“Zeya Arluna,” gumam Kayla sambil menatap gelang logam kecil di pergelangan tangan pasien.
“Gelang ini yang pertama ditemukan petugas security. Tidak ada kartu identitas, tidak ada ponsel. Dan sampai sekarang, belum ada keluarga yang datang mencari.”
“Sudah dikonfirmasi ke data e-KTP dan pasien rawat inap nasional?” tanya Kenzo sambil mengenakan sarung tangan medis.
Kayla mengangguk. “Masih diproses. Tapi yang aneh nih, nggak ada laporan orang hilang atas nama ini.”
Kenzo hanya menatap diam layar CT-scan milik Zeya yang menunjukkan edema ringan di bagian oksipital. “Kamu bilang dia sudah sadar penuh?”
“GCS 15. Refleks normal. Tapi katanya dia lupa segalanya. Bahkan saat kita tanya di mana dia tinggal, siapa yang bisa dihubungi, dia bilang nggak tau tuh."
Kenzo menghela napas. “Siapapun dia, kita harus tetap anggap dia pasien trauma kepala hingga terbukti sebaliknya.”
**
Ruangan 303. Zeya duduk di atas ranjang, menyandarkan tubuh pada tumpukan bantal. Pakaian rumah sakit longgar menutupi tubuhnya yang tampak rapuh. Wajahnya pucat, tapi mata hitamnya tampak tenang.
Saat pintu terbuka, pandangannya langsung tertuju pada pria berseragam putih itu.
“Dokter Kenzo, ya?” tanyanya pelan.
Kenzo mendekat tanpa banyak basa-basi, membuka catatan elektroniknya.
“Zeya,” ucapnya. “Kamu masih ingat tadi malam kamu sempat bilang sesuatu saat di ICU?”
Zeya menunduk. Jemarinya menggenggam ujung selimut.
“Kamu bilang kamu merasa didorong. Itu keluar dari mulutmu sendiri.”
Sunyi. Hanya suara detak monitor dan nafas perlahan gadis itu yang terdengar.
“Aku bilang begitu?” bisiknya akhirnya.
“Iya. Dengan cukup jelas.”
Zeya menarik napas dalam. “Aku nggak tahu, Dokter. Semuanya kabur. Mungkin cuma mimpi.”
Kenzo memperhatikan gerakan tubuhnya—terlalu tertib untuk seseorang yang bingung. Ia mencatat sesuatu.
“Kalau ada yang kamu ingat sekecil apa pun, sampaikan ke kami. Ini penting.”
Zeya mengangguk. Tapi tatapannya tidak pernah benar-benar bertemu dengan mata Kenzo.
Hening kembali, gadis itu tampak lemas dan diam.
Beberapa jam kemudian, Kenzo duduk di ruang istirahat dokter, membuka kembali rekaman observasi awal Zeya.
“Aku rasa... aku didorong.”
Ia menekan jeda. Suara itu lirih, tapi jelas. Tapi reaksi Zeya tadi bukan seperti orang yang kaget mendengar dirinya berkata begitu. Justru seperti seseorang yang tak ingin membahasnya lagi.
“Kalau trauma psikologis, reaksi penolakan memang bisa terjadi,” gumamnya pada diri sendiri.
Kayla masuk membawa dua cangkir kopi. “Kamu nonton ulang pasien spesial itu?”
Kenzo menoleh. “Dia menyembunyikan sesuatu.”
“Bisa jadi. Tapi bisa juga dia cuma takut. Banyak pasien trauma kepala yang mengalami kebingungan memori."
“Kay, dia terlalu tenang.”
Kayla tersenyum miring. “Atau kamu terlalu fokus.”
Kenzo menatap Kayla dingin, lalu Kayla terkekeh. "Bercanda kali, Dok!"
**
Sore harinya, Zeya duduk termenung sambil menggambar sesuatu di atas tisu. Kenzo datang membawa roti panggang di atas nampan.
“Perawat bilang kamu tolak makan siang.”
Zeya melirik, lalu tertawa kecil. “Aku nggak suka bubur. Rasanya kayak minum cat tembok.”
Kenzo menahan senyum, meletakkan piring di meja. “Roti, tanpa olesan. Aman?”
“Perfect,” sahutnya sambil menyambut. Tangannya hampir menyentuh tangan Kenzo, tapi sang dokter cepat menarik diri.
Zeya menatap gerak refleks itu. “Kamu selalu menjaga jarak ya?”
“Aku dokter.”
“Dan aku pasien. Tapi kayaknya kamu terlalu disiplin untuk ukuran manusia.”
Kenzo menghela napas. “Aku nggak di sini untuk ngobrol.”
“Sayang banget. Padahal kamu orang pertama yang bikin aku merasa hidup hari ini.”
Kenzo diam. Tak lama ia menghela napas.
**
Kenzo kembali ke ruang dokter malam itu, membawa satu cangkir kopi hitam. Di sofa pojok, dr. Tirta, seorang spesialis neurologi yang ikut menangani Zeya, sudah duduk dengan kaki berselonjor, memegang tablet sambil ngemil pisang goreng dari kantin lantai bawah.
“Pasien kamu yang misterius itu?” tanya Tirta sambil menyesap kopi.
Kenzo duduk di hadapannya. “Aku nggak bisa berhenti mikirin dia.”
“Zeya?”
“Ya. Ada yang aneh.”
Tirta mengangkat alis. “Anehnya di bagian mana? Fisiknya stabil. Edema minor, nggak ada hematoma besar, dan refleksnya bagus. Kalau pun ada gangguan neurologis, nggak terlalu signifikan.”
“Justru itu,” kata Kenzo, mencondongkan tubuh. “Orang yang benar-benar kehilangan memori karena trauma umumnya menunjukkan kecemasan tinggi, disorientasi, kadang fluktuasi emosi. Tapi dia stabil. Bahkan terlalu tenang.”
Tirta mengangguk pelan. “Itu bisa disebabkan oleh mekanisme dissociative defense. Kadang pasien menolak memori tertentu secara bawah sadar untuk bertahan.”
“Tapi cara bicaranya lancar, gaya tubuhnya nggak seperti orang bingung. Bahkan waktu aku tanya soal pengakuan dia didorong, dia langsung bilang nggak tau, lalu alihkan topik.”
Tirta menyipitkan mata. “Kamu berpikir dia berpura-pura amnesia?”
Kenzo mengangguk perlahan. “Ada kemungkinan. Tapi aku nggak bisa langsung simpulkan itu tanpa evaluasi psikiatri penuh.”
“Kalau kamu mau jalan objektif, kamu bisa minta Dr. Naomi dari psikiatri untuk observasi lanjutan. Tapi...”
“Tapi?”
Tirta menyeringai. “Kalau kamu cuma pengin tahu karena mulai peduli, itu urusan lain.”
Kenzo mendengus. “Dia pasien, Tir.”
“Dan kamu bukan robot,” ujar Tirta sambil mengangkat kopinya.
Hening sejenak. Kenapa hari ini dua rekannya semua hanya bisa meledek ia dengan Zeya, gerutunya.
“Menurutmu,” tanya Kenzo akhirnya, “kalau seorang pasien trauma kepala ringan, berpura-pura amnesia, apa motifnya?”
“Banyak. Bisa untuk menghindari trauma yang lebih besar. Bisa karena takut seseorang. Bisa juga karena dia memang sedang lari dari sesuatu yang besar.”
Kenzo menatap sisa kopinya yang mulai dingin.
“Kalau benar dia lari, dari apa?”