Turun Kelas

1003 Words
Pagi ini aku berusaha tampil secantik mungkin. Setelan blouse putih dan celana hitam formal, ditambah blazer, cukup untuk menyembunyikan sisa-sisa letih yang belum sempat ku tidurkan. Rambut kuikat rapi. Wajah kupulas tipis. Aku ingin terlihat seperti seseorang yang baik-baik saja—meskipun sebenarnya, dalam hati—berantakan. Tinjauan proyek dimulai pukul sembilan tepat. Lokasi pembangunan hotel Elara cukup luas, dengan bekas bangunan tua yang akan direnovasi total menjadi hotel bintang lima bertema heritage-modern. Para tim dari Elara Group sudah berkumpul di area terbuka yang akan menjadi lobi utama nanti. Aku mengenali beberapa wajah orang yang ikut rapat tadi. Beberapa menyapa dengan ramah. Semua berjalan baik—sampai satu sosok muncul dari arah belakang truk logistik. Langkahnya aku kenal. Posturnya aku kenal. Bahkan cara dia berdiri—tangan masuk ke saku celana, sedikit membungkuk saat bicara—terlalu akrab untuk dilupakan. Raka. Dia mengenakan rompi proyek, topi safety putih, dan clipboard di tangan. Rambutnya lebih panjang dari terakhir kali kulihat, sedikit berantakan, dan wajahnya terlihat lebih tirus. Dia juga melihatku. Matanya melebar sepersekian detik sebelum segera pura-pura sibuk memeriksa daftar di tangannya. Aku hanya berdiri mematung. Apa yang dia lakukan di sini? Dulu, dia adalah manager hotel bergaji dua digit di Bandung. Bangga, penuh percaya diri. Gaji dan status itulah yang membuat Dira—dan tentu saja Ibu Tiriku—menggila padanya. Mereka memuja Raka seolah dia dewa penolong keluarga. Calon suami yang sempurna. Sekarang? Dia berdiri di tengah lokasi proyek, mengenakan seragam yang sama dengan staf teknis lainnya. Dia—turun kelas. Nina sempat cerita kabar burung bahwa Raka dipecat karena masalah internal, tapi aku tak peduli waktu itu. Kini semua terasa lebih nyata. Lebih nyata dan ironis. “Kak Ayla?” Suara salah satu tim proyek membuyarkan lamunanku. “Kita mau mulai tur keliling lokasi.” Aku tersenyum cepat, menelan semua emosi yang ingin keluar. “Ya, mari kita mulai.” Saat kami berjalan melewati Raka, aku sempat melihatnya menoleh ke arahku lagi. Tapi aku tetap menatap ke depan. Langkahku tegap, wajahku datar. Kalau semesta ingin terus mengujiku dengan menghadirkan masa lalu, maka aku akan menjawabnya dengan satu hal—Aku sudah tidak ingin menoleh ke belakang. Satu jam kemudian— Ruang kantor proyek sederhana tapi cukup nyaman untuk rapat. Pendingin ruangan bekerja cukup baik, dan whiteboard besar di sisi kanan ruangan penuh coretan konsep dan timeline pembangunan. Kami baru saja menyelesaikan sesi kedua meeting, membahas penyesuaian desain interior terhadap struktur lama bangunan. Beberapa tim keluar untuk mengambil kopi. Aku memilih duduk diam, membuka catatan digital sambil mencatat beberapa revisi yang harus dikonsultasikan ke timku di kantor pusat nanti. Lalu pintu terbuka. Langkah itu terdengar pelan. Tapi cukup familiar untuk membuat bulu kuduk ku berdiri. Aku tidak langsung menoleh. “Ada yang belum makan?” suara itu terdengar cukup lantang, seolah sengaja. “Aku ambilkan makan siang dan snack buat yang belum sempat.” Langkahnya mendekat ke meja panjang tempat kami rapat. Kotak-kotak nasi dan beberapa paper bag kopi dan roti ditaruh di atas meja. Aku tetap fokus ke laptop. Tanganku bahkan gemetar sedikit, tapi wajahku tetap datar. Tenang. Dingin. Seperti aku tak mengenalnya. Seperti dia hanya orang asing yang sekadar numpang lewat. “Makasih, Mas Raka!” ucap salah satu staf antusias, langsung mengambil kotak makan. Aku tak berkata apa pun. Tak melihat ke arahnya. Tak menunjukkan ekspresi apa-apa. “Eh, Kak Ayla?” suara itu lebih pelan sekarang, lebih pribadi. Tapi tak ada yang pribadi lagi antara aku dan dia. Aku menegakkan dudukku. Mengetik sedikit, lalu mengambil air mineral dari meja. Masih tanpa menoleh. Seolah dia bukan siapa-siapa. Bukan bagian dari cerita hidupku. Bukan pria yang pernah kupikir akan menua bersama. Detik itu, aku merasa menang. Bukan karena berhasil membuat dia malu atau sakit hati. Tapi karena aku tidak bereaksi. Karena aku sadar, yang benar-benar punya kuasa atas diriku hanya aku sendiri. Meeting kembali dimulai. Raka keluar ruangan. Dan aku kembali bicara soal struktur baja dan motif ubin. Seolah tak ada yang aneh. Padahal satu bab penuh kenangan sedang kuhapus dari kamus hidupku—pelan-pelan, tapi pasti. *** Matahari sudah mulai miring ke barat saat aku kembali ke kantor. Bahu rasanya pegal, sepatu hak ini seperti sedang menghukumku, tapi aku tetap berjalan tegak ke ruang meeting kecil di lantai dua. Beberapa rekan tim arsitek sudah menungguku untuk laporan hasil tinjauan lapangan. “Secara keseluruhan struktur bangunan lama masih layak,” jelasku sambil menunjuk beberapa foto di laptop. “Tapi akan butuh penguatan di beberapa titik. Terutama area bekas gudang yang rencananya akan dijadikan ruang serbaguna.” Mereka mengangguk, mencatat, sesekali bertanya. Aku menjawab dengan singkat, padat, tepat. Tak ada yang tahu bahwa sepanjang tur lokasi tadi, aku harus menahan diri untuk tidak memuntahkan semua amarah dan luka yang sudah kubungkus rapi. Setelah meeting selesai, aku kembali ke ruanganku. Nina langsung masuk tak lama kemudian, tanpa basa-basi melempar dirinya ke kursi di depan meja kerjaku. “Gimana lokasi proyeknya? Bos Mahendra udah nongol belum?” Aku menatap Nina, menghela napas, lalu mematikan layar laptop. “Belum. Tapi ada kejutan lain.” Mata Nina langsung menyipit. “Jangan bilang—” Aku mengangguk pelan. “Raka.” Nina mendadak duduk lebih tegak. “Apa?!” “Dia ada di sana. Serius. Kerja. Jadi staff lapangan proyek. Bawain makan siang segala.” Nina melongo. “Dia kerja di lapangan? Bentar. Ini Raka yang sama? Mantan manager hotel sok elite yang dulu suka traktir keluarga kamu makan di restoran bintang lima?” “Iya, benar.” Aku menyandarkan tubuh ke kursi. “Dengan rompi proyek, clipboard, dan wajah kurang tidur.” Nina menggeleng-geleng. “Turun derajat, dong. Gila hidup memang muter, ya.” Aku menatap langit sore dari balik jendela. “Dan lucunya, dia masih sok peduli. Nanyain aku udah makan belum, bawa nasi kotak segala. Aku cuek aja. Seolah dia cuma debu.” “Puas nggak?” tanya Nina pelan. Aku tersenyum kecil. “Nggak puas. Tapi sedikit lega.” Nina mengangguk, matanya melunak. “Kamu kuat, Ay. Gila. Aku aja yang denger doang udah pengen lempar nasi kotaknya ke muka dia.”
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD