Andai saja otak cerdas yang diturunkan Ayah tidak bekerja di saat genting seperti ini, mungkin semua rencanaku bisa gagal total saat ini juga. Ini salah, meski nafsu sudah mengikat tanganku erat-erat di payudaranya tapi ini tetap saja ini salah, ini terlalu cepat dan belum saatnya kami menjadi sedekat ini. Aku melepaskan tanganku yang ada di payudaranya, sebelum jari lentiknya mulai membuka ikat pinggangku aku langsung menahan tangannya. Briana melepaskan pagutan bibirnya dari bibirku dan tertawa penuh arti.
"Kenapa ditahan? Bukannya ini yang lo mau dari gue? Tubuh? s*x? Atau ..." sindirnya dengan tajam dengan pandangan mengejek ke arahku, aku berusaha menahan diri untuk tidak terpancing dengan sindirannya barusan.
"Tubuh? s*x? No! Meski gue akui ciuman panas tadi hampir saja membuat gue sedikit kilaf tapi maaf ini salah, seharusnya gue lebih bisa menahan diri," ujarku, wanita iblis itu bertepuk tangan, entah kagum, bangga atau apa lah yang aku tau wajahnya sedikitpun tidak terlihat kecewa.
Dia mengambil tissue dari dalam tasnya dan memberikan tissue itu kepadaku.
"Hmmm baiklah, sebelum kita pergi ke pestanya Monica, tolong bersihkan lipstick gue yang berantakan di bibir lo, menjijikkan!" ujarnya sambil mendorongku menjauh dari sisinya, aku langsung menghapus sisa lipstick dari bibirku, agar tidak ada tersisa bukti ciuman panas tadi.
Aku melihat Briana merapikan penampilannya lagi melalui kaca spion dan juga menghapus lipstick yang berserakan disekitar bibirnya dan memolesnya lagi dengan lipstick berwarna sama dengan yang tadi dia poleskan.
"Let's go," ujarnya sambil mengemudikan mobilnya menuju club malam.
****
Musik menghentak, bau minuman keras, kehidupan malam yang bebas sedikit membuatnya merasa tidak nyaman berada di club yang sangat jarang aku datangi, dulu pernah sekali saat menemani Calvin yang awalnya hanya melakukan transaksi jual DVD dan berakhir dengan ditendangnya aku dari rumah oleh ayah selama dua minggu karena pulang dalam keadaan mabuk.
Briana menggenggam tanganku saat kami masuk ke dalam club malam dan melewati kerumunan pengunjung yang membludak diakhir minggu seperti ini, beberapa pengunjung melihat ke arah Briana sambil bersiul. Tubuh sintal, seksi dan menggoda dengan gaun potongan rendah membuat laki-laki mata keranjang tidak berhenti menggodanya meski aku ada di sampingnya.
"Hei wanita seksi, ayo gabung di meja gue," sorak salah satu pengunjung, Briana menghentikan langkahnya dan melihat ke arah laki-laki yang menggodanya tadi.
"Apa lo bilang? Gue nggak dengar!" teriaknya disela musik yang memekakkan telinga.
Aku sedikit tidak nyaman saat dia membalas godain laki-laki asing itu.
"Lo seksi banget, berapa harga lo? Temani gue dan teman-teman gue malam ini, berapapun biayanya gue nggak segan keluarkan!" balas laki-laki itu dengan sangat keras.
Briana tertawa penuh arti dan melihat ke arahku.
"Sorry, gue bukan p*****r yang bisa lo beli lagian gue nggak doyan laki-laki kayak lo, ya kan sayang?" Briana semakin mengeratkan tangannya di tanganku dan aku merasakan tangannya sangat dingin.
Laki-laki itu seperti tidak senang dengan penolakan Briana, firasat jelek sesuatu akan terjadi jika kami berada di sini, membuatku menarik tangan Briana untuk menghindar dari laki-laki yang terlihat sangat emosi saat mendengar penolakan Briana. Aku membawanya keluar melalui pintu belakang.
Aku membuka jaket milikku dan memasangkan ketubuhnya yang setengah telanjang itu agar tidak masuk angin.
"Kita dalam masalah besar dan sepertinya lo harus lari sekarang dan tunggu gue di mobil! Buruan!" aku melihat kakinya yang terpasang heel 15 cm dan pasti akan mengganggu jika dia berlari menggunakan sepatu itu, aku kemudian menjongkok dan membuka sepatunya dan menyerahkan sepatu itu ke tangannya.
"LARI!" kataku menyuruhnya lari saat melihat laki-laki itu dan beberapa temannya sudah hampir mendekati kami dengan kayu, pentungan dan senjata lainnya. Briana lari tanpa menoleh sedikitpun kepadaku, ckckck niat hati mau menaklukkan hati wanita iblis tapi ujung-ujungnya aku dikeroyok preman-preman tanggung.
****
Sial!
Penampilanku yang mengeluarkan biaya puluhan juta akhirnya hancur lebur meninggalkan luka lebam kebiruan, bengkak dan rasa sakit yang hampir membuatku tidak bisa berjalan, untungnya Calvin yang ada ditempat kejadian datang menolong dan menyelamatakan nyawaku dari preman yang sudah beringas.
Briana? Huh jangan sebut wanita iblis itu, bukannya menolongku atau setidaknya menungguku di mobil, yang ada dia kabur begitu saja dan meninggalkan aku menanggung akibat dari ulah genitnya.
"Makanya jangan suka main api!" aku mendengar omelan Ara saat mengobati luka-luka di tubuhku, Calvin sialan bisa-bisanya dia memanggil Ara disituasi seperti ini.
"Maaf," balasku yang merasa bersalah membuat Ara melihatku seperti ini, perasaan bersalah semakin besar aku rasakan saat mengingat ciuman panas antara aku dan Briana.
"Aku nggak tau kenapa kamu bisa berakhir babak belur seperti ini, tapi jika alasan kamu seperti ini gara-gara wanita itu ... maaf, aku nggak akan terima aku nggak masalah kamu mendekatinya, aku nggak masalah nanti kalian dekat atau pacaran atau apalah tapi tidak dengan mengorbankan diri kamu," aku mendengar dari nada marah dan kecewa dari suara Ara.
"Maaf, aku janji ini terakhir kalinya aku terluka," balasku menenangkannya.
"Maaf aku marah dan kesal, aku ... aku hanya takut…" aku mendengar helaan napas dari mulutnya.
"Aku nggak apa-apa, luka ini tidak akan membunuh aku ... aku kuat kok," aku menunjukkan tenaga yang ada meski rasanya hampir mematahkan semua tulang rusukku.
"Aku takut kamu semakin jauh terjerat wanita itu! Aku takut bukan hanya aku yang ada di hati kamu!" dia melemparkan handuk basah ke lantai dan lari keluar dari kamar Calvin sambil terisak, aku membuang nafas. Semua hal ada konsekuensinya dan konsekuensi yang harus aku terima adalah melihat airmata turun dari mata indah-nya Ara.
"Aku hanya mencintai kamu, Ara. Tidak bisakah kamu merasakannya dan kenapa kamu bisa meragukan aku? Aku membenci wanita itu dan tidak akan ada nama dia dihati aku," ujarku lirih.
"Bro... Ara nangis di luar..." suara menyebalkan Calvin langsung membuatku naik pitam.
"Kenapa lo hubungi dia sih! Lihat gue kayak gini makanya dia nangis... lo emang rese jadi orang!" kataku dengan kesal.
"Yah mana gue tau kalo akhirnya kalian berantem, soalnya luka lo lumayan parah dan Ara kan calon dokter pasti dia tau cara mengobati lo," ujarnya membela diri, Ckckck Calvin dan Briana mengacaukan segalanya.
"Terus Ara?"
"Iya gue bujuk dulu... tolong bantu gue," Calvin membantuku berdiri dan dengan terseok-seok aku menghampir Ara yang termenung di taman belakang rumah Calvin.
"Awas jangan nguping ya atau pasokan DVD gue hentikan!" ancamku agar Calvin tidak menguping pembicaraanku dengan Ara, Calvin langsung menutup mulutku dan memberi kode agar aku tidak membahas bisnis gilanya di rumah, ah iya aku lupa jika Calvin mempunyai dua kepribadian. Di rumah anak alim dan sholeh, diluar b******n pengedar bokep. Andai ayah-nya yang ustad tau kelakuan anak-nya mungkin perang dunia ketiga bakal terjadi di rumah ini.
"Iya iya... sorry," Calvin meninggalkanku dan kembali ke kamarnya, aku menghela nafas sebelum menghampiri Ara.
Dengan langkah masih terseok-seok aku duduk di depan Ara yang menundukkan kepalanya sambil menendang kerikil yang ada di taman belakang.
"Babe... masih marah?" tanyaku pelan, dia mengangkat kepalanya dan menghela nafas.
"Nggak... aku nggak marah," balasnya.
"Maaf... aku janji hati ini hanya milik kamu, wanita itu tidak berarti sedikitpun dihati aku, kamu tenang saja ya," ujarku meyakinkannya sambil memegang tangannya.
"Janji ya... aku nggak akan rela melihat wanita itu merebut kamu dari aku," aku tersenyum, meski terdengar posesif tapi aku tau dia mengatakan itu karena dia mencintai aku dan aku mencintainya.
"Janji.." kami saling mengaitkan jari kelingking dan diakhiri dengan pelukan, niatnya sih mau ciuman tapi berhubung rumah ini tempat terlarang untuk ciuman, mau tidak mau aku harus lebih bisa menahan diri.
****
Seminggu aku menginap di rumah Calvin selain takut pulang ke rumah dalam keadaan babak belur, aku juga sedang menyusun rencana baru dengan Calvin, dua rencana awal gagal total dan aku harap rencana baru yang dibuat Calvin berhasil.
"Lo yakin ini akan berhasil?" tanyaku meyakinkan diri setelah mendengar rencana baru Calvin.
"Hmmm tergantung lo sih... lo mau atau tidak melakukannya," ujarnya sambil mengangkat bahu-nya acuh tak acuh.
"Oke... kali ini gue harap Briana bakalan luluh," ujarku penuh percaya diri dia akan luluh, paling tidak dia akan menerima kehadiranku meski untuk cinta masih butuh waktu panjang.
"Gue mau nanya... lo jawab dengan jujur ya?" tanya Calvin dengan wajah serius, selama aku menjadi sahabatnya mungkin baru kali ini aku melihat wajah slenge-annya berubah menjadi serius.
"Nanya apa?"
"Lo mengejar wanita yang umurnya jauhhhh diatas lo untuk apa? Alasannya apa? Terus Ara lo apakan jika wanita itu akhirnya luluh? Lo nginjak 2 perahu dengan satu kaki?" sepertinya Calvin harus tau alasan aku melakukan ini semua.
"Gue...."
Drttt drtttt
Aku melihat nama Briana di ponselku, aku memberi kode agar Calvin diam sebelum mengangkat teleponnya.
"Halo"
"Lo lolos ujian pertama... lo rela kena pukul sampai babak belur demi melindungi gue, so sweet dan orang yang rela mati demi gue pantas dijadikan teman... oke lo naik ke step berikutnya"
"Arghhhhh! Gue berhasil!" teriakku dengan girang, Calvin yang serius menunggu ceritaku hanya bisa geleng-geleng kepala, "gue berhasil! Dan rencana gila lo ini nggak akan pernah gue lakukan!" aku membuang kertas berisi rencana Calvin, rencana gila yang memintaku langsung tancap gas dengan melamarnya langsung ke keluarganya, gila saja bisa-bisa keluarga Bara Baswedan memutilasiku jika tau niat jahat yang aku rencanakan pada diri Briana.
****
Tbc