Cafe mungil di sudut jalan Menteng selalu jadi tempat pelarianku dan Nina. Interiornya hangat, aroma kopi dan kayu manis mengisi udara, dan sore ini, segelas cappuccino latte sudah mendarat sempurna di hadapanku. “Aku masih heran—” kata Nina sambil mengaduk-espressonya. “Itu ibu tiri kamu sama si Dira kayak nggak punya malu. Datang ke butik mahal, nyinyir seolah mereka yang bayarin.” Aku menyandarkan tubuh ke sandaran kursi, lelah. “Ya, mereka hidup dari pencitraan. Dira pikir kalau pakai tas branded dan gaun mahal bisa nutupin cara pikirnya yang murahan.” Nina mencondongkan tubuh ke arahku. “Tapi tadi kamu sempat nyeletuk soal Raka yang datang ke apartemen kamu lagi. Maksudnya, dia sempat balik ke sana setelah resepsi?” Aku mengangguk pelan, memainkan sendok kecil di gelasku. “Iya. Be

