Life After Breakup

1219 Words
Life after breakup ternyata tak semenakutkan itu. Gosip murahan di kantor mulai pudar. Bisik-bisik di pantry kini tak lagi berhenti saat aku lewat. Beberapa masih melirik, tapi tak ada lagi tatapan iba menusuk—dan itu cukup bagiku untuk menarik napas lebih lega. Aku belajar berdamai. Dengan kenyataan. Dengan luka. Dengan diriku sendiri. Di tengah-tengah jam istirahat, Nina mendekat ke mejaku dengan ekspresi khasnya, campuran kepo dan geli. “Ayla, kamu harus lihat ini.” Aku mengerutkan dahi. “Apaan lagi?” Dia menyeret kursi, duduk di sampingku, lalu menyodorkan ponselnya. Di layar, terpampang akun Insta9ram milik Dira. Perutnya yang mulai membuncit dipamerkan dalam balutan dress putih mewah. Tertawa sambil memegang es krim, dengan caption berlebihan, “My little miracle. Mommy can’t wait to meet you.” Aku hanya mendesah. “Dira tetap Dira, ya.” Nina menggulir komentar di bawahnya. Banyak pujian, tentu saja. Lalu satu komentar menarik perhatianku. @fan.danti: “Calon papanya kerja di mana, Kak?” Dan jawaban Dira— @dirawijaya: “Direktur keuangan di Elara Group. Proud of him.” Aku nyaris tersedak kopi. “Direktur?” Nina memutar bola matanya. “Itu sih impian Ibu tirimu yang diwariskan ke anaknya. Yang kenyataannya—ya kamu tahu sendiri.” Aku tersenyum tipis. “Raka sekarang jadi staff lapangan proyek, Nin. Dia bahkan bawa makan siang ke ruang meeting kemarin. Kayak OB.” Nina tertawa pelan. “Aku nggak tahu harus kasihan atau bersyukur kamu lepas sebelum makin terjerat dengan pria itu.” Aku hanya menatap layar ponsel Nina sebentar. Lalu berkata, lebih kepada diriku sendiri— “Bukan soal lepas tapi karena akhirnya aku bisa melihat siapa yang layak aku perjuangkan.” Obrolan kami berlanjut sambil menyeruput sisa kopi yang mulai dingin. “Aku masih nggak habis pikir,” gumam Nina sambil memainkan sedotan minumnya. “Kenapa juga mereka berani banget membuat resepsi pernikahan mewah di restoran pusat?” Aku menyandarkan punggung ke kursi. “Karena mereka tahu nggak ada yang bisa menghalangi mereka, Nin. Ayahku kan selalu menuruti keinginan Dira.” Restoran pusat milik keluarga kami selalu ramai pengunjung. Bangunannya megah, letaknya strategis. Ada ballroom yang biasa disewa untuk acara-acara besar. Dan sekarang ballroom itu akan jadi tempat Dira dan Raka mengikat janji suci. Ironis? Sudah pasti. Menyakitkan? Tak diragukan lagi. “Jadi kamu dapat undangan?” tanya Nina, menatapku penuh selidik. Aku mengangguk pelan. “Dikirim lewat email kantor. Dari Ibu tiriku. Formal banget. Seolah-olah kita kolega, bukan keluarga.” Nina melotot. “Parah sih. Parah banget. Mereka tuh pengen kamu datang biar kelihatan kalah. Kamu ngerti, kan?” Aku menatap kosong ke arah jendela. “Mereka ingin melihat reaksiku. Lihat aku tersingkir. Tapi mereka lupa satu hal—” Nina menaikkan alis. “Apa?” “Aku tidak akan bisa dihancurkan lagi.” Nina menatapku dengan sorot mata penuh semangat, seolah-olah baru saja menemukan ide paling brilian sedunia. “Kamu harus datang, Ay! Tapi jangan sendirian. Kita bikin mereka kaget.” Aku mengernyit. “Maksudmu?” Nina mendekat dan berbisik, “Datang bawa pacar baru.” Aku hampir tersedak air putih. “Pacar baru? Nin, aku bahkan baru move on. Nggak bisa semudah itu menjalin hubungan asmara lagi!” Dia mengangkat bahu, santai. “Gampang. Sewa aja.” Aku langsung menggeleng cepat. “Gila. Kamu gila. Itu tuh kayak drama Korea yang terlalu sinetron. Lagian siapa juga yang mau disewa buat pura-pura jadi pacar?” Nina nyengir. “Banyak. Sekarang jasa kayak gitu udah makin rapi. Bahkan ada yang profesional, punya portofolio. Dan syaratnya bisa kamu atur. Misalnya harus lebih kaya dari Raka, lebih tampan, lebih berwibawa.” Aku menatapnya tajam. “Nina, kamu pikir aku nyewa pacar atau nge-casting buat film James Bond?” Dia tertawa keras. “Ay, ay—kamu terlalu realistis. Ini bukan soal cinta. Ini soal pride. Kamu cuma butuh partner malam itu. Buat berdiri dengan kepala tegak. Biar mereka tahu kamu nggak hancur.” Aku terdiam. Bagian waras di otakku masih menolak mentah-mentah ide itu. Tapi bagian lain—bagian yang sudah terlalu sering diinjak harga dirinya—mulai berpikir—mungkin ini bukan ide yang sepenuhnya buruk? Aku mendesah. “Tapi tetap aja, harus kaya, punya jabatan, dan—” “Harus ganteng,” potong Nina cepat. “Biar makin sah. Biar semua orang mikir, ‘Astaga, Ayla glow-up setelah dicampakkan.’” Aku melirik Nina. “Dan kalau semua itu gagal?” Dia menjawab sambil tersenyum penuh kemenangan, “Ya setidaknya kamu bersenang-senang satu malam.” *** Sore ini, seharusnya aku sudah pulang. Rebahan. Nonton drama. Melupakan betapa kerasnya dunia. Tapi tidak dengan Nina. Dia menyeretku ke sebuah kafe kecil di sudut jalan. Tempatnya cozy, pencahayaan hangat, dan ada aroma kopi yang menenangkan. Sayangnya, aku tak bisa menikmati semua itu karena Nina duduk di depanku dengan semangat membara seperti agen rahasia yang baru menemukan target buruan. “Duduk. Jangan banyak protes. Ini demi martabatmu,” katanya sambil mengeluarkan ponsel. Aku mengerutkan dahi. “Nin, jangan bilang—” “Aplikasi jodoh,” potongnya cepat, tanpa rasa bersalah. “Tapi tenang, ini versi yang lebih advance.” “Advance?” Dia mengangguk. “Ada fitur paid companion. Kamu bisa cari partner buat ke acara formal. Profesional. Aman. Nggak ada urusan cinta-cintaan.” Aku menatapnya datar. “Dan kamu berharap aku milih pacar kayak milih barang di katalog online?” Dia tertawa pelan. “Well, bisa dibilang begitu.” Tanganku sudah ingin merebut ponselnya, tapi kemudian—dia berhenti scroll. Matanya membelalak kecil. “Oke, yang ini perfect.” Aku reflek mendekat. Di layar, terpampang profil seorang pria. Foto utamanya formal, jas abu-abu gelap, tatapan tenang tapi tajam. Usianya 32. CEO. Fasih tiga bahasa. Dan—aku bahkan tak bisa menyangkal—tampan bukan main. “Namanya Arga,” gumam Nina. “Latar belakang jelas. Riwayat klien bersih. Rating lima bintang. Banyak yang puas pakai jasanya buat acara keluarga atau event kantor.” Aku tak menjawab. Mataku terpaku pada satu hal: Kalimat bio-nya. Singkat saja. “I play the role, you own the story.” Tanpa memberiku kesempatan berpikir, Nina dengan lincah mengetik data-data dasarku, memasukkan permintaan khusus—dan tentu saja, memilih paket premium one-day event. “Done,” katanya dengan puas, menekan tombol terakhir. “Tinggal nunggu dia respon. Biasanya nggak lama.” Aku belum sempat protes lebih jauh ketika ponselku berbunyi. Satu notifikasi masuk. Pesan baru dari Arga. Aku menggulir layar, membaca isi pesannya dengan alis terangkat. “Selamat sore, klien Ayla. Kami telah menerima konfirmasi permintaan Anda. Kami akan mengatur detail awal pertemuan melalui sesi briefing singkat. Harap beri tahu preferensi waktu Anda.” Aku mengernyit. “‘Kami’? Siapa ini, perusahaan?” tanyaku sambil menunjukkan layar pada Nina. Dia membaca sekilas lalu mengangkat bahu. “Mungkin dia punya manajer? Atau asisten pribadi?” “Pacar sewaan pakai admin?” Nina tertawa. “Kamu saja yang terlalu serius. Mungkin itu gaya komunikasinya. Profesional banget.” Tapi tetap saja, ada yang terasa aneh. Bukan nada bicara seorang pria lajang yang menjual jasa pendamping acara. Terlalu formal. Terlalu rapi. Terlalu seperti pesan otomatis dari customer service. Aku belum membalas. Masih ragu. Tapi Nina menepuk pundakku dengan mantap. “Percaya aja. Siapa tahu kamu malah cocok.” Aku menatap layar ponsel lagi. Nama "Arga" masih tertera di sana. Dingin. Rapi. Misterius. Dan untuk alasan yang bahkan aku sendiri tidak tahu, detak jantungku sedikit berubah.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD