PERCIKAN MASA LALU

1654 Words
Dalam catatan Maya Septiani            Agustus 2019            Aku melihat seorang wanita yang memakai baju tahanan di televisi, wanita itu memakai baju orange, dirinya ditahan atas tuduhan pembunuhan suaminya. Wajah wanita itu tertutup rambutnya yang panjang, namun meskipun begitu aku takkan pernah bisa melupakan tahi lalat yang bertengger di ujung alis kirinya. Wajah itu, tahi lalat itu yang membuat wajahnya semakin cantik, yang kecantikannya sempat membuatku iri. Wanita itu berinisial DA, yang merupakan Danya Apriani, dia adalah kakak perempuanku yang sudah bertahun-tahun kabur dari rumah.            Aku kembali mengingat kenanganku dengan Danya yang sebenarnya tidak pernah akur itu, dan kebanyakan diisi dengan pertengkaran. Yang paling membekas adalah pertengkaranku dengan Danya saat aku berusia 10 tahun dan Danya 12 tahun. Ketika itu aku memakai bando warna merah jambu milik Danya tanpa sepengetahuannya, sampai akhirnya Danya mengetahuinya dan langsung merebut bando miliknya dari kepalaku. Aku yang tidak terima merebut kembali bando itu dan terjadilah pertengkaran yang mengakibatkan keningku berdarah karena terbentur lemari. Saat mengetahui hal itu, ibu memarahi Danya habis-habisan Aku pun tak berhenti menangis karena luka itu. Saat itu aku lihat ibu memukul kaki Danya menggunakan sapu lidi, dia mencoba untuk menahan sakit dengan mengatupkan mulutnya, ketika Danya melihatku, dia memicingkan matanya sambil menahan amarah. Sejak kejadian itu, Danya tidak pernah mau berdekatan denganku lagi bahkan dia tidak mau mengenalku seolah kami bukanlah saudara meski sebenarnya kami memang bukan saudara kandung. Aku dan Danya adalah saudara tiri, ketika umurku tiga tahun, ayah menikah lagi dengan seorang wanita single parent, wanita yang dinikahi ayahku itu memiliki seorang anak perempuan yang usianya dua tahun lebih tua dariku. Sedangkan ibu kandungku sudah meninggal setelah sehari aku dilahirkan.            Pada awalnya Danya sangat menyayangiku, dia merawatku layaknya seorang kakak yang baik. Danya sangat cantik, dia memiliki tubuh yang tinggi, kulitnya putih bersih dengan rambut panjang yang selalu dia kepang dua. Sedangkan aku memiliki warna kullit yang gelap dan bertubuh mungil. Orang-orang di sekitar kami sering menjulukiku susu coklat sedangkan Danya susu vanilla karena warna kulit kami yang kontras. Namun Danya tidak pernah peduli itu, dia sangat baik padaku, dia tetap melindungiku layaknya seorang kakak pada adiknya yang manis. Namun bodohnya aku sama sekali tidak menyadari hal itu. Ketika usiaku 8 tahun, entah dari mana asalnya rasa iri yang diam-diam bercokol tanpa disadari di dalam diriku, dan hal itu membuatku mulai membenci Danya. Aku benci karena Danya selalu jadi pusat perhatian, bahkan ayahku pun sangat menyayangi Danya, ayah selalu membelikan Danya pakaian yang bagus, rok, gaun, aksesoris yang membuat penampilan Danya semakin memukau. Sedangkan aku, jarang dibelikan pakaian namun sebagai gantinya ayah selalu membelikan aku novel Harry Potter dan berbagai macam komik Jepang karena ayah tahu aku sangat senang membaca. Tapi tetap saja aku iri pada Danya yang selalu menjadi pusat perhatian orang-orang, dia selalu mendapat pujian dari siapapun karena kecantikannya.            Karena rasa iri yang sangat besar, aku sengaja merobek gaun yang hendak dipakai Danya saat akan melakukan pentas di panggung ketika festival sekolah. Danya yang mengetahui hal itu menangis sesenggukan dan membuatnya batal naik ke panggung. Saat Danya mengetahui aku yang merobek gaun miliknya, Danya marah dan memukulku, namun ibu membelaku dan malah memarahi Danya karena telah memukulku. Aku berlindung di balik punggung ibu, Danya marah lalu langsung masuk kamar dan menangis sejadi-jadinya. Aku tidak tahu, kenapa ibu malah membelaku dan malah memarahi Danya padahal ibu tahu aku bersalah. Tidak hanya sekali dua kali ibu terus-terusan berada di pihakku, sejak ibu datang ke kehidupanku dan ayah, ibu selalu terlihat lebih menyayangiku dibanding Danya, padahal aku hanyalah anak tiri sedangkan Danya adalah anak kandungnya yang sudah sepantasnya lebih disayangi. Tapi dengan bodohnya aku malah memanfaatkan situasi timpang itu dengan memanipulasi ibu menjadi pihak yang paling terdzolimi oleh kelakuan Danya.            Ketika kami beranjak remaja, aku diterima di SMA favorit karena aku termasuk kategori siswi yang pintar, sedangkan Danya yang jelas-jelas memang tidak terlalu pintar dia hanya bersekolah di SMA negeri biasa. Ibuku sangat bangga padaku karena berulang kali aku selalu menjadi juara kelas sedangkan Danya tidak, namun dia memiliki potensi lain dengan mengandalkan kecantikan tentunya. Meski Danya tidak pintar secara akademik tapi dia pintar sekali menari, di sekolah pun Danya tergabung dengan klub dancer dan teater. Dan dirinya pun kerap kali tampil di acara-acara sekolah bahkan dia dan teman-teman dancer-nya pernah tampil di sebuah acara Planet Remaja di stasiun TV swasta. Berbanding terbalik dengan Danya, aku malah merasa terintimidasi dengan sistem sekolah yang hanya mementingkan peringkat, yang terlihat  hanya persaingan untuk meraih nilai yang tinggi. Karena stress akhirnya aku pun jatuh sakit, ibu kemudian memindahkanku ke sekolah Danya. Pada awalnya aku keberatan namun tidak ada pilihan lain selain mengikuti apa yang diinginkan oleh ibu. lagipula, itu adalah tahun terakhir Danya di sekolah karena dia naik ke kelas tiga. Sedangkan hubunganku dengan Danya semakin seperti orang asing, kami nyaris tidak pernah bertegur sapa, bahkan ketika di sekolahpun kami seperti bukan saudara. Aku tahu di sekolah, Danya termasuk siswi yang populer, bahkan murid laki-laki banyak yang mengaguminya. Namun ada sisi lain yang tidak kutahu bahwa Danya sering bergonta-ganti pacar, hal itu kuketahui dari teman sekelasku Mayang. Saat itu aku sama sekali tidak peduli karena aku tidak tertarik pada apa yang dilakukan Danya. Namun ada yang lebih jauh kupedulikan yaitu laki-laki. Aku merasa ingin sekali mendapatkan perhatian dari lawan jenis, namun aku tidak tahu bagaimana caranya. Sepulang sekolah aku diam-diam melihat kamar Danya, meja riasnya dipenuhi dengan berbagai macam alat kosmetik. Ayah selalu memberikan apa yang diinginkan Danya yang menunjang penampilannya sedangkan aku selalu dibelikan buku oleh ayah. Aku berpikir bahwa ayah juga memiliki satu anak perempuan lagi yang harus diperhatikan penampilannya apalagi sekarang aku sudah beranjak dewasa yang tentunya bukan hanya buku yang kubutuhkan tapi juga pakaian yang indah dan kosmetik. Karena aku tidak sudi bertanya pada Danya tentang perawatan wajah dan tubuh maka aku menanyakan hal itu pada teman-teman perempuanku. Sedikit demi sedikit aku mulai merawat diri, warna kulitku pun semakin cerah, setiap pagi sebelum ke sekolah aku pun rajin berolahraga, disamping itu aku juga rajin menjaga makanan juga suplemen peninggi badan. Aku pun mulai memiliki teman dekat laki-laki, namanya Reza, dia anak kuliahan, dia juga pintar. Setiap hari minggu Reza mengajakku untuk berkencan. Masa remajaku semakin bersinar dengan kehadiran Reza. Namun ketika Reza kuajak main ke rumah, dia bertemu dengan Danya. pada awalnya aku tidak mengerti kenapa Reza seringkali menanyakan Danya, tapi dia akhirnya mengaku kalau dia lebih tertarik pada Danya. Tentu saja aku marah, dan aku langsung memutuskan Reza saat itu juga. Setelah putus denganku, Reza malah menyatakan perasaannya pada Danya, meskipun Danya menolaknya tapi kulihat Reza begitu tergila-gila pada Danya sehingga rela melakukan apapun untuknya dan hal itu membuatku muak. Aku tahu jika dibandingkan dengan Danya aku tetap bukan siapa-siapa, aku serupa bayang yang tidak pernah terlihat. Entah kenapa rasa iriku muncul kembali, aku sangat membenci Danya, kenapa dia harus hadir di hidupku? Kenapa dia selalu membuatku rendah diri? Sejak kejadian itu, aku tidak pernah membawa laki-laki ke rumah, aku takut pacarku nanti malah jatuh cinta pada Danya begitu melihatnya, dan hal itu tentunya akan sangat menyakitiku. Ayah kerap kali memarahiku ketika aku pulang larut malam saat malam tahun baru. Ayah memintaku untuk bertemu dengan teman laki-laki yang sudah membawaku pulang sampai larut malam tanpa izin darinya. Aku melirik Danya, dan kujawab tidak mau, ayah lalu mengguyurku dengan air dingin saat tengah malam. Aku dianggap telah melakukan hal yang tidak senonoh dengan teman laki-lakiku. Padahal aku tidak pernah melakukan apapun, saat itu aku dan Arya hanya berkeliling menggunakan sepeda motor sambil melihat kembang api, tidak pernah terlintas dalam pikiranku untuk melakukan tindakan seperti yang ayah katakan padaku. Danya hanya menatapku sebentar ketika aku diguyur ayah dengan air dingin lalu dia pergi seolah tidak melihat apa-apa, padahal semua ini gara-gara dia, kecantikannya membuatku takut kehilangan seseorang yang kusayangi. Aku ingat saat usiaku 6 tahun dan Danya 8 tahun, aku pernah hilang di pantai, saat itu aku dan Danya sedang bermain pasir, tiba-tiba Danya pergi meninggalkanku, sedangkan aku tidak melihat ayah dan ibu. Baru kutahu setelah kejadian, kalau ibu sedang ke toilet dan ayah pergi hendak membeli rokok, aku dititipkan pada Danya, namun Danya malah pergi dan bermain sendiri. Saat itu aku berjalan sendirian menyusuri pantai, dalam keadaan haus bahkan saking putus asanya aku hampir loncat ke laut, beruntung aku bertemu dengan tiga orang pemuda yang membantuku menemukan keluargaku. Saat itu aku memeluk ayahku erat sambil menangis, dan ibu memarahi Danya habis-habisan. Jika aku tidak ditemukan ketika hilang di pantai, aku tidak tahu bagaimana nasibku, dan mungkin Danya akan mendapat limpahan kasih sayang dari ayah dan ibu secara penuh. Aku sangat membenci Danya saat itu. Ketika Danya lulus SMA, dia hendak melanjutkan kuliah di luar kota, namun ayah tidak mengizinkan karena takut Danya terlibat pergaulan bebas, tapi dirinya bersikeras, dan pada akhirnya ayah mengizinkan anak kesayangannya merantau. Aku sangat bahagia mengetahui kalau Danya akan pergi merantau, itu artinya aku bebas membawa teman laki-lakiku ke rumah, aku bisa mengenalkannya pada ayah dan ibu. Selama empat tahun Danya jarang sekali pulang ke rumah, dia sudah membaur dengan orang-orang kota yang tampilan dan pemikirannya aneh-aneh juga mengikuti arus pergaulan bebas. Kuliahnya terhenti, dan dia pulang ke rumah sambil membawa bayi yang entah siapa ayahnya. Ayah dan ibu marah besar melihat kelakuan Danya yang sangat mencoreng nama baik keluarga. Bahkan ibu harus dilarikan ke rumah sakit karena serangan jantung, seminggu kemudian, ibu meninggal. Aku menyalahkan kematian ibu pada Danya, gara-gara kelakuannya ibu meninggal, seseorang yang sangat kusayangi dan selalu membelaku meskipun ibu bukanlah ibu kandungku tapi kasih sayangnya sangat tulus padaku dibanding pada Danya, anak kandungnya sendiri. Aku tidak tahu, semenjak ibu meninggal, Danya dan bayinya pergi meninggalkan rumah, ayah memarahiku karena berkata kasar pada Danya. berhari-hari, berbulan-bulan, dan bertahun-tahun ayah mencari keberadaan Danya. Tapi Danya seolah hilang ditelan bumi, dia menghilang. Sampai pada akhirnya ayah meninggal, karena kesedihan ditinggalkan oleh dua orang yang dicintainya, istri dan putrinya. Bahkan di akhir hayatnya, ayah berpesan padaku untuk mencari Danya sampai ketemu. Setelah kematian ayah, barulah aku menyesal, aku tidak memiliki siapa-siapa, aku sendirian, dan aku ketakutan.   ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD