Suara orang berdatangan. Gumaman mereka mendengung di telingaku. Aku ingin membuka mata, tapi tubuhku terasa lelah. Ah, ya. Aku sedang kumat. Bukan begitu? Ya, biasanya memang seperti itu.
Usapan hangat lembut terasa di dahiku. "Demamnya sudah turun." Bisik suara itu. Aku kenal betul siapa. Sudah 22 tahun ini aku bersamanya, dan selama ini yang kulakukan hanyalah merepotkannya.
"Yang ke berapa?" Tanya suara lain. Terdengar cemas meskipun diucapkan dengan nada datar.
"Yang kedua." Lanjut suara wanita lagi.
'Mama. Maafin Fali.' Hanya itu yang bisa kuucap dalam hati.
"Ya sudah. Kita tinggalkan saja. Nyonya juga harus istirahat." Ada suara kain bergesekan. Lalu lampu terasa dipadamkan, kemudian pintu tertutup dengan suara pelan.
Hening.
Selain detak jarum jam, aku tidak mendengar suara apa-apa lagi.
Perlahan aku membuka mata. Denyutan di kepalaku tiba-tiba menjadi lebih terasa. Seolah ada seseorang yang menarik rambutku ke bagian dalam kepala. Rasanya tak mengenakkan sekali.
Jam dinding, gorden jendela. Semuanya familiar. Aku menghembuskan nafas lega. Karena aku berada di kamarku. Syukurlah. Aku bosan dengan 'kamar putih' itu. Apalagi sekarang, aku sangat tidak ingin berada di kamar itu lagi.
Aku melirik kamarku lagi. Satu-satunya pencahayaan hanya dari meja tidur di nakas. Sisi kiri dan kananku terpasang selang. Satu selang dengan cairan bening dan satu dengan cairan merah.
Aku lupa apa yang terjadi. Atau aku melupakannya? Jelas. Aku hanya ingin melupakan rasa sakitnya. Rasa panas di seluruh tubuhku, rasa sakit di perutku, dan juga muntahan darah itu. Semuanya terjadi hanya karena dua kesalahan. Aku lupa dengan obatku, dan aku terlalu kelelahan.
Mama, maaf. Aku hanya bisa berkata lirih dengan mata yang kini memanas.
Menutup mataku dengan lengan yang terpasang infus, aku hanya bisa merasakan denyutan di area perutku. Ingin sekali rasanya mengumpat.
Penyakit sialan!
Tapi aku takut. Takut menyakiti Mama karena sampai saat ini aku tahu bahwa Mama selalu menyalahkan dirinya akan penyakitku. Menurutnya, karena dirinya yang tidak jelas asal usulnya, kemungkinan dialah yang berperan mendatangkan kelainan ini padaku. Padahal demi Allah. Aku tidak pernah menyalahkan beliau. Dan penyakitku, penyakitku bisa saja sembuh selama aku mendapatkan donor yang tepat.
Kalian ingin tahu aku kenapa? Ah, tidak. Aku tidak akan memberitahunya. Biarkan saja menjadi rahasia. Nanti saja, author pasti akan memberitahukan keadaanku yang sebenarnya pada kalian. Untuk sementara, kenapa kalian tidak duga dulu apa penyakitku?
Pintu diketuk perlahan. Lalu terbuka dan sosok yang juga sangat kukenali muncul dari sana.
"Gimana keaadaan loe?" Tanyanya lirih. Apa ini nasib punya saudara kembar? Dia seolah tahu kalau aku sudah bangun padahal jelas aku dalam posisi menutup mataku dengan punggung lenganku. "Fal.." tanyanya lagi lirih.
"I'm okay, Ka." Jawabku sama lirihnya. Pria itu mendekat ke arahku. Menurunkan lenganku dan menatapku. Aku balik menatapnya dan airmataku akhirnya luruh juga.
Dia tersenyum sendu. Mengusap airmata yang jatuh perlahan dari kedua sudut mataku. "Gak usah nangis. Mama baik-baik aja." Ucapnya lirih.
"Maafin gue, Ka." Ucapku perlahan. Tenggorokanku terasa sakit. Seolah ada yang mengganjal disana. Mataku begitu pedih dan airmata ini tak bisa kutahan lagi, mengalir deras begitu saja. Aku menangis, dengan usapan pelan Akara di kepala dan kedua pipiku.
"Gak ada yang perlu dimaafin. Bukan salah loe. Bukan mau loe juga kayak gini. Gak ada yang mau kayak gini. Kalo bisa, gue minta sama Tuhan buat gantiin loe. Tapi Tuhan gak ngabulin permintaan gue."
"Jangan berdoa buat hal yang bodoh kayak gitu." Tukasku. "Gue bukannya mau mati karena penyakit ini. Loe emang belum bisa lulus jadi dokter ya?" Ejekku. Tempat tidurku bergetar karena tawanya.
"Lah, kan barusan loe mellow-mellowan sama gue. Sok-sok an minta maaf. Kan kalo di sinetron kayak gitu, Fal. Tokoh utamanya selalu bilang dia mau gantiin posisi tokoh utama yang lain." Jawab Akara dengan gurauannya. Mau tak mau aku tersenyum.
"Siapa yang tadi kesini?" Tanyaku. Maksudku siapa disini adalah orang yang memeriksaku.
"Abang Uncle. Tadi udah prepare langsung kesini bawa stok." Akara sekaligus memeriksa infusanku, dan tabung darahku. "Ini udah yang kedua. Habis ini gak perlu yang ketiga." Jawabnya. Aku hanya mengangguk. "Emang tadi loe pergi kemana? Ilker bilang loe maksi sama temen-temen loe. Loe gak bikin yang aneh-aneh kan?"
Aku menggeleng pelan, kemudian tersenyum mengingat kejadian tadi di cafe Galih. "Gak ada yang aneh. Kita makan siang, habis itu Meylan nganterin gue pulang. Salahnya, tadi gue lupa minum obat." Jawabku jujur. Percuma juga bohong pada Akara. Dia tuh semacam punya sinyal pendeteksi kebohongan. Aku juga bingung. Entah dia dapet alat Doraemon, atau dia dapet Veritaserum (ramuan kejujuran) dari Harry Potter trus netesinnya ke mulut aku pas aku lagi tidur?
"Loe itu." Hanya itu gumaman Akara. Aku tahu, dia kesal karena keteledoranku. Lihat saja, baru sekali lupa konsumsi obatku, jadinya merepotkan semua orang begini. Tapi aku tahu, yang membuat Akara kesal bukan karena aku merepotkannya. Tapi karena aku membuat dirinya cemas dan takut. Masih beruntung penyakitku kumat saat aku di rumah. Kalau sampai terjadi di luar rumah? "Gue udah bilang, kasih tahu temen-temen loe tentang semua ini. Jadi semisal loe lupa, mereka bakal ngingetin loe." Ujarnya dengan kesal.
What? Memberitahu Meylan dan Intan? Itu sama saja membuka aib. Aku menggeleng. Tidak keras memang, karena hanya akan menyebabkan sakit kepalaku bertambah. Membayangkan memberitahu kedua sahabatku rasanya...
Aku hanya tidak mau mereka memperlakukanku spesial seperti yang dilakukan keluargaku saat ini. Aku hanya ingin menjadi gadis normal, seperti mereka.
"Nanti." Akhirnya aku menjawab lirih. "Nanti gue kasih tahu mereka." Ujarku. Akara hanya mendengus. Kan, sudah kubilang. Dia seperti tahu kebohonganku.
"Ya udah, istirahat. Nanti dua jam lagi gue balik. Meriksa loe lagi." Ujarnya. Aku hanya mengangguk. Sekilas dia mencium keningku dalam sebelum pergi.
Uhhh... So sweet kan? Kalau saja dia bukan adik kembarku, bisa jadi aku jatuh cinta. Sayang, dia adik kembarku. Dan sejujurnya, sikap manisnya ini datangnya gak sering loh. Cuma pas aku kumat aja. Haha..
Tapi sumpah, aku berani sumpah. Siapa aja yang berhasil deketin Akara ataupun sepupuku Ilker. Mereka cewek-cewek beruntung. Karena meskipun kelihatannya dua orang itu terkesan acuh dan dingin. Keduanya itu orang yang humoris kalau sudah kenal. Perhatian, dan juga punya banyak kasih sayang.
Malah mereka itu sebenarnya cowok-cowok melankolis. Persis kayak bapak-bapaknya. Tapi ini rahasia kita ya, Readers. Jangan kasih tahu orang lain. Nanti yang ngejar mereka tambah banyak. Sekarang aja udah bikin aku pusing, apalagi kalau nambah.
Baiklah, aku mengantuk. Tubuhku juga masih lemas. Jadi, kita bisa berbincang lagi kapan waktu. See you.
Author Pov
Dua hari terbaring di tempat tidur. Hanya berkomunikasi via chat, sudah biasa.
Yang selalu membuat Falisha tak biasa adalah tatapan dari orangtua dan saudaranya. Lelah rasanya melihat mereka memandanginya dengan khawatir seperti itu. Namun ia tahu, bahwa semua itu adalah bentuk perhatian mereka terhadapnya.
Susu coklat hangat yang masih mengepul terulur ke arahnya. Falisha menggumamkan terima kasih. Ia sedang duduk di toko kue milik kakak sepupunya, Syaquilla (Ceritanya ada Syaquilla's Diary, akan tayang di Dreame gak lama lagi).
"Makasih, kak." Gumam Falisha pelan. Syaquilla hanya membalasnya dengan mengusap kepalanya.
"Gak usah murung terus kayak gitu. Cantiknya ilang." Jawab Syaquilla yang kemudian meletakkan cake coklat dingin yang baru diambilnya dari showcase.
"Iya, kak. Fali cuma...kesel aja." rengeknya. Syaquilla tersenyum seraya mengusap lengan sepupunya itu. "Masa Mama tega gak ngijinin Fali pergi ke panti. Padahal kan, kesempatan besar Fali buat ketemu Mas Dokterku disana itu gede banget. Jarang-jarang Fali bisa lihat wajah tampannya sampe seharian. Di Rumah Sakit susah karena Mas Dokterku nya yang sok sibuk. Mana si Santan pastinya gak ngijinin kalo Fali sering-sering pergi ke Rumah Sakit.
Ketemu di cafe juga gak bakalan bisa. Kalo Fali kesana, yang ada Mas Galih malah nyuruh Fali buat konser tunggal lagi. Trus nanti Fali nge-drop lagi, si Santan tahu, yang ada Fali dilarang kunjungan lagi ke cafe nya Mas Dokterku. Kan kasihan Fali, iya kan Kak?" ucapnya dengan nada menggebu khas Falisha Reynard Levent.
Syaquilla lagi-lagi hanya tersenyum menghadapi sepupunya yang ceriwis itu. "Fali.." Ujarnya dengan nada yang lembut. Selembut wajah cantiknya. "Fali beneran suka sama Dokter Gibran?" tanya Syaquilla ingin tahu. Gadis yang lima belas tahun lebih muda itu balik memandangnya dengan tatapan bingung. "Yang Fali saat ini rasakan sama Dokter Gibran itu, beneran suka?"
Falisha menggigit bibir bawahnya. "Fali juga gak tahu, Kak."
Syaquilla mengelus kepala Falisha lembut. "Mungkin, saat ini memang Fali sedang merasakan euforia nya jatuh cinta. Kakak gak bisa bantu kamu mendefinisikan perasaan kamu, karena perasaan kamu ya kamu sendiri yang tahu. Kakak cuma mau kamu sendiri tahu, apa perasaan kamu saat ini pada Dokter Gibran adalah benar-benar suka yang menuju ke cinta, atau hanya kekaguman semata. Seperti kamu melihat tokoh drama Korea yang kamu suka."
"Memangnya kenapa Kakak bilang kayak gitu?"
"Kakak cuma gak mau orang lain salah mengartikan sikap kamu yang menggebu-gebu saat ini."
"Memang Fali saat ini bikin salah?"
Syaquilla menggeleng. "Enggak, Sayang. Kamu gak bikin salah. Suka ataupun jatuh cinta pada lawan jenis itu hal yang wajar. Normal, sangat normal. Seperti halnya rasa Mama kamu sama Papa kamu. Tante Caliana sama Uncle Adskhan. Kakak sama Abang-Uncle. Hanya saja, kamu harus bisa mendeskripsikan lebih tentang perasaan kamu terhadap Gibran. Jangan sampai orang lain salah mengartikan. Antara suka dan cinta, itu rasa yang berbeda. Jangan sampai kamu memberikan harapan pada orang lain."
Falisha mengerutkan dahinya semakin dalam.
"Selama ini, kamu membuat semua orang tahu perasaan kamu kepada Dokter Gibran. Itu bukan hal yang salah." Syaquilla menjawab cepat sebelum Falisha menginterupsi. "Cuma, orang lain belum tentu bisa membedakan apakah kamu 'benar-benar suka' atau kamu 'berpura-pura suka'. Atau bisa jadi orang mengira kamu serius atau tidak.
Jangan sampai kamu menunjukkan pada orang lain kalau kamu suka, padahal sebenarnya suka kamu hanyalah sebuah kekaguman. Iya kalau misalkan Dokter Gibran hanya menganggap semua tindakan kamu selama ini hanya sekedar godaan dan candaan. Lantas kalau dia menganggap ini serius. Dia berusaha membuka hatinya lalu suatu ketika kamu mengatakan 'maaf, aku cuma bergurau', itu sama saja dengan kamu mematahkan hati dia.
Dan sebaliknya, karena selama ini kamu serius suka sama dia tapi kamu bersikap seolah bercanda. Entah dia atau orang lain akan menganggap bahwa selama ini kamu memang sekedar bercanda, bukan suka yang sebenarnya.
Jadi, daripada membuat orang lain salah paham. Lebih baik kamu memahami perasaan kamu sendiri. Tahu apakah perasaan kamu sama Dokter Gibran itu benar-benar suka antara perempuan kepada laki-laki. Atau hanya sekedar kekaguman saja."
Falisha memandangi minumannya. Mencoba mencerna kata demi kata yang baru saja keluar dari mulut kakak sepupunya. ia sadar bahwa selama ini dia sudah bersikap begitu menggebu-gebu jika berhubungan dengan Gibran. Tanpa ia tahu apakah perasaannya saat ini merupakan rasa kagum atau cinta.
Falisha belum pernah menyukai pria sebelumnya. Tidak ingin menyalahkan siapapun. Mamun memang faktanya, ia tidak paham mengenai laki-laki selain keluarganya. Dan hal itu terjadi, tidak lain dan tidak bukan karena campur tangan adik kembarnya dan juga kakak sepupunya.
Ya, selama ini memang faktanya Akara dan Ilker selalu membatasi pergaulan Falisha sehingga Falisha tidak punya kesempatan untuk bergaul lebih dekat dengan makhluk berjenis kelamin laki-laki.
Ia tidak mengalami masa puber seperti gadis remaja pada umumnya. Bahkan sejak masa sekolahnya, selalunya ia dimasukkan ke sekolah khusus perempuan. Itu pun masih untung karena dirinya tidak dimasukkan ke sekolah asrama.
Dan semasa kuliahnya, lagi-lagi ada Akara dan Ilker yang mengontrolnya. Ia bisa curi-curi waktu dengan acara nongkrong bersama Meylan dan Intan pun di tahun terakhir kuliahnya. Karena tahun-tahun sebelumnya, jika bukan Ilker yang selalu menunggui masa selesai kelasnya. Maka akan ada Akara disana.
Mama dan Papanya juga tidak banyak berkomentar dengan ke posesif-an Akara. Kedua orangtuanya lebih mempercayakan Falisha pada Akara dan Ilker.
Sesungguhnya Falisha lebih merasa rapuh daripada yang ia coba tunjukkan pada orang-orang.
Abaikan tentang penyakitnya, karena Falisha yakin bahwa meskipun dirinya dalam kondisi sehat pun, Akara dan kedua orangtuanya akan tetap berlaku demikian. Semua karena masa lalu yang terjadi di keluarganya.
"Cobalah kamu renungkan lagi, Fali. Kakak bukannya tidak suka dengan sikap kamu. Kami mengenal kamu sejak kamu lahir. Kami tahu kamu pribadi yang apa adanya. Tapi sebagai perempuan, kamu harus lebih bisa mengontrol tindakan kamu. Bukan berarti kamu harus menjadi sosok pemalu. Tapi tentang perasaan, ada sesuatu yang harus diungkapkan ada sesuatu yang harus ditahan. Fali ngerti?"
Falisha hanya mengangguk sebagai jawaban.