Nasib sialku belum selesai mengikutiku.
Saat kupikir semuanya sudah cukup—diselingkuhi, diusir dari rumah, ditampar oleh laki-laki yang pernah kubela mati-matian—ternyata semesta masih punya kejutan lain.
Hari ini aku baru saja selesai meeting di kantor. Sedang duduk di pantry sambil ngeteh, mencoba menikmati sore yang tenang, ketika Nina datang tergesa, wajahnya pucat.
“Ayla—kamu harus lihat ini.”
Dia menyerahkan ponselnya. Ada kiriman tangkapan layar dari grup Wh4tsApp alumni kampus. Postingan akun gosip keluarga elit kota. Judulnya bikin perutku mual,
“Dira dan Raka Resmi Umumkan Kehamilan Anak Pertama.”
Tubuhku kaku. Nafasku tercekat.
Kupandangi foto itu. Dira, mengenakan dress putih ketat, tangan Raka memegang perutnya yang sedikit membuncit. Mereka tersenyum. Bahagia. Penuh percaya diri.
Ada caption di bawahnya,
“Kami tidak berencana mengumumkan secepat ini, tapi kami percaya setiap anak adalah berkah.”
Tanganku gemetar. Air mata sudah menggenang, tapi entah kenapa—tak bisa jatuh. Hatiku terlalu beku untuk menangis. Rasanya seperti ditampar berkali-kali tanpa sempat bangun dari tamparan pertama.
“Maaf, Ay—aku tahu ini keterlaluan,” suara Nina pelan, penuh simpati.
Aku menggeleng. “Enggak, Nin. Ini bukan keterlaluan. Ini sebuah fakta yang tertunda.”
Nina duduk di sampingku, masih menatap layar ponselnya seperti belum percaya.
“Gila, Ay—Gimana bisa secepat itu? Maksudku—baru juga kamu batal nikah berapa minggu lalu loh.”
Aku mendesah, menyandarkan kepala ke sandaran kursi pantry. Mataku menatap kosong ke arah cangkir teh yang uapnya sudah hilang.
“Aku juga nggak ngerti, Nin. Dan jujur aja—aku nggak mau ngerti.”
“Tapi masa iya sih, secepat itu? Mereka sudah berhubungan dari kapan, dong?”
Aku memejamkan mata. Rasanya sesak. Tapi bukan karena pertanyaannya, lebih karena kenyataan bahwa aku sudah muak memikirkan semua itu.
“Nina—” Aku membuka mata, menatapnya lurus. “Dira itu orang paling manipulatif yang pernah aku kenal. Dan satu-satunya penyesalanku dalam hidup ini adalah aku memiliki adik sepertinya.”
Nina terdiam. Nggak menyela. Dia tahu kapan harus diam dan kapan harus bercanda.
“Ada dua kemungkinan,” lanjutku pelan. “Dia memang sudah tidur sama Raka jauh sebelum aku tahu, atau dia sengaja mau hamil buat mengikat Raka.”
“Kamu pikir dia segitu niatnya?”
Aku tertawa miris. “Nggak ada yang nggak mungkin buat orang kayak dia. Dulu dia pernah pura-pura pingsan pas ulang tahun Ayah, cuma karena aku dapat beasiswa dan dia enggak.”
Nina mendengkus. “Sumpah, itu level drama yang bahkan pemain sinetron aja kalah.”
“Makanya,” jawabku datar. “Aku sudah capek ngurusin hidup dia. Sekarang, biarkan saja dia hidup dengan kebohongannya. Kalau memang benar hamil, ya selamat. Kalau cuma drama lain—semoga karma datang tepat waktu.”
Nina menyandarkan dagunya ke telapak tangan, lalu melirikku. “Tapi kamu oke, kan?”
Aku menarik napas panjang. “Enggak. Tapi Aku masih hidup. Dan itu cukup untuk hari ini.”
***
Pukul delapan malam. Aku baru saja masuk apartemen, meletakkan tas di sofa, dan melepas high heels yang sejak pagi membuat kakiku nyeri. Aku bahkan belum sempat mencuci muka saat ponselku bergetar.
📞Ayah.
Butuh beberapa detik sebelum akhirnya kuangkat.
“Halo, Ayah.”
Suaraku datar. Aku lelah, bukan hanya fisik, tapi hati dan pikiran.
“Besok malam, kamu pulang, ya. Kita makan malam bersama,” suara Ayah terdengar biasa, seperti tak pernah mengusirku dari rumah.
Aku mengernyit, lalu duduk perlahan di sofa. “Ayah, aku capek. Kerjaan lagi padat. Besok ada meeting pagi-pagi juga.”
“Kamu kerja terus. Apa kamu pikir hidupmu cuma soal itu?” suara Ayah naik sedikit. “Kalau kamu bukan perempuan keras kepala, kamu nggak akan hidup sendirian begini.”
Aku menarik napas dalam. “Kalau aku nggak kerja, Ayah pikir siapa yang memenuhi semua kebutuhanku? Aku kerja karena aku harus tetap hidup.”
Hening sebentar di ujung sana.
Kemudian Ayah berkata, “Kalau kamu mau, restoran cabang di Cibubur bisa jadi milikmu. Tapi perlu kamu tahu, warisan utama tetap Dira yang pegang.”
Aku membeku. “Maaf? Warisan utama?”
“Ya. Bisnis keluarga akan jatuh ke tangan Dira. Dia calon ibu dari cucu pertama keluarga ini. Dia yang melanjutkan keturunan.”
Aku nyaris tertawa saking absurdnya. “Ayah sadar nggak, kedengarannya kayak zaman kerajaan? Ini 2025. Bukan zaman kerajaan Jawa kuno yang pewaris ditentukan dari siapa yang hamil duluan.”
“Kamu jangan bicara begitu—”
“Lalu siapa yang buat aturan aneh itu, Ayah? Bukankah dulu Ayah sendiri yang bilang, ‘Yang paling mampu yang akan memimpin bisnis keluarga’? Dan sekarang hanya karena Dira hamil, semua berubah?”
Ayah terdiam.
Dan aku tahu, dalam diamnya itu—dia tak bisa menjawab. Karena jawabannya sudah jelas,
Dira selalu menang.
Karena dia bukan aku.
Aku menghela napas, berusaha menjaga nada suaraku tetap tenang. “Kalau tujuan makan malam besok cuma buat ngumumin Dira sebagai putri mahkota, maaf, Ayah. Aku absen.”
Lalu kutekan tombol merah di layar.
Aku langsung melempar ponsel ke sofa. Tidak ke tembok—aku belum semarah itu, tapi cukup kesal untuk tak peduli ponsel itu mendarat dengan kasar atau tidak.
Ayah benar-benar keterlaluan.
Bukan cuma karena warisan, tapi karena entah sejak kapan aku merasa seperti anak tiri di rumah sendiri. Sejak Ibu meninggal, sejak Ibu Tiri datang, sejak Dira mulai merebut segalanya yang pernah jadi milikku—perhatian, kasih sayang, bahkan calon suamiku.
Kupeluk lututku sendiri di sofa, memandangi langit malam dari jendela apartemen.
Aku lelah.
Semesta seperti terus menguji seberapa jauh aku bisa bertahan tanpa benar-benar hancur.
Pikiran itu terhenti saat suara notifikasi ponselku berbunyi. Aku meraihnya dengan malas, mengira itu dari Nina. Tapi bukan.
Pesan masuk dari: Sekretaris CEO Elara Group.
📩“Selamat malam, Kak Ayla. Besok pukul 09.00 akan ada peninjauan lokasi proyek Elara Hotel. Mohon hadir mewakili tim arsitektur. Pak Mahendra Wirasatya belum bisa bergabung karena masih berada di luar negeri untuk urusan bisnis.”
Aku mengerjap, membaca ulang pesannya dua kali. Jadi aku belum bisa bertemu langsung dengannya?
Entah kenapa, rasa kecewa muncul sedikit. Padahal aku sendiri belum yakin, kenapa aku begitu tertarik bertemu Mahendra. Tapi mungkin karena sejak malam itu, ada rasa penasaran yang belum selesai.
Kupandangi layar ponsel beberapa detik, lalu menghela nafas pelan.
“Baiklah, Mahendra Wirasatya,” gumamku lirih. “Kamu tetap misteri untuk sekarang. Tapi tunggu saja nanti.”
Lalu kuletakkan ponsel ke meja, berdiri, dan melangkah ke kamar.
Besok akan menjadi hari yang panjang.
Dan untuk saat ini, aku akan fokus pada sesuatu yang bisa kuatur.
Pekerjaanku.
Dan bukan keluarga yang selalu menyalahkanku atas pencapaian yang aku dapat dengan susah payah.