PART. 3 VERSUS

2128 Words
***JUAN*** Aku meninggalkan kamar, setelah melihat Dara memejamkan matanya. Gigiku bergemerutuk menahan amarah, karena merasa sudah dikalahkan Dara. Sabaarr... Juan. Sabaarr... batinku sambil mengelus dada yang terasa panas. Harus sabar, yang penting aku masih tetap bisa menikmati kesenanganku. Aku memutuskan untuk datang, ke club tempatku biasa berkumpul dengan teman-temanku. "Juan! Aku kira tidak datang," seorang wanita menyongsongku dengan wajah bahagia. "Tentu saja aku datang, Meta" sahutku, seraya meraih pinggang wanita itu. Ku daratkan kecupan sekilas di pipi Meta. Meta sudah menjadi teman kencanku sejak beberapa minggu ini. Dia adalah seorang model majalah pria dewasa. "Apartemenku, atau apartemenmu untuk malam ini?" Tanya Meta dengan kerling mata nakal menggoda. "Apartemenmu saja," sahutku. Kenapa Meta bertanya seperti itu? Karena aku memang memiliki apartemen, tempatku sering membawa teman kencanku, karena aku tidak suka berkencan dihotel. "Pergi sekarang, atau ingin bertemu teman-temanmu dulu?" Tanya Meta lagi. Aku menatap jam di pergelangan tanganku. "Pergi sekarang saja, ini sudah larut, aku harus bekerja besok." "Harusnya kamu tidak perlu bekerja seperti itu, Juan. Perusahaan itu akan jadi milikmu nanti." Meta bergelayut mesra di lenganku. "Kalau aku tidak belajar mengelolanya dari sekarang, Ayahku takut nanti perusahaan akan bangkrut di tanganku. Kalau aku bangkrut, apa kalian masih mau mendekatiku, pasti kalian akan pergi meninggalkan aku," sahutku. Meta menghentikan langkahnya, matanya menyipit saat menatap ke arah wajahku. "Ada apa?" Tanyaku heran. "Kalimatmu barusan, seperti ke luar bukan dari mulutmu, Juan." "Heeh ...." kali ini ganti aku yang mengernyitkan keningku, dan berusaha mengingat ucapanku. 'Sialan! Itu kalimatnya si perawan tua itu! Kenapa kalimat yang diucapkannya bisa meluncur dari mulutku?' Aku jadi semakin geram terhadap Dara. Dengan mobilku, kami menuju apartemen Meta. Kami langsung masuk ke dalam kamar tidur Meta. Meta pamit ke kamar mandi sebentar. Sementara aku ingin melepaskan pakaianku, tanpa sengaja aku menatap ke atas ranjang Meta. Aku terjengkit mundur dari posisiku, saat mataku seperti melihat Dara tengah berbaring di sana. Aku menggelengkan kepala, dan memejamkan mata sesaat, untuk mengusir bayangan Dara dari mataku. "Gilaaa! Si perawan tua itu mulai menjajah kesenanganku dengan bayangannya!" Aku mendesis dengan perasaan sangat geram. Meta ke luar dari kamar mandi dengan wajah murung. "Juan." "Hmmm ...." "Sepertinya malam ini kita tidak bisa melanjutkan rencana kita". "Kenapa?" Aku mengernyitkan kening, dan menatap Meta dengan penuh tanya. "Aku datang bulan, maafkan ya." Meta melingkarkan lengannya di leherku Dikecupnya bibirku sekilas. "Tapi aku bisa menyenangkanmu dengan cara lain," rayu Meta, sambil meraih kepala gesper di pinggangku. "Tidak Meta, kurasa moodku sudah hilang untuk malam ini." Aku berusaha melepaskan tangan Meta yang ingin melepaskan gesperku. "Ayolah, Juan, jangan merajuk seperti ini." Meta mengusap dadaku yang terbuka, karena aku tadi sempat membuka kancing kemejaku. "Jangan memaksa, Meta, aku benar-benar sudah kehilangan moodku karena ...." aku hampir saja mengatakan, kalau aku kehilangan mood, karena baru saja melihat bayangan Dara di atas tempat tidur Meta. "Karena apa?" "Lupakan saja, aku ingin pergi sekarang," aku merapikan lagi kemejaku. "Juan!" seru Meta saat aku berjalan, ke luar dari kamar meninggalkan Meta. "Aku pulang Meta, sampai bertemu lagi," pamitku, membuat wajah Meta semakin murung, mungkin dia merasa aneh dengan sikapku. Saat melewati ruang tamu Meta, aku tertegun sesaat, karena aku kembali melihat Dara duduk di atas sofa, dengan kedua tangan bersedekap di dada, dan senyum serta pancaran mata seperti mengejek ke arahku. "Ada apa?" Tanya Meta, sambil mengikuti arah pandanganku. Aku menggelengkan kepala, tapi aku mengumpat Dara habis-habisan, di dalam hatiku. Baru sesaat menikah, tapi Dara sudah mengikuti kemanapun aku melangkah, meski hanya berupa bayangannya saja. 'Huuhhh! Perawan tua itu mungkin sudah memakai ilmu guna-guna, sehingga aku selalu melihat bayangannya. Gerutuku dalam hati.' "Juan!" "Oh, aku pulang, selamat malam." Aku ke luar dari apartemen Meta, dengan rasa marah yang semakin besar kepada Dara. Aku tidak ingin segera pulang, tapi juga malas untuk kembali ke club tempatku bertemu Meta tadi. Akhirnya aku memilih untuk berputar-putar saja mengelilingi kota, untuk menghilangkan rasa suntuk di dalam pikiranku akibat dari si perawan tua itu. *** ***DARA*** Ku tatap jam di dinding, jam 2 dinihari, dan Juan belum pulang juga. Apa seperti ini dia setiap hari, belum pulang ke rumah disaat dini hari seperti ini. Apa yang dilakukannya di luar sana?. Apakah ia berpindah dari satu ranjang wanita, ke ranjang wanita lainnya? Ataukah bersenang-senang dengan menghamburkan penghasilannya? 'Hhhh .... Bisakah aku merubahnya seperti yang diinginkan Ayahnya. Entahlah .... Tapi aku akan berusaha semampu aku bisa, sisanya biar Allah yang menunjukan kuasa NYA.' Aku bangun, lalu masuk ke dalam kamar mandi untuk mengambil air wudhu. Ingin kupasrahkan seluruh hidupku pada yang Maha Kuasa. Baik, atau buruknya keputusanku, untuk menerima pernikahan ini, biarlah waktu yang menjawabnya. Baru saja aku melipat mukena, dan sajadahku ketika pintu kamar terbuka. Aku pikir Juan akan pulang dalam keadaan mabuk, dan pakaian berantakan. Tapi ternyata tidak. Dia tidak mabuk. Pakaiannya juga masih rapi. "Kenapa menatapku seperti itu eh, baru sadar kalau aku ganteng?" Tanyanya dengan suara, dan tatapan sama sinis. Aku tersenyum mendengar pertanyaannya. "Hmmm ... percaya dirimu sangat tinggi ternyata," sahutku. "Tentu saja aku sangat percaya diri. Aku sempurna, gagah, ganteng, kaya, pintar. Itu yang diidamkan semua wanita di dunia ini dari seorang pria" katanya dengan nada bangga, sembari membusungkan dadanya. "Ya mungkin kamu sempurna bagi sebagian wanita, tapi tidak semua wanita hanya melihat pria dari apa yang kamu sebutkan tadi," sahutku sambil menyisir rambutku di depan cermin. "Apa maksudmu, eh? Lagi pula wanita yang kamu maksud pasti dirimu sendiri. Wanita aneh yang karena seleranya terhadap pria tidak seperti wanita lain, akhirnya jadi perawan tua," sindirnya dengan suara sangat sinis. Jujur, ada rasa sakit menikam hatiku saat ia menghinaku seperti itu. Tapi aku harus kuat, tidak boleh lemah, dan kalah di hadapannya, kalau aku ingin rencanaku berhasil. "Jujur saja, sebenarnya aku lebih suka melihat pria dari akhlaknya, bukan tampang, dan hartanya. Sayangnya, Allah memberikan aku jodoh sepertimu, yah mungkin ini cobaan yang harus aku hadapi, karena memiliki suami yang sebenarnya belum pantas disebut suami. Kamu tahu kenapa? Karena Kamu belum bisa menunjukan tanggung jawabmu, sebagai seorang anak, sebagai seorang pria, dan pastinya juga sebagai suami," sahutku panjang lebar. Aku bisa melihat rahangnya mengeras, dan kedua telapak tangannya terkepal di kedua sisi tubuhnya. "Jangan menghinaku Dara!" "Kalau tidak ingin dihina, jangan menghina orang lebih dulu, Tuan Juan!" "Owhhh ... jadi kamu merasa terhina, aku sebut sebagai perawan tua?" "Kamu berpikir, aku jadi perawan tua karena aku tidak laku eh. Kamu salah Juan, aku tidak punya waktu untuk memikirkan diriku sendiri, karena aku harus bekerja keras, untuk memikirkan kesembuhan Ibuku. Sedangkan kamu sendiri, punya banyak kesempatan untuk segera menikah, kenapa harus menunggu dijodohkan dulu baru menikah? Takut dengan pernikahan, atau tidak sanggup mengemban tanggung jawab?" Kubalas tatapan matanya yang penuh dengan kebencian. "Kenapa jamu harus hadir dalam hidupku" desisnya, dengan kemarahan yang sepertinya sudah mencapai puncak kepalanya. "Karena aku ada di sini untuk merubahmu, seperti yang diinginkan Ayahmu, Juan" sahutku. Sungguh aku sebenarnya sudah takut, saat melihat Juan menggerutukan gigi, dan mengepalkan tangannya tadi. Tapi Aku harus kuat ... harus. "Aku tidak akan berubah demi orang lain, tidak juga demi Ayahku, apa lagi demi kamu, Dara! Kamu harus tahu, aku membencimu!" "Tidak perlu kamu katakan, Juan. Aku bisa melihat kebencian itu dari matamu, aku ingin mengingatkanmu, kalau benci, dan cinta itu bedanya hanya sekulit bawang. Hati-hati saja, rasa bencimu itu akan berubah jadi benar-benar Cinta," sahutku sembari membaringkan tubuhku di atas ranjang. "Kau! Aku jatuh cinta kepadamu? Tidak mungkin! Mustahil!" Juan berseru dengan suara cukup nyaring. "Ssshhtt ... pelankan suaramu, Juan. Aku mengantuk. Aku ingatkan satu hal kepadamu, tidak ada yang tidak mungkin, apa lagi mustahil, jika yang di Atas sudah berkehendak, selamat tidur," kutarik selimut menutupi tubuh, sebelum kupejamkan mata. Samar Aku mendengar gemerutuk gigi Juan. 'Ini baru awalnya Juan, baru awalnya .... Ya Allah .... Aku mohon mudahkan segalanya bagiku. Aku mohon jangan tumbuhkan rasa cintaku kepadanya, agar mudah bagiku untuk membuatnya berubah aamiin.' *** ***AUTHOR*** "Juan bangun, subuh" Dara menggoyangkan bahu Juan, dengan cukup keras. "Apa sih!" "Bangun subuh." "Masih subuhkan? Belum pagikan? Jam kerja itu dimulai jam 8 kan? sana jangan ganggu aku. Aku masih mengantuk!" Juan mengibaskan tangannya kepada Dara. "Kamu belum tahu sepertinya, peraturan baru yang dibuat Ayahmu." "Peraturan apa?" "Mulai hari ini, kita akan sholat berjamaah di musholla rumah ini." "Apa?" "Itu keharusan!" "Apa?" "Cepatlah bangun, kalau kamu tidak mau Ayah marah!" "Ini pasti idemu'kan, Dara? Karena selama aku tinggal di rumah ini, baru kali ini aku mendengar ada musholla di rumah ini!" Juan bangun dengan perasaan marah kepada Dara. "Ya, ini memang ideku." "Apa maksudmu dengan semua ini eh, ingin merubah seisi rumah ini sesuai dengan keinginanmu?" Juan berdiri di hadapan Dara, dengan kedua tangannya berada di pinggang. "Memangnya kenapa? Mengajak orang berbuat baik itu dapat pahala, Juan." Dara mendongakan wajahnya menantang tatapan Juan. "Sshhh ... aku tidak habis mengerti, bagaimana Ayah bisa tunduk kepadamu?" Desis Juan dengan nada gusar. "Kamu salah, Juan. Beliau tidak tunduk kepadaku, tapi Ayah ingin memperbaiki diri, atas kesadaran beliau sendiri. Beliau mulai menyadari, kalau kehidupan didunia ini hanya sementara, dan beliau juga sekarang sadar, kalau harta tidak akan bisa melindungi kita dari api neraka, jika kita tidak menjalankan apa yang menjadi perintah Sang Maha Kuasa," jawab Dara dengan suara sangat tenang. "Hhhh ... aku tidak akan mau menurutimu. Aku masih muda, belum akan mati sekarang, masih cukup banyak waktu untuk bertobat!" Juan berbaring lagi di atas ranjang. "Terserah padamu, tapi kamu harus ingat, usia manusia adalah rahasia Allah, bisa sajakan saat kamu tidur lagi, Malaikat maut datang menjemputmu, iya kan?" Sahut Dara santai. Dara menjauhi Juan untuk ke luar dari dalam kamar tidur mereka. "Heyy Dara, tunggu! Di mana mushollanya?" Tanya Juan cepat, setelah kembali bangkit dari berbaringnya. "Di lantai bawah, Tuan Juan, cepatlah kalau iamu ingin ikut sholat bersama kami. Oh ya, kamu tahu cara berwudhu kan?" "Ajari aku!" sahut Juan dengan suara bernada kesal. "Ooh ... oke," Dara masuk ke dalam kamar mandi dengan diikuti oleh Juan. Dara mengajari Juan cara berwudhu. Setelahnya mereka berdua menuju musholla, yang tadinya adalah ruang tidur yang diperutukan bagi tamu, atau keluarga yang ingin menginap. Senyum bahagia, dan mata Pak Juni yang berkaca-kaca, menyambut kedatangan mereka berdua. "Terimakasih, Dara" bisik beliau kepada Dara. Dara hanya menjawab dengan anggukan kepala, dan senyum di bibirnya. Selain mereka bertiga, ikut berjamaah juga Ibunya Dara, dan tiga orang asisten rumah tangga mereka. Pak Dono, supir Pak Juni yang jadi Imam sholat mereka. Setelah sholat subuh, Juan kembali ke kamar tidur mereka, untuk melanjutkan tidurnya. Sementara Dara, dan Ibunya ingin membantu Bibik di dapur. "Dara" panggil Pak Juni di ambang pintu dapur. "Ya Ayah" Dara mendekati Pak Juni. "Ayah ingin Kamu tetap ke kantor, dan bekerja di kantor Juan, karena hanya kamu yang bisa membuatnya serius bekerja. Kamu tidak keberatan'kan, Dara?" "Tentu saja tidak Ayah, lagi pula kalau aku tidak ke kantor, aku pasti bingung mau menghabiskan hari dengan berbuat apa." "Terimakasih Dara." "Tidak usah berterimakasih, Ayah, membuat Ayah bahagia sudah menjadi kewajibanku." Mata tua Pak Juni kembali berkaca-kaca. Andai Juan yang mengatakan itu. Andai Juan bisa bersikap seperti Dara. 'Hhhh ... semua adalah salahku, karena dulu terlalu memanjakanya, selalu menuruti semua kemauannya.' Batin Pak Juni penuh penyesalan. -- Dara masuk ke dalam kamar tidur, dan dilihatnya Juan belum bangun dari tidurnya. "Juan, bangun!" Dara menggoyangkan lengan besar, dan berbulu milik Juan dengan keras. "Juan bangun, kamu harus ke kantor!" Dara lebih keras lagi menggoyangkan lengan Juan. Tanpa diduga oleh Dara, Juan menarik tangannya, sampai tubuh Dara jatuh menimpa Juan. "Meta ...." gumam Juan tanpa membuka matanya. Dara berusaha melepaskan lengan Juan, yang merengkuh, dan mengunci tubuhnya dalam dekapan kedua tangannya. "Juan! Lepaskan ... ihhh!" Dara menggigit dagu Juan, karena Juan semakin mempererat pelukannya. "Awww! Apa yang kamu lakukan Dara!" Juan melepaskan tubuh Dara, sehingga Dara bisa langsung turun dari atas tubuh Juan. "Bangun, kamu harus mandi, dan segera ke kantor, Tuan Juan!" sahut Dara dengan nada tinggi. "Aku bertanya, apa yang kamu lakukan di atas tubuhku? Apa kamu ingin merasakan aku cium eh?" "Sembarangan! Jangan asal bicara, sekarang cepatlah mandi, dan berhenti bicara omong kosong!" seru Dara dengan sengit. "Kamu tidak perlu malu, kalau ingin merasakan ciumanku, Dara. Aku sangat lihai dalam berciuman, kamu tidak akan me ...." "Stop! Berhenti bicara tidak jelas, Tuan Juan. Cepatlah mandi, kalau K kamu tidak ingin terlambat ke kantor!" Dara menjauhi Juan, dan membuka lemari pakaian untuk mengambilkan pakaian Juan. Juan bangun dari rebahnya, dan berjalan mendekati Dara. Tanpa diduga oleh Dara, Juan menarik pinggangnya, dan bibir Juan langsung menguasai bibir Dara. Dara meronta sekuat tenaga, tangannya memukuli lengan Juan yang memeluknya. Juan melepaskan ciumannya. "Enak juga ternyata bibir perawan tua," kata Juan sinis. Plaaakkk! Tamparan keras menerpa pipi Juan. Juan mengusap pipinya, yang baru sekali ini menerima tamparan dari seorang wanita. "Cukup Tuan Juan!" "Kenapa? Kamu memang perawan tua kan?" Ucapan Juan sangat jelas sebagai sebuah ejekan di telinga Dara. "Terserah apa katamu!" Dara kembali membuka lemari pakaian, untuk mengambil pakaiannya sendiri. Diputuskan untuk mandi di kamar Ibunya, ia tidak ingin hatinya semakin terbakar emosi, karena sikap Juan yang keterlaluan. ***BERSAMBUNG***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD