Pria Misterius

999 Words
Hidup setelah patah hati ternyata bukan tentang bangkit dengan cepat. Kadang cuma soal bertahan. Bangun pagi, mandi, dan pura-pura lupa bahwa hidupmu baru saja dihancurkan. Aku kembali bekerja setelah cuti tiga hari. Pipi kiriku sudah membaik, meski hatiku masih terasa seperti kaca retak. Tapi aku tak mau jadi bahan kasihan siapa pun. Lagi pula, pekerjaan adalah satu-satunya hal yang tersisa untuk kupeluk sekarang. Di meja kerjaku, blue print proyek kantor cabang luar kota menunggu untuk dikaji ulang. Aku tenggelam di dalamnya, membuat garis demi garis, seolah itu bisa menggantikan retakan dalam hidupku. "Kamu kuat banget, Ay," kata Nina, sahabat sekantorku yang duduk di bilik sebelah. “Aku kira kamu bakal ambil cuti lama.” “Berusaha kuat karena aku tidak boleh kelihatan lemah di hadapan para musuh, lebih tepatnya,” jawabku sambil nyengir ke arah Nina. “Ajak-ajak aku kalau kamu mau maju perang!” Seru Nina penuh semangat. “Tidak akan ada perang—yang hanya adalah drama menyebalkan dari orang-orang munafik,” balasku. Belum sempat Nina membalas—ponselku bergetar lebih dulu. Sebuah notifikasi masuk dari email kantor. Subjek: New Client – Kegiatan Presentasi Proyek Gedung Hotel Elara Catatan: Arsitek utama – Ayla Prameswari. Pertemuan perdana dijadwalkan Kamis, pukul 10.00 WIB. CEO: A. N. Mahendra Wirasatya. Aku tersenyum saat mendapatkan tugas baru. Ini jauh lebih baik ketimbang meratapi nasib seperti orang gila. *** Waktu makan siang, aku dan Nina memutuskan pergi ke kafe seberang kantor. Jujur saja, aku sudah tidak tahan lagi makan di kantin. Tiap sudut seperti punya mata dan telinga. Gosip soal aku batal menikah karena Raka selingkuh dengan adikku sendiri masih jadi bahan gosip utama. Dan parahnya, ada saja yang bisik-bisik sambil pura-pura menyapa ramah. Malas sekali. “Tenang saja, di sini aman. Nggak bakal ada yang kenal,” kata Nina sambil menyeruput es kopi. Aku cuma mengangguk. Makanan di depan mata masih utuh, belum kusentuh. Baru juga mau menyuap nasi pertama ke mulut, pintu kafe berbunyi. Suara belnya khas, nyaring. Aku tidak terlalu peduli, sampai kudengar suara kursi ditarik tepat di sebelahku. “Ayla—” Suara itu langsung membuat tanganku kaku di udara. Dan saat aku menoleh, benar saja. Raka. Berdiri di sana, memakai kemeja putih yang disetrika rapi, rambut disisir ke belakang, dan membawa buket mawar merah besar sekali, seperti mau melakukan lamaran ulang. Aku nyaris tertawa. Bukan karena lucu, tapi karena hampir gila. “Ngapain kamu ke sini?” tanyaku datar. Dia meletakkan buket itu di meja, seolah-olah itu bisa menyelesaikan semuanya. Nina refleks menggeser kursi menjauh, wajahnya jelas menunjukkan rasa tidak nyaman. “Aku cuma mau minta maaf, Ayla. Kali ini serius. Aku menyesal. Aku hancur.” Aku menatapnya, tanpa emosi. “Kamu menyesal? Baru sekarang, setelah memukulku, setelah tidur dengan adikku, setelah kamu membuatku ditendang keluar dari rumah sendiri?” “Aku khilaf, Ayla. Aku mabuk. Kamu tahu sendiri aku lagi stres—” “Stop,” potongku cepat. “Aku juga stres, Raka. Tapi bedanya, aku nggak menyakiti siapa pun. Kamu datang ke sini, bawa bunga, kayak aktor sinetron. Kamu pikir aku bakal terima begitu saja?” Dia terdiam. Nafasnya berat. Sementara itu, pengunjung kafe mulai memperhatikan. Beberapa mulai berbisik. Dan aku mulai merasa geli sendiri. Nina berdiri. “Kamu mau aku usir dia?” bisiknya. Aku menggeleng pelan. “Nggak usah. Biar dia pergi sendiri.” Lalu aku menatap Raka lagi, kali ini lebih tajam. “Kamu pernah bilang cinta, tapi ternyata kamu cuma cinta sama dirimu sendiri. Sekarang, silakan bawa bunga ini pergi. Aku sudah tidak membutuhkan yang palsu-palsu.” Dia masih diam. Tapi akhirnya, dia sadar juga. Dengan langkah berat, Raka mengambil lagi buket bunganya dan berjalan keluar. Dan aku? Aku akhirnya bisa makan siang dengan tenang. Meski rasanya masih pahit. Setelah makan siang yang sedikit dramatis itu, aku kembali ke kantor. Untungnya, Raka tidak melanjutkan aksinya. Tapi tetap saja, pikiranku jadi kacau. Aku butuh distraksi. Dan seperti biasa, pelarianku adalah kerja. Aku duduk di meja, menyalakan laptop, membuka folder proyek Elara Hotel. Presentasi pertama akan dilakukan dalam dua hari ke depan, dan aku belum tahu banyak soal kliennya. Hanya ada satu nama tertulis di email: A. N. Mahendra Wirasatya. Nama yang dari tadi pagi terus terngiang di kepala. Entah kenapa aku penasaran. Bukan karena proyeknya, tapi orangnya. Dengan cepat, aku buka browser dan mulai mengetik: “CEO Mahendra Wirasatya Group” Beberapa detik kemudian, hasil pencarian keluar. Artikel-artikel bisnis, wawancara, bahkan foto-foto acara formal. Mataku langsung terpaku pada salah satu gambar—seorang pria berdiri dengan setelan jas hitam elegan, ekspresi dingin dan rahang tegas. Tatapan matanya persis seperti yang kulihat malam itu. Itu dia. Mahendra. “Kamu ngestalk siapa?” Suara Nina tiba-tiba muncul dari samping. Dia langsung menarik kursi dan duduk tanpa izin, seperti biasa. “Nggak,” jawabku cepat, sedikit panik. Tapi tanganku masih di atas mouse, dan layar belum sempat ku-scroll. “Wah... wah... wah...” Nina melotot, matanya membulat. “Kamu lagi ngestalk klien? Gila, Ayla, kamu hebat banget sih. Baru move on, langsung naksir CEO muda? Respect!” Aku mendesah. “Aku gak naksir.” “Bohong,” godanya. “Mata kamu nggak bisa bohong. Kamu penasaran, kan?” Aku menoleh malas. “Iya, Aku penasaran. Tapi bukan karena hal yang kamu pikirin. Aku cuma kaget, dia itu orang yang menolong ku malam itu.” Nina langsung membeku. “YANG MENOLONGMU SAAT RAKA NGAMUK DI APARTEMEN?! YANG NGUSIR RAKA?!” “Jangan teriak, astaga.” “Gila, gila, gila. Kamu harus pastikan itu orangnya. Kalau iya, kayak drama Korea live-action, sumpah.” Aku memutar bola mata. “Aku nggak lagi nyari cinta baru, Nin. Aku baru banget dihancurkan.” “Siapa bilang kamu harus langsung jatuh cinta?” jawabnya santai. “Tapi masa kamu nggak penasaran kenapa cowok setampan itu tiba-tiba muncul, bantu kamu, terus hilang kayak ninja?” Aku terdiam. Karena jujur—aku memang penasaran. Dan saat ini, rasa penasaranku bahkan lebih besar dari rasa sakitku. Mahendra Wirasatya. Siapa sebenarnya dia? Dan kenapa tatapannya waktu itu seperti dia tahu persis rasa sakit yang aku simpan?
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD