Bab 9. Hadiah Special Ayang Bumi

1665 Words
Kabar duka menghantam keluarga besar mereka. Jonathan Lin yang tadi sempat dilarikan ke rumah sakit dengan keadaan sudah tidak sadar, akhirnya dirujuk pulang lagi karena kondisinya tidak memungkinkan tertolong. Rhea terpaksa tetap tinggal di rumah sakit untuk mengambil alih tugas mamanya, sementara yang lain pulang mengantar opanya. Iya … baginya Jonathan Lin itu sudah seperti opa sendiri. Saking dekat hubungan keluarga mereka. Terlebih rumah pun juga bertetangga. Papa mamanya punya circle pertemanan yang luar biasa erat layaknya saudara. Tak hanya dengan keluarga Lin, tapi juga dengan keluarga Juna dan yang lain. Persahabatan mereka itu menurun ke anak-anaknya. Jadi jangan heran, kalau Rhea dan Thea punya banyak teman rasa sepupu, karena memang sejak kecil tumbuh bersama. Sampai sekolah pun mereka bareng di Lin School. Sekolah elite yang didirikan oleh Jonathan Lin. Rhea kenal dengan Soni, Gia, Lucky dan Fira juga karena mereka sekolah di sana. Itulah kenapa mereka tahu betul circle keluarga Rhea, yang merupakan para konglomerat juga orang-orang penting. Salah satu alasan Lucky kejer mengejarnya sejak SMA. Dia tahu kalau bisa mendapatkan Rhea, jalan menuju sukses pasti terbentang lebar. Yang paling menyedihkan, tak lama berselang Rhea diberitahu kalau Opa Lin mereka benar-benar menghembuskan nafas terakhirnya. Air matanya meleleh tak tertahan, bahkan saat masih memimpin rapat menggantikan tugas mamanya. Usai meeting dia balik ke ruang kerjanya. Mendecak keras, matanya menatap nanar setumpuk berkas di atas mejanya. Mabuk membuat kepalanya masih pusing. Apalagi juga kurang tidur, juga nyeri di selangkangannya makin bikin mood Rhea berantakan. Mengabaikan ponselnya yang terus berdering, dia hanya menatap malas nama pria sinting itu yang muncul di sana. “Sudah dimakan belum sarapannya?” Pesannya Rhea baca. Satu kotak berisi sandwich tuna, salad sayur, dan segelas jus jeruk masih utuh belum tersentuh sama sekali di depannya. Nafsu makannya ambyar oleh rasa penat dan masalah yang menghantamnya bertubi. Ponselnya kembali berdering, tapi kali ini dari Juna. “Ya ….” angkat Rhea sambil minum jusnya. “Opa Lin meninggal. Kamu dimana? Nggak pulang?” tanya Juna yang biasa pecicilan pun terdengar serak. Pasti juga habis nangis. “Aku masih di rumah sakit. Baru selesai menggantikan mama meeting. Nanti sebentar lagi pulang,” jawab Rhea. “Rhe ….” “Apa?” “Kamu semalam kemana saja? Papa sampai datang ke rumah nyari aku. Tanya tahu nggak tempat Soni ulang tahun. Ponselmu mati. Mereka kebingungan cari kamu. Aku sampai tanya sana-sini, tapi waktu datang ke klub malah mereka sudah bubar. Kamu semalam beneran nggak pulang?” tanya Juna khawatir. Jus di tenggorokan Rhea nyaris tak tertelan. Tidak menyangka kalau Juna sepanik itu, sampai pontang-panting mencarinya ke klub. Tiba-tiba merasa bersalah ke orang tuanya, Thea, dan juga Juna. Mereka bingung mencarinya, tapi dia yang mabuk malah keranjingan asik bercinta dengan Genta. Soal Juna yang memanggil papa ke papanya Rhea, dia dan abangnya memang sejak kecil sudah biasa begitu. “Rhea ….” panggil Juna lagi setelah tak terdengar apapun. “Sorry! Semalam Sofie mabuk berat, jadi aku mengantarnya pulang. Tidak tega mau meninggalkan dia sendirian di apartemen, jadi aku menginap di sana. Ponselku kehabisan baterai, Jun. Tapi, kemarin malam sudah kasih kabar ke mama,” sahut Rhea meringis. Tadi dia bohong ke mamanya dan Thea. Sekarang ke Juna juga. Sebenarnya Juna mengajaknya ke acara pembukaan kafe temannya semalam. Dia mau mengantar Rhea datang dulu ke ulang tahun Soni sebentar, lalu ganti menemaninya ke kafe. Tapi, Rhea tidak mau karena memang sudah berencana membuat perhitungan dengan Lucky dan Sofie di hadapan ketiga temannya yang lain. Teman yang juga ikut menutupi perselingkuhan mereka. Jadi mana mungkin dia menerima ajakan Juna dan mempertontonkan hal memalukan itu. Sedang dia pacaran sama Lucky saja tidak ada yang tahu. “Lain kali kalau mau keluar malam, biarpun sama teman kamu sendiri jangan lupa sherlock! Sudah tahu orang tuamu over protektif, kamunya malah sembrono. Kalau tahu posisimu dimana, kan gampang nyusul kamu kalau ada apa-apa, Rhe!” omel sahabat dari orok Rhea itu masih saja kesal. “Iya,” sahut Rhea tidak ingin memperpanjang masalah. “Mau aku jemput? Kamu nggak bawa mobil, kan? Kemarin ke kantor kan bareng mamamu, terus ke pesta Soni juga sama Lucky!” tawar Juna yang langsung ditolak oleh Rhea. “Tidak usah! Ada mobil mama kok. Tadi mama mendampingi Opa di ambulan, jadi mobilnya masih di sini!" “Ok!” sahut Juna sebelum mengakhiri pembicaraan mereka. Rhea kembali menghela nafas panjang melempar kesal ponselnya yang terus berdenting oleh pesan dari Genta. Menegakkan punggungnya, dia mengambil map warna kuning yang harus dia selesaikan dulu sebelum ditinggal pulang. Selesai pemakaman sepertinya dia juga harus balik lagi kesini, karena tanggungan pekerjaannya yang masih menumpuk. Hampir setengah jam Rhea berkutat dengan berkas dan laptopnya. Baru juga pegang pena mau tanda tangan, ketika pintu ruangannya diketuk. Asistennya masuk dengan membawa buket bunga yang terlihat agak lain, hingga langsung mencuri perhatian Rhea. “Bu, ada buket bunga buat Bu Rhea!” Salma, asisten Rhea yang juga masih muda seumuran dengannya itu pun meletakkan bunga itu di atas meja. “Dari siapa?” tanya Rhea mengernyit menatap bunga mawar hitam itu penasaran, lalu mengambil kartu yang terselip di sana. Iya, mawar hitam! Bunga yang meski punya arti keberanian, kebangkitan, dan kesetiaan. Namun, juga identik sebagai simbol duka, kematian atau perpisahan. ‘Wellcome to the hell!’ Itu yang tertulis di sana. Rhea makin tidak paham, siapa yang kurang ajar mengirim ini untuknya. “Dari Ayang Bumi. Itu yang tadi petugas resepsionis lobi sampaikan, Bu!” Mata Rhea langsung membulat. Greget meraih ponselnya, mau mendamprat pria sinting yang beraninya sekurang ajar ini. Tapi, niatnya urung begitu mendapati puluhan panggilan tak terjawab dan pesan masuk di sana. Dia mengambil lagi penanya, lalu membubuhkan tanda tangan di berkas yang barusan sudah selesai dia garap. “Setelah ini saya mau pulang. Berkas lainnya nanti kamu taruh saja di meja. Selesai pemakaman saya balik lagi ke sini!” ucapnya mengulurkan map kuning itu ke asistennya. “Baik, Bu.” Rhea membuka pesan dari Genta. Gedek membaca sederet pesan yang dia tetap dia kirim, meski tidak digubris. “Tadi tidak kena omel mamamu, kan?” “Sudah sarapan belum?” “Jangan lupa sarapan, Rhe!” “Ya elah, aku dikacangin Ayangku!’ “Rheee …. Yanggg!” Rhea sampai hampir gumoh membaca panggilan sayang menggelikan itu. Matanya melirik sarapannya yang masih utuh, lalu mengambil sandwich tuna dan memakannya. “Jack bilang Jonathan Lin meninggal. Kamu mau pulang?” “Rhe, aku punya hadiah istimewa buatmu! Kamu pasti suka!” Rhea mendecih. Mawar hitam itukah yang Genta bilang hadiah istimewa?! Benar-benar sinting pria satu itu. “Kalau bunganya sudah sampai, kamu antar itu ke IGD! Ada tamu istimewa menunggumu di sana!” Kali ini Rhea benar-benar dibuat kaget sekaligus penasaran dengan maksud Genta. Jadi bunga ini bukan buatnya. Tapi, siapa orang di IGD yang Genta maksud? Kalau di IGD bukankah berarti orangnya sedang tidak baik-baik saja? Saking penasaran Rhea pun terpaksa menghubungi Genta. Jangan sampai dia mengikuti omongannya nyelonong ke IGD, ternyata malah jadi masalah. Apalagi dengan membawa mawar hitam. Dikira menyumpahi pasien supaya cepat mati. “Hallo ….” sahut Genta mengangkat panggilan dengan suara berat seperti baru terbangun. “Kamu bikin ulah apalagi, Ayang Bumi?!” sindir Rhea seketika terdengar suara terkekeh Genta. “Capek banget telepon dan chat ayangku, tapi malah dicuekin! Sarapannya sudah habis?” tanya Genta seperti sedang menguap menahan kantuk. “Belum, tadi sibuk. Mama tadi langsung pulang mengantar Opa Lin, jadi aku yang menggantikan dia pegang rapat. Ini bunga maksudnya apa? Siapa yang di IGD dan kamu suruh ke neraka?” cecar Rhea. Bukannya menjawab Genta malah tertawa pelan. Suara korek api, pasti sedang menyulut rokok. “Tentu saja memberi pelajaran perempuan sialan, yang semalam mulutnya sudah nyampah ke ayangku! Tenang saja, mantanmu yang benalu itu secepatnya juga bakal menyusul!” jawab Genta enteng, tapi seketika membuat Rhea terbelalak. “Kamu gila, ya?! Kamu apakan Sofie sampai bisa di IGD?!” seru Rhea ketar-ketir. “Hm, kamu yang sudah bikin aku gila. Jadi harus tanggung jawab!” “Gentaaa ….” “Aku maunya dipanggil Ayang atau Bumi!” sahut Genta malah tidak menggubris teriakan Rhea. “Haish! Kamu kenapa, sih?! Please, Genta! Jangan lanjut sinting gini! Aku sudah bilang tidak mau mengungkit yang semalam. Itu hanya kesalahan dan kita anggap selesai sampai disini, oke?!” geramnya. “Nanti malam temani aku makan. Dimana aku harus menjemputmu? Ke rumahmu juga tidak masalah. Nanti aku telpon mamamu dulu!” Itu bukan lagi permintaan atau ajakan kencan, tapi ancaman. Tangan Rhea terkepal. Bisa-bisanya dia terjebak ke cengkraman pria sialan ini. Genta bukan sekedar menggertak, Rhea tahu itu! “Kamu kan tahu Opa Lin meninggal. Ini aku mau pulang!” ucapnya masih mencoba sabar. “Aku bilang makan malam, Yang! Bukan sekarang!" sahut Genta gemas. “Pulang dari pemakaman aku balik lagi ke kantor. Pekerjaanku menumpuk. Kalau tidak lembur, bisa keteteran! Lain kali saja!” tolak Rhea. “Ok, nanti aku temani! Sekarang aku tidur dulu. Tenaga habis buat ngecas ayangku semalam!” “Mulut sialan!” maki Rhea kesal, tapi Genta malah tertawa renyah. “Jangan lupa bawa bunganya buat bestiemu yang lagi sekarat! Bye bye, Ayang!” Rhea menatap nanar ponselnya setelah pembicaraan mereka berakhir. Entah nemu dimana mamanya dulu, sampai bisa kenal dengan pria sengklek seperti itu. Bukan hanya menyebalkan, tapi sinting dan keras kepalanya tidak ketulungan. Penasaran dengan apa yang Genta bilang soal Sofie, dia pun menyambar tas dan buket mawar hitam itu sebelum beranjak keluar. Sekalian pulang Rhea akan mampir dulu ke IGD. Dalam benaknya dia mikir, teman sampahnya itu paling hanya sedikit bonyok kena gampar. Tapi, sesampainya di IGD saat perawat mengantarnya ke pasien yang bernama Sofie Pramana, mata Rhea terbelalak kaget. Sofie yang semalam masih segar bugar dan tanpa malu berteriak lantang mengakui perselingkuhannya dengan Lucky. Bahkan, malah balas menyalahkan dan menghinanya. Sekarang terkapar di atas brankar dengan luka mengenaskan. Lucky yang berdiri di samping selingkuhannya itu juga sama kagetnya melihat kedatangan Rhea. “Wah, karma jalur langit! Bagaimana rasanya, Bestie?!” Rhea menyeringai melempar buket bunga mawar hitam itu ke mantan sahabatnya yang mendelik dengan muka bengkak penuh luka mengerikan.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD