Bab 11. Ditemani Lembur

1445 Words
Andai bisa memilih, sumpah Rhea ingin sekali tidur dan sendirian di kamar tanpa ada yang mengganggu. Bukan perkara capek, tapi suntuk dan malas nanti harus bertemu si sengklek lagi. Melihat ulahnya seharian ini, Rhea makin yakin Genta memang sesinting itu. Begitu niat ingin menggertaknya, sampai mengirim rekaman CCTV kejadian di nightclub. Itu jadi daftar panjang senjata yang akan Genta pakai untuk menekannya supaya menurut. Tentu saja selain foto mereka saat di ranjang. Jarum jam hampir menyentuh pukul delapan, ketika pintu ruang kerjanya diketuk. Mata Rhea hanya melirik sebentar dari laptopnya, karena sudah tahu siapa yang datang. Lantai paling atas hanya bisa diakses dengan lift khusus, yang bahkan tidak semua pegawai bisa naik ke situ. Hanya para petinggi rumah sakit dan pegawai yang berkepentingan yang memegang kartu akses ke lantai situ. Makanya tadi Genta lebih dulu menghubungi Rhea, lalu Rhea minta pihak security lobi membantunya naik. “Lapar? Sorry, tadi ada urusan mendadak!” Genta masuk dan meletakkan paper bag yang dibawanya di meja sofa. “Nggak lapar. Kamu makan saja dulu!” sahutnya masih fokus dengan laptopnya. “Aku kesini karena ingin makan ditemani kamu! Sini!” panggil Genta yang duduk di sofa mengeluarkan makanan yang dibelinya. Rhea menatapnya jengah. Tapi … melihat sushi lezat di sana, perutnya yang dari pagi baru terisi sandwich makin keroncongan. “Nunggu dibopong dulu kayak tadi pagi?” goda Genta kembali menyinggung soal itu. “Ck!” Rhea pun beranjak setelah menyambar ponselnya. Entah saking capek dan kurang tidur, atau karena buru-buru berdiri setelah duduk lama, dia malah kliyengan. Melihat itu Genta yang kaget langsung bangun dan mendekat menyambar pinggang Rhea. “Kenapa? Pusing?” tanyanya menatap wajah Rhea yang mengernyit tampak sedikit pucat. “Lapar!” jawab Rhea makin membuat Genta greget. “Sarapannya dimakan, nggak?” Genta menarik pinggang Rhea merapat. “Hm,” angguk Rhea. “Siang pasti nggak keisi perutnya! Iya, kan?” “Hm.” Lagi-lagi Rhea mengangguk. “Nggak sempat. Mana doyan makan, kalau suasananya sedih kayak gitu.” Genta menoleh melihat setumpuk map di atas maja. Wajar Rhea keteteran dengan posisi barunya. Cuma kasihan juga baru masuk, langsung dihantam tanggung jawab seberat ini. “Belum selesai?” tanyanya. “Sudah. Beberapa bisa besok dilanjut, tidak apa-apa!” Mendengar itu Genta menggandeng Rhea duduk di sofa, lalu memberikan sumpit. Dia juga menancapkan sedotan ke gelas jus buah yang dibawanya dan disodorkan ke mulut gadis yang masih duduk mematung itu. Mengedikkan dagu, Genta minta Rhea meminumnya. “Tanganku tidak patah!” Rhea mengambil jus itu dari Genta, lalu meminumnya. “Makan yang kenyang!” ucap Genta sebelum mereka mulai makan sushi kesukaan Rhea. Diam-diam Rhea curiga. Bagaimana bisa pas banget Genta membawa sushi dan jus cherry kesukaannya. “Lain kali jangan nyusul ke sini! Nanti kalau tiba-tiba ada yang datang, malah ribet urusannya. Apalagi kalau mama atau papa yang memergoki kamu di sini. Gimana kasih penjelasan yang masuk akal ke mereka?!” Rhea serius khawatir. Yang benar saja, kan tidak masuk akal tiba-tiba mereka berdua dekat sampai berduaan di kantor semalam ini. Padahal sebelumnya juga tidak akrab. “Ya baguslah! Jadi aku bisa ngaku langsung ke mereka, kalau sudah meniduri anaknya. Bonyok dikit nggak masalah, yang penting langsung dinikahkan!” Bugh “Arghhh …”Genta meringis dengan punggung menggeliat, setelah kena gebuk Rhea. “Mulutnya tolong dijaga! Jangan asal mangap! Nanti kalau ada yang dengar gimana?!” dengus Rhea kesal. Dia lanjut lagi makan, tanpa peduli Genta yang masih meringis mengusap punggungnya. “Galak banget ayangku! Untung cinta!” gerutu Genta menoleh ke Rhea yang sedang melahap sushinya. Tersenyum, dia menarik tengkuk Rhea dan menjilat sebutir nasi yang tertinggal di ujung bibirnya. Mata Rhea mengerjap. Bahkan, untuk sekedar berdebat saja dia sudah tak punya tenaga. Alhasil dia pun pilih diam membiarkan dirinya jadi target kokop pria sinting ini. “Sudah ketemu bestiemu? Pasti dia senang dengan bunganya! Iya, kan?” tanya Genta mengingatkan Rhea soal Sofie yang sekarang terkapar di ruang rawat lantai bawah. “Kamu yang menyuruh orang menabraknya? Iya, kan?” tebaknya, “Menurutmu?! Apa aku harus diam saja calon istriku dihina habis-habisan di depanku?!” Genta menyeringai puas. “Genta ….” “Ayang atau Bumi! Pilih panggil yang mana?” Genta mengambil sepotong sushi salmon kesukaan Rhea, lalu menyuapkan ke mulutnya. “Aku tahu tanganmu tidak patah. Tapi, rasanya lebih enak kalau disuapi calon suami. Aaaaa ….” Mau tidak mau Rhea membuka mulutnya menerima suapan Genta. Matanya masih menatap lekat pria tengil tampan yang menyedot minumnya itu. Tampan?! Tentu saja. Meski tidak pernah menyukai Genta yang selengean dan menyebalkan, tapi dia ganteng itu fakta. Tubuhnya jangkung, hidung mancung, mata tajam, dan garis wajah keras yang makin membuatnya kadang terlihat beringas saat menyeringai sinis. Siapa sebenarnya genta? Hingga detik ini mereka belum mendapat jawaban. Bagaimana dia bisa tahu banyak soal dirinya, juga Sofie dan Lucky. “Kamu baru pertama ketemu Sofie dan Lucky. Bagaimana bisa tahu dia tinggal dimana? Lagi pula bukan ranahmu ikut campur sejauh ini urusanku, Genta! Kalaupun mau membalas mereka, aku sendiri juga bisa!” tegurnya tidak suka. Menelengkan kepalanya, Genta tersenyum membalas tatapan Rhea. Ingin mendorongnya menjauh, setelah membuatnya terperangkap tanpa sanggup berpaling. Jangan harap! “Kamu terlalu meremehkanku, Sayang! Aku tahu semua tentang kedua tikus yang selama ini mengerubutimu itu!” “Iya, kah?!” pancing Rhea. “Hm,” angguk Genta. “Satu ciuman untuk apa yang tidak kamu tahu soal mereka, tapi aku pegang kartunya. Berani?!” tantang Genta terkekeh melihat Rhea mendengus. Tapi, dia suka dengan sifatnya yang pantang tunduk. “Kalau ternyata aku sudah tahu, janji kamu akan menyingkir dari hidupku. Bagaimana?” Rhea balik menantang. “Deal!” angguk Genta mencomot potongan terakhir sushi udang, lalu menyuapkan ke Rhea. Tapi, oleh gadis itu hanya dilahap setengah karena kenyang. Jadilah sisanya masuk ke mulut Genta. Rhea hanya gedek. Bisa-bisanya Genta tidak merasa jijik makan sisanya. “Kamu pasti tahu mamanya Sofei adalah istri simpanan. Tapi, kamu pasti tidak tahu siapa pria berduit yang juga membiayai kuliah bestiemu di London. Iya, kan?” Mendengar itu Rhea terdiam. Iya, Sofei memang tidak pernah buka mulut cerita siapa sosok yang dia selalu panggil daddy itu. Tapi, bagaimana mungkin Genta tahu?! “Siapa daddy nya Sofei?” tanyanya penasaran. “Ilyas Hanif. Pimpinan Damaya Group! Perusahan konstruksi yang kantornya tidak jauh dari Graha Abimanyu, perusahaan papanya Juna!” jawab Genta seketika membuat Rhea melongo. “Serius? Atau jangan-jangan kamu cuma ngarang!” tuduhnya tidak percaya, karena itu perusahaan yang lumayan besar. “Aku tunjukkan buktinya, tapi setelahnya kamu bayar hutangmu!” Genta mengedikkan dagu dengan mulut monyong nagih ciuman. “Nggak percaya, jadi tak usah buktikan!” Rhea beranjak bangun tapi tangannya ditarik hingga tubuhnya terhempas ke pangkuan Genta. Dia nyaris menjerit saking kaget, tapi bibirnya sudah dibungkam oleh ciuman. Genta memeluk pinggang Rhea. Satu tangannya mencekal tangan Rhea yang ingin menjambaknya. “Hhmmmm ….” Rhea berontak, tapi Genta makin keranjingan mencium dan melumat bibirnya. Sampai kemudian Genta puas mencecap manis di bibir Rhea, dia baru melepasnya. Rhea yang melotot seketika tidak jadi marah saat ditunjukkan beberapa foto di ponsel Genta. Masih duduk di pangkuan pria sinting itu, Rhea sampai melongo melihat foto pernikahan siri mama Sofei dan pria bernama Ilyas Hanif. “Kamu dapat ini darimana?” tanya Rhea. “Darimana foto itu kamu tidak perlu tahu. Yang penting kamu harus tahu, kalau pria itu juga benalu mokondo. Yang kaya kan istrinya. Dia diberi kedudukan pimpinan, tapi saham tetap atas nama istrinya. Bayangkan bagaimana serunya menonton mereka kalau perselingkuhannya terbongkar! Segampang itu kalau kamu mau membalas mantan bestiemu. Mau?” tanya Genta dengan tangan nangkring di paha Rhea, lalu mengelus lembut. Kesal, Rhea menepis tangan kurang ajarnya. Tapi, ganti menyentuh dan meremas pelan betisnya. Rhea diam menimbang. Apa dia tega membalas sesadis ini ke Sofei, sedang Genta sudah membuatnya terkapar dengan mukanya yang pasti bakal meninggalkan bekas. Tadi saja melihat kondisinya di IGD sudah terlihat mengenaskan. “Hm?” Genta berbisik mengingatkan Rhea akan pertanyaannya barusan. Ujung hidungnya menyenggol telinga Rhea, lalu mengendus turun ke leher. “Haish!” Rhea mendorong muka Genta menjauh. Terkekeh, Genta kemudian meletakkan dagunya di bahu Rhea. “Tapi … nanti kalau dia balas ngomong ke mama soal mabuk dan ciuman, gimana?” Rhea menoleh ingin melihat muka dan mendengar pendapat Genta. Tapi, pipinya jadi sasaran ciuman. “Maka akan aku bikin dia selamanya jadi bisu!” jawab Genta tidak main-main. Sempat menatap ragu, akhirnya Rhea mengangguk. Genta kemudian membawanya berdiri dan menggandengnya keluar setelah menyambar gelas jus Rhea. “Habiskan dulu! Jangan sampai nanti lagi bikin perhitungan, kamunya kliyengan kayak tadi!” titahnya. Rhea tertawa mengambil jusnya. Meminum sisanya sambil melangkah keluar dari sana. “Balas sepuasmu! Tapi, jangan ingat-ingat lagi soal mereka setelahnya. Ngerti!”
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD