Episode 1

1101 Words
Daren berjalan perlahan, sorot matanya kosong. Ia baru saja keluar dari salah satu kamar dimana didalamnya terdapat beberapa orang yang sedang menangis, termasuk kedua Ibu dan Ayah mertuanya. Terlebih Kanaya, Ibu mertuanya. Kanaya menangis histeris, menjerit sekencang-kencangnya hingga tubuhnya lemas dan tidak berdaya. Ia kehilangan kesadarannya. Sedangkan Revan, Ayah mertuanya lelaki paruh baya itu terlihat begitu terpukul meski sekuat tenaga ia tetap terlihat tegar, namun sorot mata dan linangan air matanya tidak bisa berbohong. Daren memilih keluar ruangan, ia berjalan tanpa arah hanya mengikuti kemanapun kakinya melangkah. Sedih, tentu saja lebih dari itu. Menangis, ingin rasanya ia menangis. Namun air matanya terasa sulit keluar, menyisakan sesak di dada. Begitu menyakitkan. Daren duduk di halte bis meski ia tidak punya tujuan, melihat orang berlalu lalang dengan aktifitas masing-masing. Waktu menunjukan pukul lima sore hari, halte semakin padat, banyak para karyawan hendak pulang kerumah masing-masing setelah satu hari beraktifitas. Mereka berkerumun dan berdesakan menunggu bus datang, Daren masih setia memperhatikan setiap gerak gerik mereka. Hatinya kosong, mendadak ia kehilangan arah bahkan ia tidak tahu kemana kini ia harus pergi. Satu hal yang kini ia sadari, semua kehidupan masih terus berlanjut meski kini dunianya terasa runtuh. Semua manusia masih melanjutkan hidupnya, meski kini dirinya terasa mati. Ponsel yang sejak tadi ia pegang berdering, terlihat sebuah nama muncul di layar. "Iya,,," "Kamu dimana? Danisa akan segera di bawa pulang kerumah duka." "Iya,,, sebentar lagi aku pulang." Daren menutup panggilan terlebih dahulu. Rasanya terlalu malas hanya untuk sekedar berbicara. Menghela nafas lemah, ia beranjak dari tempat duduk yang sudah ia tempati hampir dua jam lamanya. Kali ini ia berjalan cepat, berharap segera sampai ke rumah dan mendapati Danisa tengah duduk menunggunya datang. Beberapa orang berkerumun di halaman depan rumahnya, sebagian dari mereka sibuk merapikan kursi dan memasang tenda, bahkan beberapa karangan bunga sudah berjejer rapi di bahu jalan, depan rumah. Daren segera melangkah masuk, begitu ia sampai di ruang utama rumahnya, sebuah peti berwarna coklat menyambut kedatangannya. Bukan Danisa dengan senyum cantiknya, melainkan Danisa yang tengah terbaring di dalam peti tersebut. Beberapa orang menghampiri Daren, menepuk pelan pundaknya memberi simpati. "Danisa,," ucapnya lirih, menghampiri tempat istrinya berada. "Kamu ngapain disitu? Disitu sempit, ayo keluar." Daren memegang pinggiran peti sambil berlutut. "Ikhlaskan dia, Nak. Tuhan lebih sayang Danisa." Daren menoleh, mendapati Dini ibunya berada di belakangnya bersama Ramzi. "Dia cuman tidur, Bu. Danisa gak mungkin ninggalin aku. Iya kan? Bagaimana dia pergi begitu saja, aku dan juga Queen sangat membutuhkannya!" Dini segera memeluk Daren, bagaimanapun juga Daren pasti sangat terpukul atas kepergian Danisa. Namun kematian tidak bisa dihindari, setiap makhluk bernyawa pasti akan mengalami kematian. "Kamu harus tetap kuat, Nak. Queen membutuhkanmu." Ramzi mengusap tangan Daren. Mendengar nama Queen, membuat Daren tersadar ada gadis kecil yang sejak tadi ia tinggalkan bersama pengasuhnya. "Dimana Queen?" Darren melepas pelukan Dini, ia mencari sosok gadis kecil itu. Hampir saja ia melupakan keberadaan Queen. "Queen ada dikamarnya." Ucap salah satu asisten rumah tangga yang bekerja di rumah Daren. Tanpa menunggu lama Daren segera bergegas menuju kamar putrinya yang berada di lantai dua. Bahkan tanpa mengetuk pintu terlebih dahulu, ia segera membuka pintu berwarna merah muda dengan tergesa. Reva, Kanaya dan pengasuh Queen menoleh begitu Daren datang. "Queen,," Daren menghampiri putri kecilnya yang masih berusia dua setengah tahun itu. Queen tersenyum melihat kedatangan Daren, ia segera menghampiri sang Ayah dan memeluk tubuh tinggi Daren. "Daddy,,," ucapnya manja. Daren membalas pelukan Queen lebih erat. Gadis kecil itu belum mengerti apapun, ia tidak menyadari jika kini Ibunya telah pergi meninggalkannya untuk selamanya. Melihat sorot mata Queen, bening bersih tanpa beban membuat benteng pertahanan Daren runtuh. Ia menangis, menumpahkan rasa sesal dan sedih yang sejak tadi tertahan. Meski tidak sampai turun hujan, awan hitam menghiasi langit meski waktu masih menunjukan pukul tujuh pagi. Danisa dikebumikan esok harinya, setelah satu malam disemayamkan dirumah duka. Beberapa pelayat sudah meninggalkan pemakaman, hanya menyisakan Daren dan Revan beserta dua orang lainnya. "Kita sama-sama berduka, jangan terlalu larut dalam kesedihan." Revan menepuk pundak lelaki yang kini sudah berstatus sebagai mantan menantunya. "Hari ini aku harus pergi ke kantor polisi." "Jangan hari ini. Uncle Reno akan menemanimu." "Aku harus segera menyelesaikan semuanya secepat mungkin. Proses hukum harus tetap berlanjut." "Kita pasti membantumu, jangan bertindak gegabah." "Jika sesuatu terjadi padaku, tolong jaga Queen dan Elea. Mereka sangat membutuhkan kalian." "Tapi,," "Dad boleh pulang terlebih dahulu, aku masih mau disini sebentar lagi." Revan tidak lagi membantah, ia tahu Daren membutuhkan waktu sendiri. Apapun yang menjadi keputusannya itu sudah menjadi pilihan dalam hidupnya. Sunyi, itu yang Daren rasakan saat ini setelah Revan dan semua orang pulang meninggalkannya di tengah padang sepi yang menjadi tempat peristirahatan terakhir manusia. Meski sulit menerima kenyataan, namun nyatanya Danisa memang sudah pergi bahkan gundukan tanah merah yang kini ada di hadapannya membuktikan, jika Danisa kini benar-benar pergi meninggalkannya. Rasa sesal kembali menyeruak di dalam dada, tatkala ia kembali teringat kejadian naas hari itu. Jika saja ia datang lebih awal, mungkin Danisa tidak akan pergi meninggalkannya, jika saja ia tidak mengizinkan Danisa turun dari mobil untuk menemui Elea mungkin saat ini Danisa masih berada di sampingnya. Jika, jika dan jika, sebuah kata tidak pasti yang kini berputar-putar di dalam kepalanya. "Jika penjara menjadi tempat paling baik untukku menebus semua rasa bersalahku, maka aku akan memilih memburuk di dalam penjara. Daripada aku harus hidup tanpamu." Daren mengusap batu nisan berwarna hitam bertuliskan nama istrinya dengan perlahan, seolah itu adalah Danisa. "Tolong, bawa aku bersamamu." Lirihnya, ia berlutut mengabaikan tanah kotor yang menempel di celana dan juga pakaiannya. Perlahan hujan turun mengiringi isak tangis seorang lelaki yang tengah memeluk batu nisan sang istri. Seolah langit sengaja menurunkan hujan, agar bisa menyembunyikan tangis pilu Daren. Daren benar-benar memilih berada di dalam jeruji besi. Ia menolak segala bantuan yang ditawarkan Ayah mertuanya, dan memilih menerima hukuman dua tahun untuk kasus pembunuhan yang menjeratnya. Seharusnya ia berada di dalam penjara lebih lama, namun karena banyaknya pertimbangan dan pembelaan keluarga Revan akhirnya Daren hanya dijatuhi hukuman dua tahun penjara. Selama berada di dalam tahanan, Daren tidak benar-benar diabaikan begitu saja. Sebulan dua kali keluarganya bergantian menjenguk dan memantau kondisi Daren, sementara itu Queen putri semata wayangnya sudah berada di Spanyol setelah dua minggu kematian Danisa. Meskipun putrinya kini berada di negara lain, namun Daren masih bisa mengetahui keadaan putrinya dan berhubungan baik dengan keluarga mantan istrinya. Setelah masa tahanan usai, Daren akan segera menyusul putrinya dan memulai hidup baru disana. Daren tidak pernah berpikir untuk memulai hubungan baru dengan wanita lain, atau mungkin ia kehilangan minat untuk menjalin hubungan baru. Namun takdir justru berkata lain, hingga suatu hari tanpa sengaja insiden kecil mempertemukannya dengan seorang perempuan yang memutar balikan kehidupannya, memporak porandakan hatinya tanpa ia sadari.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD