Minggu pagi—dalam beberapa pekan, aku bangun tanpa alarm, tanpa terburu-buru. Matahari mengintip malu-malu dari balik gorden, dan udara dari jendela yang terbuka membawa aroma embun dan—sedikit ketenangan.
Aku bangkit, merapikan tempat tidur, lalu menuju dapur. Memasak sarapan ala kadarnya: roti panggang isi telur keju, dan segelas s**u hangat. Tak ada suara selain denting alat masak dan lagu akustik yang mengalun dari speaker kecil di pojok dapur.
Setelah sarapan, aku membersihkan apartemen. Rutinitas ini selalu membantuku mengusir sisa-sisa kekacauan dalam pikiran. Menyapu, mengepel, menyiram tanaman. Hingga akhirnya waktunya bersantai.
Kukira aku akan merasa kesepian, tapi ternyata tidak.
Aku duduk di balkon, tempat favoritku—angin semilir, pemandangan langit kota, dan biasanya, sepi.
Tapi hari ini, berbeda.
Ada suara. Suara gesekan kursi, langkah kaki, dan aroma kopi yang bukan berasal dari unit ku. Balkon di sebelah—yang selama ini selalu kosong—ternyata sekarang ada penghuninya.
Aku melirik sekilas.
Seseorang sedang berdiri membelakangi pagar balkon. Pria. Tinggi. Postur tegap. Rambut hitam rapi. Mengenakan kaos putih polos dan celana linen abu-abu. Sederhana, tapi auranya luar biasa.
Dia sedang menelpon. Suaranya berat dan tenang, terdengar seksi.
“—Ya. Saya minta semua laporan dikirim malam ini. Saya akan review sebelum penerbangan besok malam.”
Aku langsung menegang.
Nada suara itu—
Pria itu menoleh sedikit, dan untuk sepersekian detik mata kami bertemu. Matanya tajam, tapi tidak dingin. Tatapannya tenang, tapi menyiratkan ketegasan.
Aku kenal wajah itu. Pernah kulihat dalam profil perusahaan.
Wajah pria yang berkali-kali disebut dalam proposal proyek Elara.
Mahendra Wirasatya.
Tentu saja.
Tetangga unit ku ternyata seorang CEO muda itu.
Tapi aku tidak menyangka—dia tinggal hanya beberapa meter dari balkon ini.
Hanya dibatasi dinding tipis.
Dan sekarang, dia sedang berdiri di sana.
Masih bicara di telepon. Tapi sempat menatapku satu kali lagi, kali ini dengan senyum kecil di sudut bibirnya.
Aku mengalihkan pandangan cepat, pura-pura sibuk bermain ponsel.
Beberapa saat kemudian terdengar suara ketukan pintu itu terdengar sekali—dua kali—pelan tapi mengganggu. Aku mematung beberapa detik. Tak ada notifikasi paket, tak ada janji bertemu siapapun hari ini.
Minggu ini seharusnya milikku. Hari tenang, tanpa drama. Tapi ternyata tidak semudah itu.
Dengan langkah berat, aku membuka pintu.
Dan disanalah dia berdiri. Ibu tiriku. Dengan wajah datar dan senyum yang terasa lebih menusuk daripada menenangkan.
“Assalamualaikum,” ucapnya, seolah tidak pernah ikut membuangku dari rumahku sendiri.
“Waalaikumussalam—” jawabku pelan. Antara malas dan kaget.
Aku ingin menutup pintu. Ingin berkata aku sedang sibuk. Ingin mengusirnya seperti mereka dulu mengusirku.
Tapi sopan santun sialan itu masih terlalu melekat dalam darahku. Jadi aku mundur satu langkah, membuka pintu lebih lebar. “Masuk saja.”
Dia masuk, langkahnya ragu-ragu tapi tetap terkesan angkuh. Duduk di sofa seolah apartemen ini rumah kedua baginya. Tangannya merapikan rambut, lalu mengamati sekeliling.
“Tempat tinggalmu mewah juga ternyata,” komentarnya, seperti biasa: setengah pujian, setengah ejekan.
Aku duduk di seberangnya. “Langsung saja, Bu. Ada yang ingin disampaikan?”
Dia menatapku. Mata yang dulu begitu asing, dan tetap terasa asing hingga hari ini.
“Aku tidak ingin memperpanjang masalah, Ayla,” katanya pelan. “Tapi Dira sedang sensitif akhir-akhir ini. Janinnya masih rentan keguguran. Kami cuma ingin kamu tidak memperkeruh keadaan.”
Aku tersenyum sinis. “Aku? Memperkeruh keadaan? Aku bahkan sudah diam. Sudah keluar dari rumah. Sudah tidak mau ikut campur.”
Dia menarik napas panjang. “Tapi kamu masih bekerja di proyek yang sama dengan Raka. Dan Dira tahu itu.”
“Jadi?” tanyaku, menahan gejolak yang mulai mendidih di d**a.
“Jadi mungkin kamu bisa minta dipindahkan proyek lain. Atau resign. Bukankah kamu wanita karir yang hebat? Banyak memiliki pilihan, kan?”
Aku menatapnya lekat. Untuk sesaat, aku tidak percaya dengan apa yang baru saja kudengar.
Mereka telah merebut tunanganku.
Mereka membuangku dari rumah.
Dan sekarang—mereka ingin mencabut satu-satunya yang masih tersisa untukku?
Aku bangkit berdiri. “Silakan keluar, Bu. Hari Minggu ku tidak boleh terganggu oleh permintaan sialan itu.”
Dia membuka mulut, tapi aku sudah lebih dulu membukakan pintu.
“Terima kasih sudah mampir. Tapi aku tidak punya waktu untuk meladeni drama keluarga hari ini.”
Beberapa detik dia mematung. Lalu dengan angkuh dia berdiri dan keluar, tanpa sepatah kata.
Pintu sudah kututup, tapi nafasku masih tersengal. Rasanya seperti ada bara api yang mendesis dalam dadaku. Aku berjalan cepat ke balkon, mendorong pintu kaca dan melangkah keluar.
Angin sore menyambut wajahku.
Tanpa berpikir panjang, aku menengadah ke langit dan— "AAARRRGHHH!"
Aku berteriak. Sekencang-kencangnya. Seperti anak kecil yang tak tahu lagi harus berbuat apa dengan semua luka, marah, dan muak yang menumpuk.
“KENAPA SELALU AKU?!”
Suaraku menggema, memantul di antara gedung-gedung. Dan hening.
Aku menunduk, tubuhku gemetar. Mata mulai panas. Aku berpikir tak ada yang mendengar, sampai—
“Sudah lega?”
Suara bariton itu terdengar sangat dekat.
Aku tersentak. Menoleh ke kiri.
Dan di sana, di balkon sebelah, Mahendra berdiri bersedekap d**a. Rambutnya sedikit acak-acakan, dan ada segelas teh di meja kecil sampingnya.
Tatapannya tidak mengejek. Tidak juga heran. Justru seperti mengerti.
Aku langsung salah tingkah. “Maaf, aku nggak tahu kamu ada di situ.”
Dia mengangkat alis. “Ini bukan pertama kalinya kamu berteriak, kan?”
Aku menatapnya, terdiam. Tak tahu harus tertawa atau merasa malu.
“Kadang manusia memang butuh meledak,” lanjutnya santai. “Daripada menahan dan meledak di tempat yang salah.”
Aku mengangguk pelan, masih belum tahu harus membalas apa.
“Dan—Ayla, kan?”
Aku menatapnya. “Kamu tahu namaku?”
Dia tersenyum tipis. “Aku juga manusia, bukan batu. Dan aku tinggal di sebelahmu.”
Aku nyaris tertawa. “Kamu menolongku malam itu. Kenapa pergi tanpa bilang apa-apa?”
Dia memandang ke arah langit. “Karena aku tahu kamu tidak butuh simpati malam itu. Kamu hanya butuh ruang untuk berdiri sendiri. Dan kamu berhasil.”
Kata-katanya menamparku. Tapi dengan lembut.