bc

Oh My Lady [Bahasa Indonesia]

book_age16+
3.6K
FOLLOW
35.1K
READ
revenge
possessive
age gap
dominant
badgirl
boss
drama
like
intro-logo
Blurb

Sebagai satu-satunya pewaris kekayaan Alexander, Damian Alexander tidak hanya harus menjalankan perusahaan tetapi juga menjaga seorang gadis remaja yang begitu membencinya.

Gabriella Hudson, seorang gadis yatim piatu yang dijebak dalam permainan takdir untuk membenci tunangannya sendiri yang juga berhubungan dengan penyebab kematian orang tuanya.

Akankah cinta dapat mengobati luka dan menghapuskan dendam di antara mereka? Atau pada akhirnya melepaskan adalah yang terbaik untuk keduanya?

chap-preview
Free preview
Prolog
Kehidupan adalah roda berputar. Kadang kau di atas dan kadang kau berada di bawah. Suatu waktu seseorang bisa menjadi sangat kaya dan di detik berikutnya orang itu bisa menjadi sangat fakir. Begitupun dengan kebahagiaan dan hal lainnya. Tapi hal itu tidak berarti bagi kehidupan gadis remaja yang sedang membereskan barang-barang ke dalam tas bermerknya. Baginya roda kehidupannya telah berhenti berputar sejak hari mengenaskan itu dan membuatnya tidak pernah lagi mencecap bahagia. Gadis itu sengaja memperlambat setiap gerakannya untuk membuang-buang waktu agar ia bisa lebih lama berada di sekolah. Tidak sadar bahwa satu persatu siswa mulai meninggalkan sekolah. "Abby, kami pulang dulu!" Gabriella atau yang lebih akrab disapa Abby tersenyum kecut sambil membalas ucapan selamat tinggal teman-temannya dengan lambaian tangan. Teman-teman Gabriella hanya bisa menatap gadis itu tanpa bisa melakukan apa-apa selain memberinya tatapan iba. Gabriella akhirnya selesai memasukkan semua barang-barangnya. Koridor sudah sepi ketika Gabriella menutup pintu loker karena nyaris semua siswa langsung berhamburan keluar begitu bel berdering. Hari ini adalah hari kedua dari ujian kelulusan, hanya ada siswa tahun terakhir di sekolah yang membuat sekolah lebih sepi dari biasanya. Dua orang pria bersetelan necis lengkap dengan dasi dan sepatu hitam yang disemir hingga mengkilat menyambut Gabriella begitu kakinya melangkah keluar dari lobi sekolah. "Nona bagaimana hari anda hari ini?" tanya salah satu dari dua orang berseragam itu sambil meraih tas merah muda di punggung Gabriella, sedangkan pria satunya dengan cekatan membuka pintu mobil. Gabriella menatap pria berusia kepala tiga itu dengan datar. "Menyenangkan. Waktuku di sekolah ini selalau menjadi waktu yang amat-sangat-menyenangkan untukku." Gabriella setengah melempar tas ranselnya kepada pria yang barusan menanyakan kabarnya lalu masuk ke dalam mobil. "Setidaknya sampai aku melihat wajah kalian berdua!" Pintu mobil tertutup dengan bantingan keras tepat di wajah sang pria yang membukakan pintu. Kedua pria itu hanya dapat bertukar tatap. Mereka tentu sudah tidak terkejut dengan peringai sang nona muda. Bisa dikatakan keduanya bahkan sudah terbiasa. Justru aneh jika sang nona muda tidak bertingkah demikian. Di dalam mobil, sesekali kedua pria itu mengintip ekspresi Gabriella. Keduanya saling memberi aba-aba untuk memulai percakapan, akhirnya pria yang duduk di balik kemudi harus mengalah hari itu. Pria itu berdehem sebelum membuka percakapan. "Nona, ku dengar hari ini anda dipanggil guru pembimbing. Apakah nona berbuat ulah lagi?" "Ya." Tidak seperti dugaan, Gabriella menjawabnya meski dengan ketus. "Nona, jika tuan tahu pasti nona..." Gabriella menatap pria itu dengan tajam-merasa kesal begitu pria itu mulai menyebut-nyebut tentang 'tuan'. "Ku kira kita sudah membicarakan ini? Jangan menyebut tentang tuanmu ketika sedang di luar area kekuasaannya!" Gabriella membentak, nyaris menjerit frustasi. Pria bertubuh besar itu menciut. Pria bertubuh lebih kecil di sampingnya yang tidak mengemudi tersenyum miris. "Tapi nona, sekolah ini juga wilayah kekuasaannya." Ucapan pria itu membuat telapak tangan Gabriella terkepal. Aku lupa, bahwa pria sialan itu penguasa! "Ya! Aku tahu! Aku tahu! Tuan kalian adalah orang yang paling berkuasa kan? Semua hal dapat dikuasainya, termasuk aku dan kalian!" Dua pria itu pun menutup mulut mereka rapat begitu mobil yang mereka kendarai keluar dari gerbang sekolah dan berniat untuk melakukannya hingga sampai ke tujuan, sebelum mood nona muda mereka menjadi lebih buruk dan hari pekerjaan mereka menjadi lebih melelahkan. --- Damian menyesap kopi di balik kursi kebesarannya, menatap ketenangan kebun asri terawat miliknya dengan tenang. Pria itu tersenyum ironis mengingat ulah gadis remaja yang membuat namanya hampir tercoreng di sekolah miliknya sendiri. Damian mengambil ponsel di meja, membuka kunci lalu menekan nomor seseorang untuk dipanggil. Setelah menekan tombol pemanggil, pria itu mendekatkan benda tipis itu ke telinganya. Panggilan terangkat setelah nada dering kedua. "Hal-" "Sudah kau bereskan?" Sambarnya, bahkan sebelum orang di sebrang sana sempat menyapa. "Sudah. Sebenarnya bocah itu tidak melakukan apa-apa pada nona-mu, hanya.." "Brengsek itu dan Gabriella tertangkap basah berciuman di gedung olahraga kosong, Lex!" Damian berseru,merasa tidak setuju dengan penuturan yang bahkan tidak bisa dituntaskan Alex di sebrang sana. "Tapi kau—" "Lex, aku berbicara di sini sebagai atasanmu. Bisakah kau hanya menjawab sesuai keinginanku saja?" Pria bernama Alex di sebrang sana justru tertawa. "Apa? Apa yang lucu?!" sungut Damian tidak terima. Dia tidak sedang melontarkan lelucon dan moodnya cukup buruk untuk dapat memahami maksud tawa Alex. Alex menghentikan tawanya. "Anak laki-laki itu sudah dipanggil dan diberi hukuman. Dia juga akan mengerjakan ujiannya di ruangan khusus sendiri. Apa anda puas, tuan?" Alex sengaja menggunakan penekanan pada kata 'tuan' untuk mengejek Damian. Damian menghela napas. "Sebenarnya aku lebih senang mendengar ia dikeluarkan dalam keadaan babak bel-" "Kami tidak akan melakukan kekerasan terhadap murid kami!" Alex terdengar berseru, tidak terima. Biar bagaimanapun dia adalah kepala sekolah terhormat dan tidak akan melakukan hal di luar ketentuan. Meski itu perintah langsung dari sang pemilik sekolah. Damian mendecih. "Tapi aku adalah pemilik sekolahan itu Lex dan aku bebas melakukan apapun." "Kalau begitu kenapa tidak kau yang melakukannya? Sekalian kau saja yang jadi kepala sekolah di sini, sialan!" Damian terdiam, menciut. Kalau Alex sudah sampai mengumpat, itu berarti lelaki itu benar-benar kesal. Lagipula Damian tidak mau membuat dirinya dibenci seseorang jika melakukan apapun itu yang ada di kepalanya saat ini. Tidak. Aku tidak akan membuatnya semakin membenciku lagi. "Untuk apa aku mengotori tanganku dengan darah anak ingusan sepertinya?" Alex mendengus, tapi kemudian Damian bisa mendengar kekehan di sebrang sana. Alex sepertinya sudah kembali seperti biasa. "Selagi kau menghabiskan waktumu tertawa ada banyak hal yang harus kulakukan jadi akan ku tutup sambungan ini." "Baiklah, boss besar yang super sibuk," sindir Alex masih disela tawanya. Damian mengumpat lalu mematikan sambungan dan kembali menyesap kopinya. Tatapannya jauh menerawang, berusaha menenangkan diri dari kemungkinan-kemungkinan buruk yang memenuhi kepalanya. Sebelum di detik berikutnya ketenangannya harus diusik. Braak... Pria itu menatap siapa yang baru saja membuka kasar pintu ruangannya dengan tidak sopan. Kemarahan yang ingin ia semburkan pada siapa saja yang melakukannya tertelan kembali begitu melihat siapa pelakunya. Gadis cantik yang masih mengenakan seragam SMA lengkapnya. Alasan kepalanya dipenuhi berbagai macam pikiran sehingga rasanya bisa meledak kapan saja. Gabriella. Damian merubah raut wajahnya yang semula siap meledak untuk sebuah senyum. "Hai?" Gabriella menatapnya sinis. "KAU TIDAK BERHAK MELAKUKAN INI!" Gadis itu berseru keras. Membentak bisa dibilang. Damian Alexander tahu hal ini akan terjadi cepat atau lambat, jadi ia hanya memasang ekspresi tenangnya seperti biasa. "Apa maksudmu?" "Maksudku? Sialan! Kau tidak berhak mengatur kehidupanku! AKU MUAK DIIKUTI KEMANAPUN! DILARANG PERGI KECUALI DALAM PENGAWASANMU? OH MEMANGNYA KAU SIAPA?" Damian masih bergeming. "Bagaimana harimu di sekolah? Sudah puas membuat masalahnya?" tanya Damian seakan tidak mendengar teriakan marah gadis itu yang justru membuatnya semakin geram. "Masalah apa? Apa kau menyebut berciuman dengan kekasih itu sebuah masalah? Biar aku pertegas, ke-ka-sih! Apa yang salah dengan itu?" Brak! Damian menggebrak meja dengan keras membuat kopinya tumpah terkena guncangan. Tidak peduli itu membasahi layar tabletnya di meja. Gabriella seketika diam-menciut tapi tidak sepenuhnya takut. Dia hanya terkejut dan masih mampu untuk mengangkat dagunya dengan sombong, siap menantang Damian. "Aku tidak akan melakukan itu semua kalau kau jadi gadis penurut!" Gabriella tersenyum meremehkan. "Menurut kepada siapa? Padamu? Oh memangnya kau pikir siapa dirimu sampai aku harus menurut?" Brak. Sekali lagi Damian menggebrak meja. "AKU KEPALA KELUARGA DI SINI. AKU BERHAK MENGATURMU DAN KAU BERHAK MEMATUHI ATURANKU NONA ALEXANDER!" bentak Damian penuh emosi. Kesabarannya seakan dipancing dengan sengaja oleh gadis berseragam SMA di hadapannya itu. "BERHENTI MENYEBUT NAMAKU DENGAN NAMA KELUARGA SIALAN ITU!" Gabriella balas berteriak. Damian sudah terlalu banyak mencampur tangani kehidupannya, membuatnya muak. Damian menggertakan gigi. Napasnya tak teratur disebabkan emosi. Sebisa mungkin ia meredakan amarahnya yang membuat darahnya menggelegak di kepala hingga wajahnya memerah. Tatapan tajamnya beradu dengan tatapan kebencian gadis muda di hadapannya. "Brandon! Joss!" Panggil pria itu dan dua orang bodyguard yang setia berdiri di depan ruangan itu masuk dengan segera. Keduanya sudah terbiasa dengan perdebatan panas Gabriella dan Damian sehingga perdebatan tadi bukanlah apa-apa. Bahkan tidak sekali dua kali debat kusir mereka disertai bunyi benda pecah. Seperti sudah mengerti apa yang harus dilakukan mereka, kedua bodyguard itu memegangi lengan Gabriella. Gadis itu menggeliat menolak namun setengah pasrah karena dia tahu jika usahanya hanya akan berbuah sia-sia. Damian mendekati Gabriella. Tatapannya berubah melembut meski Gabriella memalingkan wajahnya begitu Damian sudah berada di hadapannya. Dengan lembut disentuhnya dagu gadis itu agar mau menatapnya. "Kau harus mulai belajar sopan kepadaku karena kau akan menjadi istriku sebentar lagi,Gabriella," bisik Damian untuk kemudian melepaskan dagu Gabriella. Seperti tombol otomatis, mata Gabriella yang semula menyendu kini menatap Damian penuh amarah. "AKU TIDAK PERNAH SUDI MENJADI ISTRI SEORANG PRIA TUA GILA KONTROL SEPERTIMU, BRENGSEK!" Gabriella menggeliat tidak terkontrol di genggaman dua bodyguard yang sudah menulikan pendengarannya sejak tadi. Berusaha menendangkan kakinya, berharap agar sekali saja tendangan itu mengenai Damian. Menyakitinya seperti Damian telah menyiksanya. Rahang Damian mengeras. Terluka. Bahkan tanpa sebuah tendangan pun setiap detiknya ia sudah terluka oleh setiap tindakan Gabriella. "Sayang, berlakulah sopan kepada calon suamimu ini. Atau setidaknya sopanlah kepadaku karena aku masih menjadi kakakmu." Damian berbalik badan membelakangi Gabriella. "Bawa dia ke kamar!" Dua bodyguard itu menggeret Gabriella yang terus menggeliat sesuai perintah Damian. Dua bodyguard itu hanya bisa menulikan telinga dan membutakan mata hatinya, mengurung gadis yang hampir seumuran dengan putri mereka rasanya keji. Tapi mau bagaimana lagi? Mereka berdua tidak punya andil apa-apa di sini. Mereka hanya kepala keluarga yang mencari nafkah untuk keluarganya Gabriella berhenti bergerak begitu sudah mencapai pintu kamarnya. "Aku lebih baik dikurung di kamar daripada harus bertatap muka dengan brengsek itu!" lirih Gabriella sambil menghentikan gerakannya. Perlahan genggaman di lengannya mengendur dan lepas dengan sendirinya. Dua bodyguard itu saling bertatapan. Mereka sulit mengerti kenapa dua orang yang seharusnya saling menyayangi itu justru bertingkah seperti ini. Sekali lagi, mereka hanya bisa mengikuti apa yang diminta majikannya tanpa bertanya ini-itu. "Maafkan kami, nona." Pria bernama Joss itu berujar setelah mendorong pelan punggung Gabriella ke dalam kamar. Gabriella hanya bisa menunduk, lagi-lagi meratapi nasibnya. Rodanya tidak pernah berputar. Ia selalu di posisi paling bawah. Menjadi yatim piatu sejak kecil. Hidup pas-pasan di sebuah panti asuhan. Dan kini harus terjebak dengan laki-laki brengsek seperti Damian Alexander. Bahkan menjadi miskin lebih membahagiakan dari pada bergelimang harta dengan cara seperti ini. Tuhan, aku hanya ingin bahagia dengan orang-orang yang mencintaiku. Gabriella terjatuh duduk begitu suara kunci terdengar. Seluruh kekuatannya hancur lebur. Beginilah Gabriella, sekuat tenaga menahan air matanya di depan semua orang. Sebisa mungkin ia tidak akan menangis di depan orang lain terutama pria yang paling dibencinya. Itu adalah prinsip yang dipegang teguh olehnya. Jadi, di sinilah ia. Di dalam kamar mewahnya. Menangis meraung hingga matanya sembab dan suaranya serak keesokan pagi. Entah kamar ini sudah berapa kali menjadi saksi bisu kesedihan dan kepedihan hati Gabriella Hudson atau Gabriella Alexander? Tidak. Gabriella tidak pernah sudi menggunakan nama keluarga pria brengsek itu. Tidak akan pernah. Gabriella menatap ke jendela kamarnya yang memamerkan halaman samping istana milik Damian Alexander. Ia merindukan panti asuhan yang telah menjadi rumahnya. Gabriella juga merindukan waktu di mana Damian Alexander belum hadir di hidupnya. My Young Lady *** Notes! Cerita ini original dan murni milik author tetapi pernah dipublish dalam bentuk FANFIKSI KPOP pada tahun 2014 dengan judul Something Called Love dan kini diremake.

editor-pick
Dreame-Editor's pick

bc

Sacred Lotus [Indonesia]

read
50.0K
bc

Ay Lub Yu, BOS! (Spin Off MY EX BOSS)

read
263.6K
bc

PEPPERMINT

read
369.7K
bc

THE DISTANCE ( Indonesia )

read
579.9K
bc

Perfect Marriage Partner

read
809.8K
bc

Married By Accident

read
224.1K
bc

Playboy Tanggung Dan Cewek Gesrek

read
462.2K

Scan code to download app

download_iosApp Store
google icon
Google Play
Facebook