PART. 2 JUAN

1847 Words
**DARA** Pihak rumah sakit menemuiku, yang tengah menunggui Ibuku. Mereka mengatakan Ibuku sudah siap untuk dioperasi, karena semua biaya sudah dibayar. "Sudah dibayar?" "Ya, semua sudah dibayar oleh Bapak Juniarto Sutarman, bahkan Bapak Juni mengatakan, bahwa semua biaya rumah sakit Ibumu, beliau yang akan membayarnya" Aku terdiam beberapa saat. Aku belum memberikan persetujuanku, tapi kenapa beliau sudah membayar semuanya? Tapi sudahlah, karena yang terpenting saat ini adalah kesembuhan Ibu. Akhirnya aku menganggukan kepala. "Baiklah, kapan operasinya dilakukan?" "Operasi akan dilakukan besok pagi" "Ya baiklah, terimakasih" Aku segera menelpon Bu Stella, agar disambungkan langsung pada Pak Juni. "Assalamuallaikum, Pak." "Walaikumsalam, Dara." "Saya ingin mengucapkan terimakasih, karena Bapak sudah membayar semua biaya pengobatan Ibu saya, padahal saya belum memberikan jawaban apapun, kepada Bapak" "Dara, apapun jawabanmu, saya akan tetap membantumu." "Terima kasih, Pak. Saya ingin memberikan jawaban saya sekarang" "Apa sudah kamu pikirkan dengan matang?" "Ya Pak." "Baiklah, apa jawabanmu Dara?" Aku memejamkan mata sesaat, dan menghela nafas sejenak. Aku sudah siap, dengan segala resiko yang harus kuterima nantinya. Jika Pak Juni mantap membantuku tanpa menunggu jawabanku, maka aku harus mantap dengan keputusanku. "Jawaban saya adalah, ya Pak. Saya bersedia menjadi menantu Bapak" "Alhamdulillah." sangat jelas ucapan syukur itu diucapkan dengan penuh kebahagiaan. "Terima kasih Dara, terima kasih. Saya merasa, cahaya hidup saya kembali lagi." "Maaf, Pak jika saya memberikan jawaban ini lewat telpon." "Tidak apa-apa, Dara, tidak apa-apa." "Sekali lagi, saya ucapkan terimakasih Pak, besok Ibu saya akan dioperasi. Saya tutup telponnya ya Pak. Assalamuallaikum" "Walaikumsalam" Ku tarik nafas panjang. "Bismillah semoga niat baik menghasilkan hal yang baik pula. Ya Allah aku pasrahkan kepada MU, aku tunduk atas apa yang sudah menjadi ketentuan MU, aku berharap tidak akan mengecewakan Ibuku, juga Pak Juni. Tuntun aku untuk membahagiakan mereka berdua, ya Allah, aamiin" Aku memejamkan mata, berusaha lebih meyakinkan lagi hati, pada apa yang sudah menjadi pilihanku. Aku sadar sepenuhnya, tidak akan mudah memiliki suami seperti Juan. Juan Daniel Sutarman. Usianya baru 26 tahun, jauh dibawah usiaku. Pria tampan, dan kaya, meskipun itu kekayaan orang tuanya. Tapi aku sangsi, kalau Juan akan bersedia menerima pernikahan ini. Karena aku tahu benar, jika Juan sangat membenciku, karena Ia kerap mengatakan hal itu tepat di depan wajahku. Baginya aku adalah penghalang, untuk menikmati kesenangannya. Aku adalah mata-mata Ayahnya, yang akan melaporkan apa saja yang dilakukannya saat jam kerja. Aku sadar sepenuhnya, kenapa Pak Juni menempatkan aku di kantor anaknya. Karena Beliau tahu benar, kalau Juan tidak akan pernah tertarik secara fisik kepadaku. Tapi kenapa Beliau akhirnya memintaku menjadi menantunya? Meski Beliau sudah pernah menjawabnya, tapi bagiku itu bukan jawaban sebenarnya. Semuanya masih jadi rahasia bagiku, dan aku berharap waktu yang akan menjawabnya. Begitu pula dengan keputusanku, yang entah salah atau benar, biar waktu yang akan mejawabnya. Aku cukup menyiapkan mentalku saja, untuk menikah dengan pria Don Juan seperti Juan Daniel Sutarman. **JUAN** "Apa? Apa yang Ayah katakan? Aku harus menikah dengan perawan tua itu? Tidak Ayah, aku menolak rencana gila ini!" Aku berdiri dengan rasa marah, setelah mendengar permintaan Ayahku. Bukan ... bukan permintaan, tapi tepatnya perintah. "Terserah padamu Juan, jika kamu masih ingin menikmati semua fasilitas yang kamu miliki sekarang, maka menikahlah dengan Dara. Jika tidak, maka aku akan menghapus namamu dari penerima warisanku. Kamu tahukan, aku tidak pernah main-main dengan ancamanku," sahut Ayahku dengan santainya. Ayahku berdiri dari duduknya. "Pikirkanlah, waktumu satu minggu untuk memikirkannya, Juan" Ayah menepuk bahuku pelan, setelahnya Beliau ke luar dari ruang kerjanya, meninggalkan aku yang berdiri dengan termangu. Lalu kuhempaskan pantatku di atas sofa. Wajah Dara berkelebat dalam benakku. 'Aku membencimu Dara' itu kalimat yang sering kuucapkan tepat di depan wajahnya. Dia sudah menghalangi kesenanganku. Dia mata-mata Ayahku. Dia Hhhhh .... Apa istimewanya perawan tua itu? Kenapa Ayah bisa tersihir olehnya? Cantik? Jawabnya tidak! Seksi? Sangat jauh dari kata seksi. Kulitnya memang putih, tapi tubuhnya kecil. Tingginya hanya sedadaku. Dadanya ... hmmm, dadanya tidak pernah terlihat dengan jelas, karena terlindung oleh blus, dan blazer longgar yang selalu dipakainya. Pahanya ... juga tidak pernah terlihat jelas, karena rok panjang yang menjadi bawahannya setiap hari. Pantatnya ... hmmm, selalu terlindung oleh blazernya, yang panjangnya selalu di bawah pantatnya. Jadi dimana menariknya? Aku akui Dara pintar, tapi apa otaknya yang pintar akan membuatnya menjadi wanita yang hebat saat bercinta. Karena aku suka wanita yang tidak hanya pintar otaknya, tapi juga hebat di atas ranjang. Tapi jika menolak semua ini, apa aku siap kehilangan segalanya. Kehilangan jabatan, dan kemewahan ini, sama artinya dengan kehilangan segalanya. Aku tahu betul para wanitaku pasti akan meninggalkan aku, jika sku tidak punya apa-apa, karena bagi mereka ketampanan tanpa uang, apalah artinya. Tidak ada uang, maka tidak akan ada kesenangan. Huuuhhh! Kuhempaskan nafas, untuk mengusir rasa marah yang menyesaki dadaku. Hmmm ... kalau aku menerima perintah ini, mungkin artinya Dara tidak akan bekerja di kantorku lagi, Aku bisa kembali bebas tanpanya. Baiklah, akan aku pikirkan untung ruginya bagiku. Akan kubuat perawan tua itu membayar, apa yang sudah Ia akibatkan dalam hidupku. Kupikir, jika Ayah memilihnya untuk menjadi menantu Ayah, itu artinya dia memiliki sesuatu yang istimewa di mata Ayah. Aku yakin Ayah pasti mau menuruti semua keinginan Dara. Dengan kelembutan, dan kerapuhannya, aku juga yakin akan bisa menyetir Dara. Jika Dara ada di bawah kehendakku, maka itu artinya Ayah juga akan bisa aku atasi lewat Dara. Yapp.... Banyak keuntungan yang akan kudapat dari pernikahan ini. Jadi tidak ada salahnya menerima pernikahan ini, tapi dengan satu syarat. Pernikahan ini harus dirahasiakan. Aku tidak mau jadi bahan olok-olok temanku, karena menikahi seorang perawan tua, yang tadinya hanya bekerja sebagai staff di kantor Ayahku. Seorang Don Juan, bernama Juan Daniel Sutarman, menikahi seorang perawan tua bernama Dara Ayudia yang lebih tua 6 tahun. Haaahhh! Apa kata dunia? Tapi karena pernikahan ini akan memberiku keuntungan, tidak salahnya aku terima. Itulah keputusanku. Dan akan segera aku sampaikan kepada Ayahku. ***AUTHOR*** sebulan setelah Ibunya dioperasi Dara, dan Juan menikah. Pernikahan dilakukan di rumah Pak Juni, usai sholat Isya. Hanya ada Bu Tari, Ibunya Dara, dan Pak Juni, Ayah Juan, serta Pak Ramli, dan Pak Rt yang menjadi saksi, selain orang dari KUA setempat. Juan melapalkan akad nikah, hanya sekali dalam satu tarikan nafasnya. Bu Tari, dan Pak Juni tidak bisa menahan air mata mereka. Sementara Dara terlihat sangat tenang, tanpa ada reaksi berlebihan. Juan berusaha meneliti wajah Dara, ingin tahu apa yang tersirat di sana. Tapi ia tidak bisa menemukan apapun, dari wajah, dan mata Dara. Bu Tari, dan Dara langsung diminta tinggal di rumah besar milik Pak Juni. Bu Tari mendapat kamar di lantai bawah, sedangkan Dara di lantai atas, satu kamar dengan Juan suaminya. Setelah Ibunya tidur, baru Dara naik ke kamarnya. Dengan tenang Dara duduk di depan cermin, untuk menghapus riasan tipis di wajahnya. Ia melepas hijab, serta pakaian akad nikah, yang berupa gamis berwarna putih, dengan bordiran benang emas di beberapa bagiannya. Dara sudah selesai mengganti pakaian, dengan baju tidur berupa satu stel piyama, dengan atasan berlengan panjang, dan celana panjang. Hatinya sangat yakin, jika Juan tidak akan berminat untuk menyentuhnya. Karena ia juga yakin, tujuan Juan untuk menerima pernikahan ini, bukan karena Juan menyukainya, ataupun karena Juan menyayangi Ayahnya. Dara sangat yakin, tujuan Juan untuk menerima pernikahan ini, pasti untuk kepentingan dirinya sendiri. Baru saja Dara merebahkan tubuhnya di atas ranjang, ketika pintu terbuka. Juan masuk ke dalam kamar, dan langsung membuka laci mejanya. "Tanda tangani ini" Juan mengacungkan map berwarna merah, tepat di depan wajah Dara yang berbaring telentang. Dara bangun, dan tanpa bertanya apapun ia mengambil, dan membuka map itu, dan membaca isinya. Surat perjanjian yang inti dari isinya adalah, mereka tidak boleh mencampuri urusan masing-masing. Surat perjanjian itu sudah ditanda tangani Juan. Tanpa bersuara, Dara turun dari atas ranjang lalu membuka tasnya yang besar. Dikeluarkan map berwarna hijau dari dalam tasnya. "Tanda tangani juga ini" Dara mengacungkan map itu di depan wajah Juan. Kening Juan berkerut dalam, tapi diambilnya juga map yang diacungkan Dara dengan gerakan sedikit kasar. Juan membuka map itu, dan mulai membaca isinya. Surat perjanjian yang menyebutkan, kalau Juan harus bisa bersikap profesional saat jam kerja, dan tidak berusaha menyakiti Ayahnya, juga Ibu Dara dengan sikap buruknya. "Bagaimana? Adilkan? Kamu bisa mendapatkan kesenanganmu di luar jam kerja, tapi disaat jam kerja kamu harus fokus pada pekerjaanmu. Aku tidak akan mencampuri urusanmu, selama itu tidak mengganggu pekerjaanmu" kata Dara dengan nada suara datar saja. "Jadi ini tujuan Ayah menikahkan aku dengan perawan tua sepertimu. Tidak aku sangka, ternyata Ayah lebih menyayangi perusahaannya, dari pada Anak tunggalnya sendiri" seru Juan sinis, dilemparkan surat perjanjian di tangannya begitu saja. Dara tersenyum, dipungutnya surat perjanjian itu dari lantai. "Bercerminlah Tuan Juan Daniel ... apakah kamu sendiri lebih menyayangi Ayahmu, ketimbang kesenanganmu akan hura-hura. Pikirkanlah, jika perusahaan Ayahmu bangkrut, apa iamu masih bisa bersenang-senang? Apa wanita-wanitamu masih akan bersamamu, saat kamu tidak lagi kaya? Jadi apa yang diinginkan Ayahmu, itu sangat memberikan keuntungan yang besar bagi dirimu sendiri" jawab Dara dengan suara tetap tenang. "Wooww! Pantas saja Ayah menyukaimu, karena kamu ternyata pintar bicara. Hmmm ... mungkin kamu bisa mempengaruhi Ayahku, Dara, tapi kamu tidak akan bisa mempengaruhiku" seru Juan dengan gusar. "Aku tidak pernah mempengaruhi Ayahmu Tuan Juan Daniel, dan aku juga tidak berminat untuk mempengaruhimu. Aku bersedia menikah denganmu, karena aku tidak tega dengan tatapan penuh permohonan dari Ayahmu. Aku kasihan dengan Beliau, karena hanya memiliki satu orang putra, yang sama sekali tidak bisa diandalkan!" sahut Dara tajam membuat amarah Juan semakin membesar. "Kau!" Juan mengangkat tangannya, ingin melayangkan tamparan ke wajah Dara. "Kamu ingin menamparku Tuan Juan? Aku mungkin terlihat sebagai wanita lemah di matamu, tapi aku bukan wanita lemah, yang hanya akan diam saat orang lain mengusik diriku. Camkan itu Tuan Juan Daniel! Jadi jika iamu ingin aku menandatangani perjanjian yang kamu buat, tandatangani juga surat perjanjian yang aku buat. Cukup adil'kan?" Dara mendongakan wajah, untuk menantang tatapan mata Juan yang sarat akan kemarahan. Juan tidak menyangka, jika Dara akan seberani ini menantangnya. Dalam pikirannya, Dara akan selalu tunduk pada kemauannya. Tapi ternyata .... Juan menggeram marah, giginya bergemerutuk. Seumur hidup belum, pernah ada wanita yang bersikap menantangnya seperti Dara. "Hmmm ... bagaimana Tuan Juan? Jika kamu tidak mau tidak apa-apa. Aku bisa adukan kepada Ayahmu, kalau kamu tidak punya niat yang serius untuk mengelola perusahaannya, maka Ayahmu akan ...." Juan merebut surat perjanjian di tangan Dara, lalu membawa ke meja kerjanya, ditanda tangani surat itu tanpa banyak bicara. Tapi hatinya menggeram marah, dengan makian, dan umpatan yang ditujukan kepada Dara. Dengan santai Dara juga mengambil surat perjanjian milik Juan, dan menandatanganinya tanpa bersuara. Dara bersyukur, langkah awalnya sukses dijalankan. Dara berharap, langkah-langkah selanjutnya juga akan bisa terlaksana. "Ingat Dara, jangan urusi hidupku diluar jam kerja!" "Oke, selama kehidupan pribadimu tidak berdampak pada pekerjaanmu di kantor, aku tidak akan ambil peduli, Tuan Juan" sahut Dara tenang. Dara menyimpan surat perjanjian miliknya, di bawah bantal yang akan ditidurinya. "Kenapa kamu menyimpannya di bawah bantal? Kamu takut aku akan menghancurkannya eeh?" Tanya Juan sinis. "Maaf Tuan Juan, tapi aku belum bisa mempercayaimu untuk saat ini, karena kupikir otakmu masih sangat labil, selamat malam, Tuan Juan. Aku tidur duluan" Dara menarik selimut, dan memejamkan matanya, Juan menatapnya dengan gigi bergemerutuk menahan marah.. 'Awass kau perawan tua! Tunggu saja pembalasanku!' *** BERSAMBUNG***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD