan dan mengecupnya. Hamdan tersenyum dan mengusap rambut Sekar yang kini sudah mulai terbiasa dengan kehadirannya. “Duduklah,” pinta Hamdan. Sekar pun duduk bersebelahan dengan Hamdan. “Bagaimana kakimu?” “Baik.” “Tidak terasa sakit?” “Hm … tadi sempat sakit.” “Oh ya?” Sekar mengangguk. “Boleh Mas lihat kakimu?” Sekar nampak ragu. Namun, ia memberanikan diri untuk menarik roknya. Hamdan mengangkat perlahan kaki Sekar dan di taruh di pangkuannya. Sekar malu sekali di perlakukan seperti ini. Hamdan nampak serius melihat kaki Sekar yang terlihat semakin kecil dan biru-biru pada kakinya semakin banyak. Sepertinya kaki Sekar memang sudah tak bisa di tolong lagi. Semakin lama kaki Sekar akan membusuk bila tidak mengambil tindakan amputasi. Tapi, Hamdan tak tega melihatnya. Ia usap kaki Sekar perlahan dan Sekar menatap Hamdan. Mereka bertatapan sejenak sampai Sekar memalingkan wajahnya. Namun, Hamdan menahan dagu Sekar hingga mereka kembali bertatapan. Jemari Hamdan meraba jemari Sekar dan menggenggamnya, sontak Sekar tersentak karena ia tengah merasakan jemari yang selama ini hanya bisa ia gambar saja. Sekar merasakan sebuah remasan pada jari-jarinya. Remasan lembut yang membuatnya nyaman. “Kamu tahu, Sekar.” “A-apa?” “Kamu adalah wanita yang sangat sabar dan ikhlas menerima nasib hidupmu. Aku tidak pernah membayangkan jika aku berada di posisimu selama ini. Sekar, kamu harus tahu, bahwa kamu adalah wanita hebat dan kuat, kamu adalah energi untukku dan juga Rahma. Senyummu dan ketulusan hatimu membuat kami begitu memuliakan kamu, begitu menyayangimu dan ingin selalu melindungimu. “Kamu tahu kan apa yang aku maksudkan?” Sekar teringat kejadian tadi siang. Ia pun mengangguk. “Kamu tidak benci kan dengan wanita itu?” Sekar menggeleng. “Kamu juga tidak marah kan pada Rahma yang telah merasa kesal padamu?” Sekar menggeleng lagi. Hamdan tersenyum hingga deretan giginya terlihat dengan jelas. Otak Sekar langsung merekamnya dan berniat untuk menggambarnya nanti. “Sekar.” “Hm?” “Boleh aku menciummu?” Sekar tersentak dan melotot tak percaya. Ia tak tahu harus menjawab apa sekarang.  
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD