Bab 7. Di Bawah Ancaman Genta

1622 Words
Rhea pikir dikhianati pacar dan kena tikung teman sendiri itu adalah hal paling sial. Ternyata dia salah. Ada yang lebih membuatnya jengah dari itu. Apalagi kalau bukan terjebak cinta satu malam dengan Genta. Dia bukan hanya kehilangan keperawanannya, tapi pria sinting itu juga mendadak posesif dan memaksa mau menikahinya. Rhea tentu saja ogah. Sayangnya Genta bukan Lucky yang bisa dibungkam dengan bentakan. Terlebih dia sangat dekat dengan mamanya. Ancaman untuk membongkar kejadian semalam jika Rhea menolak dinikahi, jelas bukan sekedar gertakan pria sinting itu. Aneh! Bukankah seharusnya Genta senang, sudah mendapatkan mahkota Rhea, tanpa harus bertanggung jawab menikahinya! Ini justru terbalik. Rhea yang dipaksa mau menerima tanggung jawab darinya. Tapi, Rhea tetaplah Rhea. Gadis keras kepala yang pantang didikte, apalagi dipaksa menurut. Dia tidak peduli siapa Genta. Yang jelas tidak ada seorangpun yang bisa memaksanya untuk bertekuk lutut. Apalagi untuk urusan menikah yang menyangkut kebahagiaan seumur hidupnya. Dia tidak segila itu mau terjebak ke dalam pernikahan tanpa cinta. Big no! Selesai mandi, pakaian Rhea yang semalam sudah berada di atas tempat tidur. Tak hanya gaunnya, tapi juga pakaian dalamnya sudah dicuci bersih. Muka Rhea sempat panas, saat Genta keranjingan sengaja mengedikkan dagu ke arah sprei yang ternoda darah. Tidak ingin lebih lama berada di dekat pria sinting itu, Rhea pun bergegas keluar dari sana. “Ponselmu sudah aku cas penuh. Seperti orangnya yang semalam sudah aku ….” “Tutup mulutmu!” bentak Rhea benar-benar dibuat kesal oleh mulut nyinyir Genta. Padahal sedang membahas ponselnya yang semalam mati kehabisan baterai. Bisa-bisanya mulut sialannya itu menyinggung soal yang mereka lakukan di ranjang. Genta mengikuti Rhea keluar, karena tahu gadis ini pasti akan nekat kabur dari sana. Menyambar kunci mobil dan paper bag di atas meja, dia kemudian menggandeng Rhea ke arah garasi samping. “Lepas! Aku bisa berangkat sendiri. Jangan gila kamu, Gen! Nanti kalau ketahuan mama, gimana?” Rhea meronta menolak diantar Genta. Tapi, bukan Genta kalau tidak keras kepala. “Ya jangan sampai ketahuan lah! Kamu kan pintar kalau urusan bohong! Buktinya setahun pacaran sama Lucky, kamu bisa tuh diam-diam tidak ketahuan!” Genta menarik Rhea dipepet ke pintu mobil. Menyeringai puas melihat gadis di depannya itu mengernyit curiga. “Tahu dari mana?” tanya Rhea penuh selidik. Karena soal ini hanya Gala dan adik kembarnya Thea yang tahu. Sedang Genta juga tidak akrab dengan mereka. “Menurutmu?!” lontar Genta pongah. Tangannya mulai keranjingan hendak menyentuh wajah Rhea, tapi lebih dulu ditepis kasar. “Saat pernikahan adikmu, kamu bahkan menemuinya di samping kolam renang belakang hotel. Suka main petak umpet, ternyata! Menarik!” Genta terkekeh menikmati muka cengo Rhea. Sedetik kemudian satu tangannya mencengkram leher Rhea dipaksa mendongak, lalu melumat bibirnya yang sudah mau mengumpat marah. Bugh Rhea menendang kaki Genta hingga meringis melepaskan bibirnya. Dia tahu dari mereka, kalau Genta itu sinting dan menyebalkan. Tapi, sekarang Rhea membuktikan sendiri segila apa pria ini. “Aku bisa berangkat sendiri! Tidak butuh kamu antar!” geram Rhea sudah mau berbalik pergi, tapi baru beberapa langkah tangannya ditarik dan diseret masuk ke mobil. “Gentaaaa ….” teriak Rhea dengan tangan siap menjotos, tapi matanya terbelalak kaget melihat pria itu pamer foto di ponselnya. Foto yang membuat jantung Rhea berdegup kencang. “Diam menurut atau aku kirim foto kita ini ke orang tuamu?!” ancamnya tersenyum menang melihat Rhea terpaku dengan wajah kaku memerah menahan marah. “Brengsekkk!” teriak Rhea menyambar ponsel itu, tapi sudah disimpan ke saku celana oleh pemiliknya. Genta berlutut meraih paper bagnya yang terjatuh. Dari dalamnya dia mengambil sepatu yang entah didapat darimana, lalu dipakaikan di kaki Rhea untuk mengganti sepatunya yang rusak. “Untung pas. Kalau tidak, aku lempar ke kepalanya!” gumam Genta tampak senang sepatu baru itu terlihat cantik di kaki jenjang Rhea. Tak punya tenaga untuk ribut lagi, Rhea terpaksa diam membiarkan Genta melakukan apa maunya. Yang penting dia bisa keluar dari tempat sialan ini. “Nanti kita beli sarapan di jalan!” ucap Genta melajukan mobilnya meninggalkan halaman rumahnya. Rhea mulai pusing memikirkan alasan apa yang nanti akan dia beri, untuk menghadapi amukan mamanya. Menunduk, dia mulai membuka ponselnya untuk memeriksa chat dan panggilan tak terjawab yang pasti berjibun. Tak pernah dia mangkir tidak pulang ke rumah, apalagi tanpa pamit. Kecuali dulu di London. Sesekali dia menginap di apartemen Sofie. Mengabaikan puluhan chat dari teman-temannya. Dadaa Rhea deg-degan memeriksa chat lain. Tapi, anehnya tidak ada chat dari mama atau papanya. Begitu dia klik ke riwayat obrolan, matanya mendelik mendapati pesan yang dia terkirim dari ponselnya. “Kamu yang mengirim pesan ke mamaku?” Rhea menoleh ke Genta yang sedang menyetir. “Hm,” angguknya mengaku. “Biar kamu tidak kena omel. Jadi bilang dulu ke mamamu, kalau kamu menginap di rumah Sofie karena dia mabuk di pesta teman kalian semalam. Aku tidak kalah pintar bohong dari kamu, kan?!” sindirnya melirik dengan senyum menyebalkan. Rhea tidak jadi marah. Paling tidak karena kelakuan lancang Genta mengotak-atik ponselnya semalam, nanti dia tidak perlu pusing menghadapi dampratan mamanya. Hanya saja Rhea heran, bagaimana Genta tahu sandi ponselnya? Satu hal lagi, kenapa pria sinting ini seperti tahu banyak tentangnya? “Aku serius dengan ucapanku tadi pagi, Rhe. Mau atau tidak, aku tetap akan bertanggung jawab!” Setelah beberapa saat diam, genta mulai membahas soal itu lagi. “Diam! Aku sudah capek berdebat!” dengus Rhea menyandar dengan mata terpejam. Pekerjaannya menumpuk sampai membuatnya cengap-cengap tiap hari terpaksa lembur hingga malam. Ditambah urusan dua manusia bangsatt yang berkhianat di belakangnya. Sekarang justru datang satu lagi yang lebih bikin pusing dan siap mengacak-acak hidupnya. Genta punya foto mereka berdua yang sedang tidur bareng di ranjang. Orang bodoh juga paham, dia sengaja mengambil gambar sialan itu untuk menekannya supaya menurut. “Jangan marah! Aku tidak akan macam-macam, kalau kamu juga tidak terus membangkang!” Genta mengelus pipi Rhea yang masih duduk terpejam. “Jangan harap kamu bisa menggunakan foto itu untuk membuatku bertekuk lutut! Tidak ada yang bisa memaksaku melakukan apa yang tidak aku ingin. Termasuk menikah dengan pria sinting sepertimu!” Perlahan mata Rhea membuka. Mendelik ke Genta yang ternyata menyeringai di depannya. Sementara mobil berhenti di lampu merah. “Aku suka gadis pembangkang yang sulit didapatkan. Semakin kamu lari, semakin aku nafsu memburumu, calon istri!” tantangnya setelah mendengar penolakan Rhea. “Lucu! Hanya karena semalam tidur denganku, lalu kamu bertingkah seperti orang gila yang terobsesi padaku. Situ waras?!” ucap Rhea membalas sinis tatapan mengancam pria di hadapannya itu. “Aku memang tidak waras. Tanya saja mamamu! Dia sangat tahu itu!” Kepala Genta meneleng. Alisnya terangkat. Mata elangnya menatap bibir tipis dengan polesan lipstik warna merah pudar itu penuh minat. “Kamu duluan yang semalam menggodaku. Jadi jangan harap setelah mendapat apa yang kamu mau dariku, lalu seenaknya mendorongku menyingkir! Aku tidak pernah gagal mendapatkan apa yang aku inginkan. Termasuk kamu!” bisik Genta sebelum mengecup ujung bibir Rhea yang sedang mati-matian menahan emosi. Suara klakson saling sahut terdengar keras dari antrian panjang mobil di belakang mereka, tapi dengan sintingnya Genta malah masih menikmati menyiksa Rhea dengan ciumannya. “Kalau mau malu diamuk orang, jangan ajak aku! Buruan jalan!” bentak Rhea. “Jadi …. apakah nanti malam aku boleh menjemputmu, calon istri?” tanya Genta malah ngelantur. “Gentaaaa ….” “Jawab dulu!” paksanya tidak peduli suara klakson yang makin nyaring. Justru Rhea yang panik, khawatir kena amuk massa. “Terserah!!” seru Rhea geram bukan main. “Ok!” angguk Genta dengan senyum lebar bergegas melajukan mobilnya setelah membalas dengan menekan klakson panjangnya. Rhea kembali memejamkan mata dengan kepala seperti mau meledak. Entah salah apa dia, sampai terjebak dengan pasien sakit jiwa segila ini. Bagaimana nasibnya setelah ini, kalau Genta benar-benar tidak akan melepasnya?! Untung di sisa perjalanan hingga sampai rumah sakit mulut nyinyir pria sialan itu tidak lagi ngoceh. Tapi, justru itu membuat otaknya berkelana mengingat kelakuan memalukannya semalam saat mabuk. Tanpa sadar Rhea meringis oleh rasa mulas dan denyut tak nyaman, ketika kelebat adegan bergumul panas dengan Genta melintas mengejek kebodohannya. “Sial!” umpat Rhea kesal. Tepat saat matanya membuka, mobil Genta berhenti di area parkir luar Medical Centre. Dia menyambar tasnya hendak turun, tapi terhenti karena pintu masih terkunci. “Buka!” seru Rhea ketus. “Ini obatnya! Kalau masih sakit, nanti siang minum satu lagi!” Genta mengambil tas dari tangan Rhea dan memasukkan obat itu ke dalamnya. “Jangan buang tenagamu untuk berusaha menghindar atau lari dariku, Rhe! Percuma! Aku akan mendapatkanmu dengan cara dan resiko apapun!” tegas Genta kembali tangannya keranjingan mengelus leher Rhea dengan senyum kurang ajarnya. “Masih ada cupang di sini belum tertutup bedak!” Rhea langsung melongok menatap spion tengah. Melihat ke arah lehernya yang barusan diusap Genta. “Haish!” geramnya mengambil bedak, lalu memoles hingga tanda merah bekas lumatan pria sinting ini tidak kelihatan. Beda dengan Genta yang malah petantang-petenteng bangga pamer bekas cupang di lehernya. “Buka pintunya! Aku harus turun sebelum kepergok mama!” pinta Rhea dengan suara melunak, karena tahu Genta tidak bisa dibangkang. “Nanti siang aku telpon!” ucap Genta membuka kunci pintu. Tidak menjawab, Rhea langsung turun dari mobil dan melangkah ke arah pintu utama lobi. Dari belakang kemudi mobilnya Genta menyeringai menatap punggung gadis yang makin menjauh itu. Rhea Pradipta! Semesta ternyata sebaik itu memberinya kesempatan tak terduga, untuk menyelinap masuk ke hidupnya. Dia tahu sekeras dan sebar-bar apa sifat Rhea. Sangat tahu! Karenanya semalam Genta sengaja mengambil foto itu untuk senjata saat penyakit keras kepalanya kumat. Meraih ponselnya yang berdering pelan, Genta tampak mengangkat panggilan. “Hallo ,,,,” “Target sudah muncul, Boss. Mau dibereskan sekarang?” tanya suara dari seberang. “Hm, tapi jangan sampai mati! Rhea harus melihatnya sekarat dulu!” Genta tersenyum dengan mata berkilat, menatap Rhea yang masih sempat menoleh sebelum masuk ke lobi.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD