Gibran meletakkan tas kerja nya di atas lemari kecil yang ada di samping rak sepatu. Tak jauh dari pintu apartemennya.
"Daddy already said, Daddy doesn't agree if you work as a doctor. Why are you still joking me, Gibran?"
"Daddy udah janji gak akan mempermasalahkan ini. Lagipula bukannya anak Daddy yang lain udah siap gantiin Daddy."
"You know how your brother. Daddy doesn't believe him. Instead of moving the company forward, he will make things messy."
"Gibran gak peduli. Gibran gak mau lagi ikut drama keluarga Daddy. Kalau Daddy nelepon Gibran cuma buat curhat. Lain kali aja. Gibran capek."
"Gibran. Please help Daddy." Mohonnya dengan suara yang menyedihkan.
"Big No Daddy. Gibran capek. Mau makan terus tidur. See you. Salam untuk si bungsu." Dan Gibran memutuskan untuk menutup telepon.
Gibran membuka nakas dan mencari kopi sebelum memasukannya ke coffee maker. Ia akan membiarkan mesin itu bekerja sementara ia mandi air hangat.
Sepuluh menit kemudian Gibran sudah duduk di depan meja bar nya seraya membuka laptop dan memantau pekerjaan sampingannya yang sudah ia geluti selama lima tahun terakhir tanpa ada keluarga yang tahu.
Ya. Gibran memang pernah kuliah di jurusan bisnis sebelum memutuskan mengambil kuliah kedokteran. Dua fakultas dalam waktu bersamaan? Itu bukan hal yang sulit. Hanya perlu mengatur waktu saja. Dan Gibran beruntungnya memiliki otak yang cerdas sehingga dia bisa menyelesaikan kedua gelar meskipun untuk lulus di jurusan bisnis memerlukan waktu yang lebih lama karena ia memilih lebih fokus di jurusan kedokteran.
Dan bisnis yang ia jalani saat ini ia geluti bersama teman satu kampusnya dulu. Orang yang ia percayai dan memiliki visi dan misi yang sama dengannya.
Gibran memiliki otak bisnis ayahnya. Dan kecintaannya pada dunia medis ia miliki dari ibunya. Jika ditanya apakah Gibran bangga memiliki seorang ayah seorang pebisnis sukses dan seorang ibu yang menjadi direktur rumah sakit. Maka jawaban Gibran adalah. No dengan huruf N dan O yang patut diperbesar, dipertebal dan di garis bawahi.
Kedua orangtuanya memang sukses dalam karir mereka. Tapi gagal dalam urusan rumah tangga. Perjodohan menjadi alasan perpisahan mereka. Ayah dan ibunya memilih untuk berpisah saat Gibran berusia 4 tahun. Ayahnya, Louis Hudson Jr adalah orang asli Australia yang secara kebetulan memiliki bisnis perhotelan di Bali. Dan ibunya yang dulu merupakan seorang dokter umum yang memilih spesialisasi Hematologi memiliki darah Indonesia-Jepang. Jadi Gibran memiliki ketiga darah dalam tubuhnya.
Singkat cerita. Ayahnya menikah lagi dengan tiga orang wanita setelah pernikahannya dengan ibunya kandas. Dari tiga wanita itu Gibran memiliki tiga adik tiri berbeda ibu. Frederick Hudson, berdarah Inggris (27 tahun). Camelia Hudson (24 tahun), berdarah Jepang dan si bungsu yang Gibran sayangi. Aurelia Hudson (21 tahun), satu-satunya adiknya yang memiliki darah Indonesia seperti dirinya. Dan sekarang ayahnya kembali menjadi duda karena pria berusia 55 tahun itu lebih memilih tidak memiliki istri.
Sementara ibunya, Nyonya Ajeng Harumi Wisnu. Wanita berusia 50 tahun yang rajin perawatan dan masih tampak muda di usianya itu kini menikah dengan ayah tirinya yang bernama Basuki Wisnu. Seorang pilot yang dulunya merupakan teman sekolah di jaman putih abu-abu. Cinta lama belum kelar menjadi pengawal kisah cinta mereka. Dan dari ayah tirinya, Gibran memiliki dua orang adik. Keiko Intanissa Wisnu yang sekarang berusia 22 tahun dan Muhammad Kaindra Wisnu (18).
Hubungan ayah dan ibunya beserta ayah tirinya sangatlah baik. Karena walau bagaimanapun mereka juga berpisah baik-baik. Hanya saja, ketika Gibran lulus SD, dia yang memang hak asuhnya jatuh pada sang ibu, pada akhirnya memilih untuk sekolah di sekolah yang memiliki asrama. Ya, Gibran dewasa sebelum waktunya. Dia memilih untuk tidak tinggal bersama orangtuanya, meskipun tidak dipungkiri bahwa ia menikmati fasilitas dari keduanya.
Gibran tidak munafik. Hidup itu butuh uang. Dan untuk memulai bisnis pun ia memerlukan uang. Orang-orang mengenal pribadinya dingin. Katakanlah memang demikian. Karena dia orang yang suka bekerja keras dan tidak suka bermanja-manja. Bukannya tidak ingin, tapi ia tidak tahu pada siapa ia harus bermanja. Kesepian? Tidak. Gibran menolak kata itu dalam hidupnya. Ia tidak kesepian. Dia bukan orang yang suka meratap. Ia hanya orang yang lebih memilih menikmati waktu luangnya dengan bekerja bekerja dan bekerja.
Baiklah, cukup sekian tentang Gibran dan hidupnya.
Gibran meraih ponselnya. Kerlap kerlip hijaunya sejak tadi selalu mengganggunya. Ia membuka pin ponselnya dan mendapati pesan yang cukup banyak dari ibunya. Ibu kandungnya, karena ia sama sekali tidak pernah berhubungan dengan ibu tirinya.
Mama:
Sayang, kamu dimana
Sayang, kapan kamu ke rumah
Sayang, jangan lupa kalau Mama udah buat janji sama putrinya Dokter_untuk makan malam bersama
Sayang, Mama gak mau tahu, pokoknya Mama mau kamu datang.
Arkhansyah Gibran Hudson Jr. Mama tahu kamu menghindar. Pokoknya kalau kamu gak bawa calon kamu sama Mama, Mama gak akan pernah berhenti jodohin kamu sama anak Mama.
Me :
Hmm..
Sekian saja jawaban Gibran. Ia malas mengomentari apapun yang ibunya katakan.
Pukul sebelas malam, Gibran akhirnya merebahkan dirinya di atas tempat tidur. Besok masih ada hal yang lebih melelahkan. Jadi ia ingin mengistirahatkan pikirannya sejenak sebelum kepalanya meledak.
???
"Cantik ya." Gibran melirik, sosok wanita cantik memakai jas kedokteran sedang menatap seorang bayi cantik yang ada di box bayi. Matanya berbinar. Entah memang dia kagum pada bayi itu atau berpura-pura kagum, entahlah Gibran bukan cenayang. "Dokter, kalau menikah mau punya anak berapa?" Akhirnya wanita itu memandang ke arahnya. Tubuhnya yang memang tidak terlalu pendek memudahkan Gibran untuk melihatnya.
"Saya tidak punya rencana untuk punya anak, Dokter." Jawab Gibran ketus. Wanita itu berjengit sejenak sebelum kembali memperbaiki ekspresinya.
"Tapi..."
Gibran tersenyum miring. "Menjadi dokter anak bukan berarti saya menyukai mereka dan menginginkan mereka." Jawabnya jujur. Ia tidak perlu menceritakan alasannya mengambil spesialisasi anak pada siapapun, termasuk wanita yang ada di sampingnya ini. Jika dokter wanita itu melihat bayi perempuan cantik yang ada dalam box anak. Maka tatapan Gibran jatuh pada bayi yang ada dalam inkubator. Bayi yang terlahir prematur dan mengalami kelainan jantung karena terlahir lebih awal dari prediksi. Semuanya karena kecelakaan yang dialami sang ibu. Harapannya untuk hidup lima puluh persen. Dan bayi sekecil itu harus melakukan serangkaian pemeriksaan untuk bisa menopang hidupnya.
Gibran berjalan meninggalkan ruangan anak menuju ruangannya sendiri. Asistennya yang bernama Alif sudah menunggunya dengan clipboard berisi nama pasien yang siap diperiksa.
Tepat saat makan siang, sosok yang beberapa hari ini Gibran hindari muncul begitu saja di depan ruangannya. "Mama?"
"Hai, anak sombong." Sapa ibunya dengan senyum yang dibuat seramah mungkin. Alif yang berdiri di hadapannya tampak bergidik sejenak. Ibunya memang drama queen yang handal.
"Kenapa Mama bisa ada disini?" Tanyanya heran.
"Ada janji pertemuan sama direktur rumah sakit." Jawabnya datar dan duduk di kursi yang ada di depan Gibran. Kursi yang biasanya digunakan pasien. Wanita paruh baya itu melipat lengan kemeja kanannya dan meminta Alif untuk memeriksa tekanan darahnya. "Tolong mantri Alif, periksa tekanan darah saya." Pintanya halus. "Belakangan ini saya pusing sama kelakuan anak sulung saya. Jadi saya rasa, kesehatan saya mulai terganggu." Alif hanya menurut. Dia memasangkan alat tensi digital ke lengan atas ibu atasannya itu dan menunggu hasilnya muncul di layar.
"140/90 dok." Ucap Alif dengan nada pelan.
"Syukurlah. Belum sampai 180 ya. Belum bisa meninggal karena darah tinggi." Jawab Dokter Harumi dengan nada santainya. Membuat Alif memucat sementara Gibran mencebik.
"Gak usah drama deh, Ma. Memangnya ada apa lagi? Mau ngajakin Gibran ketemuan sama anak siapa lagi? Gibran kan udah bilang kalau Gibran itu gak suka gaya Mama yang suka jodohin Gibran sama A B C anak kenalan Mama yang gak jelas itu." Lanjut Gibran dengan ketus.
Alif, si perawat hanya memandangi kedua orang di hadapannya itu bergantian. Dokter Gibran itu memang hebat. Jika berhadapan dengan pasien, dia menjadi sosok yang ramah, lemah lembut dan sabar. Tapi jika berurusan dengan makhluk berjenis kelamin wanita, dia berubah jadi dingin, ketus, cuek dan bahkan cenderung kasar. Namun biasanya, dalam kebanyakan kasus. Hal tersebut dilakukan kepada wanita yang tidak disukai. Jadi Alif cukup terkejut ketika mendapati sikap Dokter Gibran yang memang tidak tebang pilih. Karena faktanya, sikap dingin, ketus, cuek dan kasar itu ia tunjukkan pula pada ibunya.
Alif ingin menepuk jidatnya sendiri. Karena untuk menoyor kepala Dokter Gibran ia tidak sanggup. Bukan karena takut dipecat. Dokter Gibran tidak punya kuasa untuk itu. Tapi karena takut kalau ia menoyor kepala atasannya itu, nanti otaknya bergeser. Iya kalau sikapnya berubah jadi lebih baik, kalau jadi lebih parah dan berubah menjadi kasar pada semua orang? Alif bergidik ngeri sendiri. Sikapnya yang saat ini saja seringkali membuatnya was-was, bagaimana jika lebih dari ini.
"Mama udah bilang kan, kalau kamu belum bawain Mama calon, jangan harap Mama berhenti." Jawab ibunya tak kalah ketusnya. "Atau kalau kamu gak mau Mama kenalin sama anak temen Mama yang sesama dokter, gimana kalau Mama minta Ayah kamu cariin pramugari yang masih lajang? Pasti banyak yang cantik tuh." Lanjutnya lagi.
"Mama jangan coba-coba ya." Desis Gibran lagi.
"Kalau begitu, sama perawat atau dokter atau mungkin staff rumah sakit ini? Alif, apa Gibran punya orang yang dia suka disini?" Ditatap oleh mata sedikit sipit itu Alif tertegun, lalu menggeleng. "Apa disini gak ada yang suka sama anak tante?" Tanya Harumi lagi. wanita itu yakin kalau wajah anaknya tidak jelek-jelek amat. Masa iya tidak ada yang suka.
"Masalahnya..." Alif hendak mengadu. Namun tatapan tajam Gibran membungkamnya.
"Pokoknya Mama gak mau tau. Ayah kamu pulang weekend ini, Mama mau kamu pulang. Kamu juga Alif. Mentang-mentang udah kerja jadi sombong sama tante. Awas nanti tante aduin sama Bunda kamu." Ancamnya. Ya, patut diketahui kalau Alif itu adalah putra dari adik suami Harumi. Yang berarti merupakan keponakan Harumi dan juga sepupu Gibran. Tapi jangan salah. Tidak ada nepotisme disini. Alif jadi perawat dan bekerja bersama Gibran itu murni karena penempatan HRD. bukan mau Gibran. Bahkan seringkali Gibran kesal sendiri karena keberadaan Alif berarti ibunya bebas memantau Gibran. Dia itu ibarat CCTV berjalan. Dan Gibran tidak suka itu. Hanya saja, untuk memindahkannya juga Gibran enggan. Pasalnya Alif itu bekerja dengan baik. Dan untuk mendapatkan rekan kerja yang cocok itu cukup sulit. Terlebih menghadapi sikap Gibran yang dibilang keras dan dingin.
Dokter Harumi merogoh sakunya dan mengeluarkan ponsel yang memang dipasang dalam mode getar.
"Ya. Diruang praktek dokter anak."
"...."
"Ya. Aku kesana sekarang." Lalu wanita itu kembali memasukkan ponsel ke saku pakaiannya. "Ayo, temani Mama makan siang." Gibran menatap ibunya tajam. "Jangan takut. Mama gak ada rencana jodohin kamu sama siapapun siang ini. Lagian makan siangnya juga di kantin sini." Ujarnya. "Alif juga, ayo." Ajaknya lagi. Alif memandang atasannya. Gibran berdiri dan melepas jas putihnya. Mereka bertiga meninggalkan ruangan Gibran menuju kantin.
"Siang Dokter Gibran." Sapaan bernada ramah menyapa mereka.
Gibran menoleh dan melihat Amira tersenyum padanya. Tangannya memainkan rambut di belakang telinganya. Dalam diam Nyonya Harumi memperhatikan gerak-gerik putranya. "Siang." Jawab Gibran datar.
"Dokter mau makan siang?" Tanyanya lagi. Masih dengan nada ramahnya. Dan sepertinya dokter muda itu tidak memperhatikan keberadaan Harumi dan Alif yang berdiri di sisi kiri Gibran.
"Bukankah memang ini jamnya makan siang?" Ia balik bertanya. Masih dengan nada ketusnya.
Nyonya Harumi mencebik tak kentara. "Boleh makan siang bareng, dokter?" Tampaknya dokter muda itu tidak menyerah begitu saja. Harumi suka dengan optimisme nya.
"Silahkan. Toh saya juga makan di tempat umum." Lanjutnya datar.
Mereka sudah berada di area kantin yang luas. Seorang dokter paruh baya melambaikan tangan ke arah mereka. "Sini!" Ucapnya dengan nada riang. Nyonya Harumi ikut melambaikan tangan dan berjalan mendekat.
"Ayo!" Ia menyuruh Gibran dan Alif mengikutinya. "Ya Allah, lama gak ketemu, kok situ makin tua ya?" Ujar Nyonya Harumi dengan senyum ceria di wajahnya.
"Iya-iya. Nyonya yang awet muda." Jawab pria di hadapannya dengan lirikan menggoda. "Bawa kompi?" Tanya dokter itu lagi melihat rombongan yang dibawa Harumi.
"Ya, sekalian tengokin anak. Gibran. Kenalkan, Dokter Aathaf. Dia temen Mama kuliah dulu. Aathaf, ini Gibran, anak sulung aku." Gibran mengulurkan tangannya. Mereka berkenalan dengan sopan. "Ini Alif, keponakan aku. Dia jadi perawat disini, dan kebetulan juga jadi asistennya Gibran." Alif mengulurkan tangan.
"Lalu? Itu calon mantu?" Aathaf melirik Amira yang ternyata masih setia mengekori mereka.
Nyonya Harumi menoleh dan tersenyum. "Kita belum kenalan, ya." Harumi tidak bisa mengetahui siapa wanita di samping putranya karena tidak ada ID Card ataupun Nametag di dadanya.
"Saya Amira, tante. Om." Ucapnya menyalami Harumi dan Aathaf bergantian. "Saya masih koas." Lanjutnya. Lalu Aathaf dan Harumi ber 'O' bersamaan.
"Silahkan duduk." Aathaf mempersilahkan mereka untuk duduk. Kantin rumah sakit memang tidak biasa penuh, meskipun ini termasuk jam makan siang. Biasanya, baru di akhir bulan kantin dipenuhi karyawan. Mengingat akhir bulan identik dengan keuangan menipis dan mereka selalu kasbon.
"Mana yang lain?" Tanya nyonya Harumi lagi. Gibran menoleh pada ibunya. Bermaksud bertanya siapa lagi yang akan makan siang bersama mereka. Namun Aathaf sudah menjawab pertanyaan ibunya.
"Lagi bantuin istri tercinta. Bentar lagi juga kesini. Biasa, bucin." Jawab Aathaf lagi.
"Ya, kalau di usia kayak kita bukan bucin. Tapi harmonis." Jawab Harumi lagi.
Aathaf menganggukkan kepalanya. Senyum tak hilang dari wajahnya yang memang sudah terkesan ramah dari awalnya. "Iya. Harmonis, cinta sejati atau apalah. Pokoknya mereka berdua itu the best." Lanjutnya yang kini diangguki oleh Harumi.
Lalu kemudian sesosok pria paruh baya yang Gibran kenal sebagai direktur rumah sakit ini datang dengan membawa sebuah tempat makan berbentuk persegi sambil menuntun seorang anak kecil yang Gibran pernah lihat sekali waktu ketika ia memutuskan membantu pria itu di yayasan. Kalau tidak salah nama bocah itu Afham. Dan di samping Afham ada sesosok wanita cantik mengenakan jilbab panjang berwarna coklat muda tampak tersenyum melihat interaksi sang anak dan suaminya. Wanita itu juga membawa tempat makanan yang senada dengan yang dibawa suaminya.
Dan yang membuatnya cukup terkejut adalah dua sosok gadis berbeda usia yang berdiri di belakang mereka. Satu gadis mengenakan kaus lengan panjang longgar berwarna hitam, celana jeans biru pudar dan sepatu kets berwarna putih. Rambut panjangnya dicepol sederhana di atas kepalanya, menyisakan anak-anak rambut di sisi-sisi wajahnya. Dia merangkul seorang gadis yang memiliki struktur wajah yang mirip yang mengenakan kaus longgar berlengan panjang juga berwarna merah muda, celana jeans biru pudar dan sepatu kets senada dengan pakaiannya. Bedanya, rambut gadis itu digerai dan lurus sepanjang d**a.
"Mas Dokter!" Pekikan si gadis berkaus hitam itu membuat Gibran berjengit.
__________________
Jangan lupa untuk follow akun Mimin juga ya... follow IG Restianirista.wp untuk info lebih banyak.
Mampir juga ke cerita kembarannya Falisha di Akara's Love Story,, yuuu ditunggu...