bc

Dokter, Jangan Sentuh Aku

book_age18+
132
FOLLOW
1.4K
READ
HE
badgirl
independent
doctor
single mother
heir/heiress
blue collar
drama
sweet
bxg
city
like
intro-logo
Blurb

WARNING ⚠️

***

Menikah dengan dokter tampan yang jadi idola rumah sakit seharusnya jadi mimpi indah. Tapi tidak bagi Zeya. Bagi gadis polos yang tidak suka disentuh, menikah dengan Kenzo terasa seperti bencana.

Kenzo tenang tapi menggoda. Dingin tapi tahu cara membuat Zeya salah tingkah. Setiap hari bersamanya jadi ujian kesabaran, apalagi ketika pria itu mulai menyentuh batas yang seharusnya tak boleh dilanggar.

*

*

Zeya hanya ingin hidup tenang bersama kakeknya. Tapi hidup justru membawanya ke pelukan dokter yang terlalu santai menawarkan ciuman dan pelukan seolah itu hal sepele.

.

.

Lalu bagaimana jika perasaan yang awalnya mengganggu itu justru berubah menjadi candu

Bagaimana jika tubuh yang awalnya ingin menjauh malah jadi ingin lebih dekat.

Kenzo tidak hanya mengacaukan hati Zeya

Ia juga perlahan mengambil alih dunianya.

chap-preview
Free preview
Bab 1 - Permulaan Di Rumah Sakit Yang Dingin
"Jangan marah dulu" Zeya bersuara pelan dari balik selimut, hanya menampakkan mata dan rambut berantakannya. Suaranya nyaris seperti bisikan takut-takut. Kenzo yang baru selesai menggulung lengan bajunya langsung menghentikan gerakan. "Kamu ngapain lagi, Zeya?" Zeya makin menyusut di bawah selimut. "Itu, DVD yang kemarin, yang kamu bilang mau buang" Kenzo sudah curiga. "Iya. Memangnya kenapa?" Zeya mencolek pipi sendiri, kikuk. "Aku umpetin" Kenzo menatap tajam. "Kamu simpen di mana?" "Di belakang buku kedokteran kamu yang paling tebel, yang kamu aja jarang buka" jawab Zeya sambil cengengesan, polos tapi nyebelin. Kenzo mendekat, berdiri di tepi ranjang. “Zeya” Zeya nyengir. “Aku penasaran, dan aku udah nonton lagi. Tapi aku nggak ngerti kenapa ceweknya kayak kehabisan napas gitu. Emangnya sesakit itu ya?” Kenzo memijat pelipis. “Zeya, itu film, bukan panduan hidup” “Tapi kan seru” Zeya nyaris berbisik, lalu menatap dengan mata bulat polosnya. “Dan aku jadi pengen nyoba lagi. Tapi kamu jangan galak, ya” Kenzo duduk di ranjang, mendekatkan wajahnya sampai Zeya bisa mencium aroma sabun dari kulitnya. “Waktu itu kamu minta berhenti. Kamu nangis. Aku nggak bakal maksa” Zeya menggenggam tangan Kenzo, menggelayut manja. “Tapi sekarang aku pengen. Dan aku udah nonton dua kali. Kayaknya aku udah ngerti dikit” Kenzo menghela napas panjang. “Kalau kamu terus bilang kayak gitu, aku yang bakal kehilangan kontrol, tahu?” Zeya nyengir, menggigit bibir. “Emang boleh?” “Zeya” “Aku pengen tahu kenapa kamu suka nonton itu” bisik Zeya. Kenzo menatap mata istrinya lama. “Kamu tahu nggak kamu itu bahaya banget waktu kayak gini?” Zeya memejamkan mata, tangannya menarik leher Kenzo perlahan. “Tapi kamu kan dokter bedah, masa kalah sama pasien sendiri?” *** Aroma antiseptik, tirai putih pucat, dan udara dingin khas ruang ICU menyambut kedatangan seorang pria bertubuh tegap berseragam putih dengan name tag bertuliskan Dr. Kenzo Aryasatya – Bedah Saraf. Langkahnya cepat dan presisi. Begitu pintu geser terbuka, pandangan matanya langsung tertuju pada pasien di ranjang paling ujung—gadis dengan infus di lengan kanan dan perban melingkari dahi. "CT scan terakhir menunjukkan edema ringan di lobus frontal. Tidak ada perdarahan aktif, tapi tetap kita observasi GCS-nya tiap dua jam," ujar Kenzo sambil membaca lembar rekam medis. Suaranya rendah, tegas, dan dingin. Perawat jaga, Ayu, mengangguk cepat. "Baik, Dok. Pasien datang semalam, kecelakaan tunggal. Katanya sih jatuh dari tangga, tapi..." "Tapi apa?" Kenzo memotong tanpa menatap. "Ada lebam tua di sekitar pergelangan tangan dan bagian rusuk kiri. Sepertinya bukan insiden pertama." Kenzo menoleh cepat. Tatapannya tajam. "Kita panggil psikiater nanti. Tapi untuk sekarang, pastikan dia tetap sadar. Jangan sampai turun di bawah GCS 13." Ayu mencatat, lalu pergi meninggalkan ruangan. Kenzo berdiri di sisi ranjang, memandangi wajah si pasien. Zeya Arluna, begitu tertulis di gelang identitas. Wajahnya pucat, rambutnya sedikit berantakan, tapi ada sesuatu yang mengganggu di balik kesan rapuh itu. Tatapan Zeya—meski lemah—menatap balik dengan sorot tajam. "Kamu sadar?" Zeya mengangguk perlahan. Suaranya nyaris tak terdengar. "Dokter," panggilnya lirih. "Aku Dr. Kenzo. Kamu ada di rumah sakit. Jangan banyak bicara dulu." Tapi Zeya justru membuka mulut lagi, lebih pelan namun tegas. "Aku nggak jatuh. Aku didorong." Kenzo menegang. ** Di luar ruang rawat, Kenzo berpapasan dengan dr. Kayla, rekan sejawatnya di IGD. "Pasien trauma kepala dari semalam? Gimana CT-nya?" tanya Kayla sambil menyeruput kopi. "Edema frontal, GCS 14. Tapi ada indikasi kekerasan fisik lama. Aku curiga ini bukan kecelakaan." Kayla mendesah. "Kalau kamu serius mau lapor, harus tunggu konsul psikiatri. Kita nggak bisa diagnosis trauma psikis dari lebam aja." "Aku tahu. Tapi ada yang aneh dari sorot matanya." Kenzo berhenti sejenak. "Dan dia bilang dia didorong." Kayla menatap Kenzo, alisnya terangkat. "Kamu yakin nggak terlalu larut?" "Aku cuma ingin bantu." Kalimat itu keluar terlalu cepat. Bahkan untuk ukuran Kenzo sendiri. "Oke," angguk Kayla, ia agak kaget karena biasanya Kenzo tak sebegitu tertariknya dengan urusan pasien selain menyelamatkan nyawanya. Tapi kali ini Kenzo malah ingin tau asal muasal pasien bisa kecelakaan, yang menurutnya lebih mirip detektif. ** Dua hari berikutnya, Zeya membaik. Meski tetap diobservasi, ia sudah mulai duduk dan berbicara lancar. Tapi yang tidak berubah, sorot matanya yang selalu mengikuti tiap gerak Kenzo. Pagi itu, saat visit pasien, Kenzo memeriksa denyut nadi Zeya sambil mengalihkan tatapan. "Denyutmu masih agak cepat. 110. Kamu stres?" "Kalo aku bilang karena dokter terlalu dekat?" bisik Zeya pelan. Kenzo menegang. Ia menarik tangannya cepat, lalu mencatat tanpa menanggapi. Zeya tersenyum tipis. "Kenapa? Takut jatuh cinta sama pasien, Dok?" "Aku nggak main-main dengan hal seperti itu, Nona Zeya." "Tapi kamu menggenggam pergelangan tanganku lebih lama dari yang seharusnya tadi." Kenzo berdiri. "Sebaiknya kamu fokus sembuh." "Oke deh," angguk Zeya, sedikit manja. Suasana tegang di antara mereka memanas. Mata Zeya tak melepaskan tatapannya. Bahkan ketika Kenzo keluar, ia masih bisa merasakan hawa tubuh pria itu seakan tertinggal di udara. ** Sore hari, rapat medis digelar di ruang staf. "Pasien di ruang 303, trauma kepala. Tadi sore denyutnya naik hingga 125. Ada riwayat hipertensi atau kecemasan sebelumnya?" tanya Dr. Anton, kepala unit saraf. "Tidak ada. Tapi pasien menunjukkan tanda post-traumatic anxiety. Aku rekomendasikan tambahan beta-blocker sementara," jelas Kenzo. "Lalu kamu yang awasi langsung perkembangannya?" Kenzo mengangguk. "Aku tangani." Kayla menoleh pelan, mencibir kecil. "Wah, perhatian sekali." "Dokter memang harus memperhatikan pasiennya, dokter Kayla, kenapa jadi lebay sekali." Kayla terkekeh. "Santai dong, Dokter." Kenzo menghela napas, ia tak pernah merasa tertarik dengan kasus yang dialami pasien. Namun ia merasa ada kejanggalan atas kecelakaan yang menimpa pasiennya. Belum lagi, sorot mata putus asa yang dibungkus dengan keceriaan pasiennya membuatnya sedikit terusik.

editor-pick
Dreame-Editor's pick

bc

Shifted Fate

read
714.1K
bc

Chosen, just to be Rejected

read
149.6K
bc

Corazón oscuro: Estefano

read
1.0M
bc

Holiday Hockey Tale: The Icebreaker's Impasse

read
155.7K
bc

The Biker's True Love: Lords Of Chaos

read
317.1K
bc

The Pack's Doctor

read
721.8K
bc

MARDİN ÇİÇEĞİ [+21]

read
826.3K

Scan code to download app

download_iosApp Store
google icon
Google Play
Facebook