Apa laki-laki itu bercanda?
Pertanyaan itu lah yang kini masih menempel di dalam otak Rose sekarang. Tidak percaya bahwa makhluk menyebalkan itu benar-benar mengusirnya dari kamar yang seharusnya ia tempati dengan suaminya.
Rose mulai meragukan kewarasan Alex. Seberapa gila laki-laki itu ketika berani mengacuhkan wanita sepertinya. Itu sangat melukai harga diri Rose.
Rose melemparkan koper secara kasar ke arah lantai kamar tamu yang akan menjadi kamarnya. Memang tidak terlalu buruk. Ruang kamar ini juga tidak luput dari kemewahan setara dengan kamar Alex yang sebelumnya. Namun harga diri Rose yang setinggi angkasa terasa begitu jatuh dihempaskan oleh sikap luar biasa angkuh Alex. Dan itu menyakitinya.
Rose semakin bertekad. Pernikahan ini seperti tantangan baginya. Ia ingin melihat laki-laki itu bertekuk lutut di bawah kakinya. Mengagumi kecantikannya. Dan tersadar bahwa selama ini ia adalah wanita berharga yang seharusnya tidak diperlakukan Alex seperti ini.
Rose harus membuat laki-laki itu jatuh cinta kepadanya. Sekalipun harus merebut lelaki itu dari kekasih yang sangat dicintainya. Rose tetap tidak peduli. Selama ia masih bisa merebut apa pun yang ia inginkan menjadi miliknya. Kenapa tidak!
***
Rose keluar dari taksi ketika tubuhnya sudah sampai di restorant siap saji yang cukup terkenal di Singapura.
Memikirkan pernikahannya yang baru melewati satu hari membuat Rose lelah bukan main. Dan itu berimbas pada perutnya. Mereka keroncongan dan sudah siap untuk menampung makanan apa pun yang akan ia pesan.
Rose suka makan. Ia adalah pemakan segala jenis makanan, ia tidak terlalu memperhatikan berapa kalori yang terkandung di makanannya. Karena itu sama sekali tidak berpengaruh terhadap berat tubuhnya. Tubuhnya tetap langsing dengan porsi makan yang cukup berlebihan.
"Rose?"
Lalu suara itu berhasil mengagetkan Rose. Melirik ke arah suara dan sedetik kemudian tertegun ketika melihat ada sosok wanita paruh baya sedang berdiri di seberang meja yang kini ia tempati. Rose refleks berdiri, ketika menyadari bahwa itu adalah ibu mertuanya sendiri.
Wanita itu tersenyum. Mungkin ini pertemuan ketiga mereka setelah pernikahan berlangsung. "Duduk lah," katanya, kemudian mulai ikut bergabung di kursi sebelah Rose. "Kau sendiri di sini?" tanya Jane, ibu kandung Alex.
Rose mengangguk sebagai jawaban. Lalu tersenyum kikuk. Ia tidak terlalu mengenal wanita ini. Bagaimana Rose harus bersikap?
"Saya sendiri."
"Alex tidak datang bersamamu?"
"Tidak. Dia sedang bekerja."
Jane terlihat menghela napas.
"Anak itu memang keras kepala. Aku sudah menyuruh untuk mengambil cuti beberapa minggu untuk bulan madu kalian. Tetapi Alex malah lebih memilih bekerja."
Mertuanya pun sama. Ia berpikir seperti wanita normal pada umumnya. Tidak seharusnya Alex memperlakukannya seperti ini. Jika ibunya tahu Alex mengusirnya dari kamar, apakah wanita itu akan membelanya.
Ah, tidak. Tidak ada seorang pun yang boleh mengetahui bahwa ia sudah direndahkan oleh Alex. Oh, itu memalukan.
"Alex memang mempunyai sifat angkuh dan dingin seperti Ayahnya. Tetapi sebenarnya dia baik." Penjelasan Jane membuat dahi Rose berkerut samar.
Apa? Dia baik?
Dalam ujung kuku pun Rose tidak pernah melihat kebaikan laki-laki itu. Sifat kakunya malah membuat Rose semakin jengkel.
"Alex bahkan sangat menyayangi Stella," lanjutnya lagi.
Stella? Nama itu membuat mulut Rose penasaran. "Stella?" tanya Rose dengan kerutan bingung di dahi. Apa nama itu adalah peliharaan Alex?
Dan Jane yang menyadari ekspresi Rose langsung menjelaskan, "Stella adalah adiknya Alex. Seumuran denganmu. Hanya saja dia sekarang tinggal di Tokyo. Entah, dia lebih suka tinggal di sana. Dari pada bersama orang tuanya di sini."
Dan Rose terkejut dengan penjelasan itu. Mungkin sedari tadi ia sudah salah paham. Ternyata adiknya. Bukan kekasih simpanannya. Maklum saja Rose cukup asing dengan nama itu. Dan tidak tahu menahu dengan sosok Stella. Mereka tidak pernah bertemu. Bahkan di hari pernikahan sekali pun.
"Sepertinya dia tidak datang di pesta pernikahan kemarin?"
Jane mengangguk. "Stella memang tidak bisa datang. Pekerjaan di sana tidak bisa ditinggalkan karena menyangkut nyawa seseorang. Ia bekerja sebagai dokter ahli bedah di sana. Jadi mohon maaf untuk itu."
Rose menggeleng. Tidak terlalu nyaman dengan raut bersalah ibu mertuanya. "Tidak apa-apa. Saya mengerti."
Rose ingin sekali mengulik sesuatu. Ia ingin tahu apa keluarga Alex mengetahui bahwa selama ini putranya mempunyai peliharaan lain di luar sana.
"Em, apa saya boleh tanya sesuatu?"
Kata-kata Rose berhasil membuat Jane tersenyum. "Tanyakan saja."
"Apa selama ini Alex mempunyai kekasih?"
Terlihat raut berbeda yang ditujukan Jane setelah pertanyaan itu termuntahkan dari mulut penasaran Rose. Jane terlihat seperti sedang berpikir, merasa ragu apa ia harus memberitahu hal ini atau tidak. Meski wajah kesedihan itu sengaja Jane tutupi, tetapi sayangnya Rose sudah terlanjur melihatnya. Membuat Rose hanya bisa terdiam cukup lumayan lama. Menunggu jawaban dari Ibu mertuanya yang entah itu akan terjadi atau mungkin tidak sama sekali.
"Ya, Alex sudah mempunyai kekasih." Jawaban Jane bersama raut wajah yang serius. "Untuk itu. Tolong, ubah lah Alex untuk bisa mencintaimu."
***
Alex menghempaskan tubuh kekarnya di sandaran kursi kebesarannya. Kepalanya terasa berdenyut. Terlalu pusing memikirkan masalah ini. Sudah cukup dengan setumpuk pekerjaan yang bisa membuat pikirannya berantakan, bisakah wanita itu juga ikut keluar dari pikirannya.
Tok tok tok
"Masuk," ucap Alex ketika suara pintu ruangannya diketuk. Alex masih memejamkan mata. Kepalanya terlalu pusing. Tidak terlalu peduli dengan seseorang yang masuk. Mungkin itu sekretarisnya.
"Apa aku mengganggumu?"
Tetapi bukan. Nyatanya suara itu cukup familiar di gendang telinga. Membangunkan Alex dari pejaman matanya. Lalu melirik ke asal suara. Sedetik kemudian mata Alex langsung terbelalak.
"Stella?"
.
.
.
"Sejak kapan kau datang?"
"Sejak 15 menit yang lalu."
"Kau kemari tetapi tidak memberitauku sedikit pun."
"Ayolah Alex, kupikir kau sudah mempunyai istri. Jadi kau tidak akan membutuhkanku lagi."
Alex terkekeh menatap wajah cantik adiknya. Sudah beberapa bulan ia tidak melihat wajah cantik ini. Ternyata masih sama. Stella masih terlihat cantik, dengan mata bulat, hidung mancung, dengan dagu yang tirus. Mungkin ada sedikit perbedaan. Adiknya memanjangkan rambutnya sampai sepinggang. Terakhir ia melihat rambut itu sebatas bahu.
Alex meneguk minumannya. Memperhatikan situasi cafe yang di pilihnya sebagai tempat mengobrol dengan adiknya. Tidak terlalu ramai.
"Kau cemburu?" tanya Alex sedikit bernada jahil. Tahu bahwa adiknya adalah perempuan yang sensitif.
Dan benar, Stella menjawab pertanyaan itu dengan ketus. "Tentu saja."
Alex tertawa. Menyenangkan mengobrol dengan adiknya seperti ini. "Tenang saja. Aku masih mencintaimu."
"Jangan menggombal Alex. Nanti istrimu bisa cemburu."
Alex mengedikan bahunya. "Biarkan saja. Kau kan adik kesayanganku."
Stella hanya bisa tertawa. Mengalihkan fokus ke minumanya sejenak lalu kembali fokus ke wajah Alex.
"Aku minta maaf karena tidak bisa datang di pernikahanmu."
Alex hanya mengangguk. Tidak terlalu peduli dengan itu. Toh, itu bukan pernikahan impiannya. Jadi tidak masalah. "Tidak apa-apa. Aku mengerti."
"Apa aku juga harus meminta maaf dengan istrimu?"
"Kurasa itu tidak perlu. Kapan kau akan kembali ke Tokyo?"
Alex mencoba mengalihkan pembicaraan. Ia sedang tidak ingin membahas wanita itu.
"Mungkin nanti malam."
"Secepat itu?" tanya Alex tidak setuju. Kenapa cepat sekali?
"Besok pagi aku ada jadwal operasi." Tatapan Stella tertuju ke arah arlojinya. Lalu mulai berdiri dari duduknya. "Aku harus pergi sekarang. Aku ingin bertemu Mommy."
"Biar aku antar," cegah Alex ketika melihat Stella ingin menjauh pergi.
"Pekerjaanmu?" tanya Stella.
Alex melirik arloji di pergelangan tangannya. "Masih ada waktu satu jam untuk meeting."
"Baiklah."
***
Rose tiba di mansion Alex ketika jam menunjuk angka 3 sore. Tidak terasa Rose betah mengobrol dengan ibu Alex sampai selama itu. Di kedua apitan tangannya tidak kosong. Ada beberapa tali paperbag yang mengait di ujung jemarinya. Karena tadi Ibu Alex mengajaknya berbelanja dan semua pakaian ini Ibu Alex yang membelikannya.
Ibunya bahkan sebaik itu. Kenapa anaknya menyebalkan?
Tubuh Rose kemudian terebahkan di atas ranjang. Kakinya terasa sedikit pegal. Mungkin ia harus tidur sebentar.
Rose mulai membuka sepatu heelsnya. Dan melemparkan heels itu ke sembarang arah. Matanya sudah siap terpejam. Namun suara ponsel di dalam tasnya membuat Rose terjaga kembali.
Rose merogoh ponselnya dengan gerakan terganggu. Semakin terganggu ketika menemukan nama Angel teman sesama liarnya tertera di sana.
"Hal-"
Belum sempat ucapannya terselesaikan. Suara di seberang sana sudah memotong kata-katanya dengan cepat.
"Rose, aku saat ini sedang liburan di negara suamimu. Kau mau menemaniku? Kita bisa mencari Club yang bagus di sini."
Rose mendengus. Ia sedang tidak ingin pergi ke mana pun. Ia hanya butuh ranjang untuk saat ini. Kantuknya sudah mulai menyerang. Matanya terasa tertindih tumpukan besi. Berat sekali ya Tuhan.
"Maaf Angel aku tidak bisa."
"Ah, kau tidak asyik setelah menikah."
"Aku lelah sekarang. Hanya butuh tidur."
"Waw kalian melakukan sampai jam segini?"
"Melakukan apa?"
"Malam pertama."
Uhuk
Seketika Rose tersedak dengan air liurnya sendiri.
"Ahahaa iya kami melakukanya sampai saat ini. Bahkan kami belum berhenti."
Memalukan jika Angel tahu pernikahan semacam apa yang Rose perankan.
"A-apa? Berarti aku mengganggumu."
"Ahh, y...yaahh," ucap Rose dengan suara desahan yang dibuat-buat.
Terdengar dengusan Angel di seberang sana. "Ah, sialan kau. Aku tutup teleponnya."
Rose tidak bisa mengendalikan tawanya ketika sambungan telepon itu terputus begitu saja. Lucu sekali menjahili temannya seperti ini. Suruh siapa dia menggangguku.
Rose kemudian melemparkan ponselnya ke samping ranjang. Menatap langit-langit kamarnya dengan tatapan menerawang. Secuil pertanyaan mulai bermunculan di dalam diri Rose. Kenapa Jane menyuruhnya untuk membuat laki-laki itu mencintainya? Apa kisah cinta mereka terlarang? Seperti perbedaan kasta yang selalu era modern ini terapkan.
Sungguh, permintaan Ibu Alex berhasil membuat Rose menjadi penasaran setengah mati. Haruskah ia merebut Alex dari kekasihnya? Bagaimana jika wanita itu adalah wanita tak berdaya yang mempunyai segudang kebaikan hati?
Ah, persetan dengan itu. Saat ini Alex sudah menjadi suaminya. Rose harus merebut cinta Alex dari kekasihnya.
Sekalipun harus menjadi w*************a untuk suaminya sendiri.