PART. 1 DARA

2064 Words
**Dara** "Dara" Aku mengalihkan pandanganku dari layar komputer di depanku. "Ya Bu, ada apa?" sahutku, saat melihat kalau yang memanggilku adalah Bu Stella, kepala divisi tempatku bekerja. "Big Boss memanggilmu" jawaban Bu Stella mengagetkanku. Selama 10 tahun aku bekerja di sini, baru kali ini Big Boss, Bp. Juniarto Sutarman memanggilku. "Ada apa ya Bu?" Tanyaku sedikit cemas. "Aku tidak tahu Dara, aku hanya diminta untuk memanggilmu. Rapikan dulu mejamu, setelah itu ikuti aku menemui Beliau" kata Bu Stella yang membuatku semakin cemas. Aku merapikan mejaku sebentar, baru mengikuti langkah Bu Stella menuju ruangan Big Boss. Bu Stella mengetuk pintu, dan dipersilahkan masuk oleh suara dari dalam. Bu Stella membuka pintu ruangan kantor Big Boss. "Stella, kamu bersama Dara?" "Iya Pak" Pak Juni berdiri dari kursi yang berada di balik meja kerja besar, dan kokoh. Meski usia beliau sudah 60 tahun, dan rambut Beliau sudah memutih, tapi garis ketampanan beliau masih terlihat jelas. Tubuh beliau, masih terlihat sangat sehat, dan gagah. "Dara" panggil Beliau, sambil mengulurkan tangannya menyalamiku. "Selamat siang Pak" Ku sambut uluran tangan beliau, sambil sedikit membungkukan tubuh. "Terimakasih Stella, kamu bisa kembali ke tempatmu." "Baik Pak" sahut Bu Stella. Bu Stella ke luar dari pintu, dan Pak Juniarto menutup pintunya. "Silahkan duduk." "Ya Pak" aku mengangguk, lalu duduk di sofa yang beliau tunjuk. "Kamu pasti bingung, kenapa saya memanggilmukan?" "Iya Pak" "Setelah kami mengamati kinerjamu selama ini, dan juga menanyakan kepada beberapa rekan kerjamu perihal dirimu. Saya memutuskan memberi kesempatan kepadamu, untuk menjadi sekretaris putraku." Mataku terbelalak mendengar perkataan Pak Juni, sungguh tidak pernah kuduga, kalau akan mendapatkan posisi sebagai sekretaris putra beliau. Itu jabatan paling diinginkan wanita-wanita di kantor ini, tapi minus aku, karena aku tidak tertarik bekerja sama dengan putra Bossku ini. "Saya tidak menerima penolakan Dara. Putraku sudah berganti sekretaris 8 kali, dalam kurun waktu 2 tahun ini. Saya sudah lelah melihatnya berganti sekretaris. Saya kira dia perlu seorang sekretaris yang punya pengalaman, dan dedikasi tinggi sepertimu. Saya menempatkanmu di sana, agar kamu bisa memberikan laporan tentang tingkah lakunya, saat dia sedang bekerja." "Maksud Bapak?" "Saya ingin dia sungguh-sungguh belajar mengelola perusahaan ini, yang nanti akan jadi miliknya. Saya tidak ingin dia bermain-main, karena perusahaan ini saya bangun dengan penuh perjuangan." Aku terdiam, tidak tahu harus berkata apa. Aku juga tidak tahu, harus senang, ataukah sedih mendapatkan posisi baru ini. "Apa kamu bersedia menerima posisi ini?" "Tapi kenapa saya, Pak?" "Karena saya melihat kamu sangat disiplin, punya dedikasi, dan totalitas yang tinggi dalam bekerja, untuk perusahaan ini." "Kalau ini sudah menjadi keputusan Bapak, saya akan terima ini sebagai sebuah amanah. Semoga saya bisa memenuhi harapan Bapak," jawabku akhirnya. "Terimakasih Dara, sekarang juga Ramli akan mengantarmu ke ruangan Juan, untuk bertemu dengan Juan lebih dulu, sebelum memulai kerjasamamu denganndia besok." "Sekarang juga, Pak?" "Ya, lebih cepat lebih baik." "Baik Pak" Pak Juni memanggil Pak Ramli, yang merupakan asisten pribadi beliau. "Ramli, antarkan Dara ke ruangan Juan, dan ini bawa berkas Dara, berikan pada Juan." "Baik Pak" sahut Pak Ramli. Setelah berpamitan dengan Pak Juni, aku dibawa Pak Ramli keruangan Pak Juan, ruangannya berada dua lantai di bawah lantai tempat ruangan Big Boss berada. Pak Ramli mengetuk ruangan kantor yang kami tuju. "Masuk" sahut suara di dalam. Pak Ramli membuka pintu. "Selamat siang, Juan" "Owhh Om Ramli, siang Om. Masuk, silahkan duduk." "Terima kasih Juan, ini kenalkan, Dara Ayudia. Dia yang sudah dipilih Ayahmu, untuk menjadi Sekretarismu, ini berkas Dara." Pak Ramli menyerahkan berkas di tangannya kepada Juan, dan diterima oleh Juan. Mata elang berwarna hitam legam itu, menatapku dengan tajam. "Selamat siang. Saya Juan Daniel Sutarman" Juan mengulurkan tangannya. "Saya Dara Ayudia" sahutku seraya menyambut uluran tangannya. "Tugas saya mengantarkan Dara ke sini sudah selesai, selanjutnya menjadi urusan kalian berdua. Saya permisi dulu," pamit Pak Ramli. Setelah Pak Ramli ke luar dari ruangan kantor Juan. "Silahkan duduk" Juan menunjuk sofa di dekat tempatku berdiri. Dia duduk di hadapanku, dengan pandangan tertuju kepada berkas yang tengah dibacanya. "Dara Ayudia, 32 tahun, singel, sudah 10 tahun bekerja disini. 10 tahun, apa kita pernah bertemu Dara?" Nada suaranya terdengar seperti sebuah sindiran buatku. "Jika maksud anda, dengan bertemu itu saya pernah berpapasan dengan anda, maka jawabnya adalah ya" sahutku datar. "32 tahun, dan singel? Saya kira anda tidak terlalu jelek, tapi kenapa anda masih singel?" Sekali lagi, nada bicara Juan bagiku, terdengar sebagai suatu sindiran, atau tepatnya penghinaan. "Bisakah kita tidak membahas masalah pribadi saya. Saya kira lebih baik, kita langsung saja kepada pekerjaan yang harus saya lakukan untuk anda" sahutku cepat. "Oke, kita akan mulai dengan membicarakan pekerjaanmu" sahut Juan cepat juga. *** ***JUAN*** Aku tahu apa maksud Ayah, dengan menugaskan seorang Wanita yang bukan tipeku, untuk menjadi sekretarisku. Itu karena dia ingin aku bersungguh-sungguh dalam bekerja, tidak bermain-main dengan sekretarisku seperti sebelumnya. Aku yakin juga, Ayah meminta Dara untuk memata-matai kegiatanku selama di kantor. Karena itu aku melarang wanita-wanitaku datang ke kantorku. Aku tidak mau ancaman Ayah, yang diucapkan akan mencabut hak warisku dilakukannya. Ayah mengancamku karena geram dengan tingkahku yang tidak serius, dalam belajar mengelola perusahaan yang sudah dibangun Ayah dengan susah payah. Oke, aku akan ikuti kemauan Ayah. Aku masih bisa bermain-main dengan wanita di luar jam kerjaku. *** *Tiga bulan kemudian* Keberadaan Dara yang sudah tiga bulan ini di kantorku, bahkan satu ruangan denganku, membuatku tidak bisa berkutik. Aku sempat protes karena Ayah menempatkan dia di dalam ruanganku, tapi Ayah tetap bersikeras, dan kembali mengancamku. Akhirnya aku terpaksa menuruti keinginan Ayah. Andai Dara secantik, dan seseksi wanita-wanitaku, pasti aku akan betah berada di dalam ruanganku. Tapi Dara ... hhhh, serba mungil, wajahnya juga selalu datar. Dara sedang mengatur jadwalku untuk minggu depan, sedang aku yang merasa kehilangan privacyku sejak dia masuk ke kantorku, tengah mengamatinya. Jujur saja, aku merasa kehadirannya di dalam kantorku yang luas ini, sudah mengekang kebebasanku. Sayangnya, aku tidak bisa mengusirnya, karena Ayah yang berkuasa di sini. Tapi lihat saja, begitu aku punya kesempatan untuk membalas ini semua, aku pasti akan membalasnya. Dia harus membayar apa yang sudah diakibatkan, dari keberadaannya di sini. Tiba-tiba Dara mengangkat ponselnya. "Assalamuallaikum" terdengar suaranya yang lembut, menyapa orang di seberang telponnya. "Apa!?" Dara kulihat terlonjak dari duduknya, wajahnya pias, bibir, dan tubuhnya bergetar. "Ya, aku akan segera ke sana" suaranya tersendat, karena tangis. Air mata kulihat mengalir membasahi pipinya. Dara menghapus air matanya, dia berjalan ke arah mejaku. Aku mengalihkan pandanganku darinya. "Maaf Pak" kudengar suaranya yang lembut itu memanggilku. "Ada apa?" Tanyaku dengan mata menatap tajam wajahnya. Aku membencinya.... Dia sudah membuat aku kehilangan banyak kesenangan. "Saya mau minta ijin pulang cepat." "Kenapa?" "Ibu Saya dibawa ke rumah sakit." "Ya sudah pulanglah, kamu tidak usah masuk sebelum Ibumu sembuh." "Terimakasih Pak, saya permisi, selamat siang." Dara langsung mengambil tas, dan ke luar dari ruangan kantorku. Aku bersorak di dalam hati, karena perawan tua mata-mata Ayahku itu sudah pergi dari ruanganku. Hari ini aku bisa bersenang-senang dengan bebas bersama wanitaku. Daraaaa.... Kudoakan semoga Ibumu tidak lekas sembuh, biar kamu lama ijin tidak masuk kerja, dan aku bisa merasakan kebebasanku kembali. **** ---AUTHOR--- Dara terduduk di kursi rumah sakit. Tubuhnya gemetar, setelah baru saja mendengar dari dokter kalau Ibunya terkena serangan jantung. Ibunya harus segera dioperasi dengan biaya sekitar 150 juta. Dari mana ia bisa mendapatkan uang sebanyak itu. Saldo tabungannya hanya ada 20 juta, kemana ia harus mencari sisanya. Minta tolong pada Kakaknya, Mas Tedi rasanya tidak mungkin. Meski Mas Tedi hidup berkecukupan, tapi itu harta istrinya, warisan dari orang tua istrinya, sedangkan istrinya tidak pernah menganggap Dara, dan Ibunya sebagai bagian dari keluarga. Dara menundukan kepalanya dalam, diputuskan untuk sholat dzuhur dulu, baru kembali memikirkan apa yang harus dilakukan, untuk mencari biaya bagi pengobatan Ibunya. Dara sholat dzuhur di musholla rumah sakit, ia berdoa dengan khusuk usai sholatnya. Ditadahkan kedua telapak tangannya ke atas. Air matanya mengalir deras. "Ya Allah .... Hanya kepada MU hamba meminta. Hanya kepada MU hamba memohon. Tolong panjangkan umur Ibu hamba. Tolong berikan kesembuhan kepada Beliau. Tolong berikan jalan kepada hamba, bagaimana cara hamba untuk mendapatkan biaya untuk pengobatan Ibu hamba. Ya Allah.... Hanya kepada MU hamba meminta.. Hamba mohon berikan hamba jalan ditengah kebuntuan ini. Aamiin ... aamiin ... aamiin ya rabbal alaamiin" Dara mengusapkan kedua tangan kewajah, sembari menghapus air matanya. "Dara" panggilan seseorang mengagetkan Dara, yang baru selesai merapikan pakaian sholatnya. "Ooh ... Pak Juni, Pak Ramli." Dara tidak menyangka akan bertemu kedua orang tua ini, di musholla rumah sakit. "Kenapa kamu di sini? Harusnya kamu ada di kantor sekarang?" Tanya Pak Juni. "Maaf Pak, tadi pagi saya memang ke kantor. Tapi tetangga aaya menelpon, memberitahu kalau Ibu saya masuk rumah sakit, jadi saya ijin ke luar kepada Pak Juan." "Ibumu dirawat di sini? Sakit apa?" Tanya Pak Juni. "Ibu kena serangan jantung, dan harus segera dioperasi" jawab Dara, dengan mata yang kembali berkaca-kaca. "Kapan dioperasinya?" "Belum tahu Pak?" "Belum tahu?" "Tabungan saya tidak cukup untuk biaya operasinya, saya harus mencari pinjaman dulu." "Sebaiknya kita bicara di luar musholla saja, Mas" kata Pak Ramli "Ooh iya, ayo Dara kita ke luar" Pak Juni mengajak Dara ke luar dari musholla. Mereka berdua duduk di koridor rumah sakit, dekat dengan ruang perawatan Ibu Dara. Saat ini Ibu Dara tengah ditemani salah satu tetangga mereka, yang sudah seperti saudara. Pak Ramli meninggalkan mereka, setelah sempat berbicara sejenak dengan Pak Juni. "Dara" "Ya Pak" "Saya akan membantu biaya operasi Ibumu, tapi bisakah Kamu membantu saya juga?" Tanya Pak juni dengan nada suara penuh harap. "Maksud Bapak?" Tanya Dara tidak mengerti. Pak Juni menarik nafas panjang. Ditatap wajah Dara yang murung. Pak Juni bisa melihat kesedihan yang mendalam di mata Dara. Rasanya memang tidak pantas, memberikan bantuan dengan mengharapkan imbalan, dari orang yang tengah kesusahan. Tapi Pak Juni merasa ini adalah jalan terbaik yang harus diambilnya, apapun resikonya, ia harus melakukan ini. Hal ini sudah dipikirkannya sejak beberapa bulan lalu. Tepatnya, saat ia melihat Dara. 10 tahun Dara bekerja diperusahaannya, ia tidak pernah sekalipun memperhatikan Dara. Tapi peristiwa yang terjadi beberapa bulan lalu, saat Pak Juni melihat Dara di sebuah area pemakaman, membuatnya jadi memperhatikan gadis itu setiap hari. "Pak" panggil Dara pelan. Mata Dara, dan mata Pak Juni bertemu. Sekali lagi Pak Juni menarik nafas panjang. "Saya akan membiayai pengobatan Ibumu, tapi saya mohon, jadilah menantu saya" Pak Juni menatap Dara penuh harap. "Maksud Bapak?" "Menikahlah dengan Juan" "Apa?" "Selama Kamu menjadi sekretaris Juan, saya melihat perubahan pada diri Juan. Dia bekerja dengan baik, saya kira kamu mampu merubah Juan menjadi lebih baik. Mungkin ini terlihat egois bagimu, karena saya meminta ini tanpa mempertimbangkan perasaanmu. Tapi saya melihat masa depan Juan ada pada dirimu. Jadi Saya mohon, tolong kabulkan permintaan saya" Pak Juna menatap Dara dengan penuh harap. "Tapi, Pak Juan pasti akan menolak keinginan Bapak ini." "Soal Juan biar menjadi urusan saya, yang penting kamu setuju. Saya mohon dengan sangat, agar kamu bersedia menjadi menantu saya." "Saya harus memikirkan ini dulu." "Baiklah Dara, pikirkanlah. Saya tunggu jawabanmu, dan apapun jawabanmu saya akan menerimanya." Pak Juni menepuk pundak Dara lembut. Pak Ramli datang, lalu keduanya berpamitan kepada Dara. Dara masuk ke ruang perawatan Ibunya. Bu Iin yang menunggui Ibunya pamit pulang. Dara duduk di kursi dekat tempat tidur Ibunya. Digenggamnya jemari Ibunya. Ia memang tidak lahir dari rahim wanita yang dipanggilnya Ibu ini. Karena wanita ini adalah Ibu tirinya. Tapi kasih sayang wanita ini, yang selama hampir 22 tahun menjadi Ibunya, membuat ikatan darah tidak penting bagi mereka. Mereka saling menyayangi, saling mencintai, apa lagi sejak Ayah Dara yang lebih muda 5 tahun dari Ibu tirinya ini, meninggal dalam kecelakaan 15 tahun yang lalu. Ada atau tidak ada Ayahnya, Ibu tirinya ini tetap menyayanginya, tetap mencintainya, tetap menjaganya dengan baik hingga saat ini. Sedang Ibu kandungnya, entahlah. Dara tidak pernah tahu di mana Ibu kandungnya berada. Ibu kandungnya meninggalkan Dara, dan Ayahnya saat Dara berusia 7 tahun. Entah ke mana perginya, sampai sekarang tidak ada kabar berita. Dara sudah melupakan bagaimana wajah Ibu kandungnya, karena semua foto Ibunya, sudah dimusnahkan Ayahnya. "Bu, aku akan melakukan apa saja demi kesehatan Ibu, apa saja asal Ibu sembuh. Aku berharap Ibu bisa mengerti, atas keputusan yang akan ku ambil Bu. Aku menyayangi Ibu, lebih dari rasa sayangku kepada diriku sendiri. Ibu harus sembuh ... harus " Air mata Dara mengalir di pipi. Dara sudah mengambil keputusan, sesaat setelah ia masuk ke ruang perawatan Ibunya tadi. Ia tidak peduli masa depan seperti apa yang akan dimilikinya nanti. Tapi yang pasti, saat ini kesembuhan Ibunya adalah yang paling utama. Itu yang terpenting saat ini baginya. **BERSAMBUNG**
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD