Begitu acara perayaan usai—dengan tepuk tangan terakhir, pelukan hangat, dan ucapan selamat untuk Pak Angga, Bu Sania, serta pasangan baru Bima dan Nina—aku baru saja berniat mengganti heels dengan flat shoes saat Mahendra tiba-tiba menarik tanganku. “Mau ke mana?” tanyanya, masih menggenggam jemariku erat. “Mau nyari tempat duduk yang nyaman,” jawabku santai. “Kakiku udah protes dari tadi.” Tapi dia malah tersenyum misterius. “Mending kita cari makan, yuk.” Aku menatapnya heran. “Makan lagi? Kamu lihat sendiri tadi, aku udah nyobain hampir semua menu di buffet.” Dia tertawa pelan. “Aku tahu. Dan, aku mau ajak kamu makan di luar.” “Restoran mana?” tebakku. “Pinggir jalan,” jawabnya cepat. Aku langsung membeku. “Hah?” Mahendra mengangguk. “Angkringan. Pecel lele. Seblak. Apa aja. Y

