Suasana rumah sedang sepi saat Ethan baru saja pulang bekerja di mana waktu sudah menunjukkan pukul 8 malam. Kedua orang tuanya menghadiri pesta pernikahan anak dari teman mereka, dan Kris sepertinya belum pulang melihat tidak ada mobilnya di garasi.
Ethan berjalan menuju kamarnya sampai tiba-tiba ia mendengar suara aneh yang mengusik telinga saat melewati kamar Kris. Ia yakin Kris belum pulang, tapi kenapa terdengar desahan dari kamar adiknya? Merasa penasaran, Ethan mengintip lewat celah pintu yang terbuka dan begitu terkejut dengan apa yang dilihatnya.
Ethan menelan ludah, sebagai seorang pria, pemandangan dan suara desah ini berhasil menggelitik hasratnya.
Ethan membuka mata saat bayangan kejadian malam itu terlintas dalam kepala. Saat ini ia telah duduk di kursi direkturnya, dan tak bisa berhenti memikirkan Renata. Sejak kejadian malam itu, ia kerap kali memimpikan Renata dan tak bisa menahan keinginannya untuk menyentuhnya. Apalagi ia tahu apa yang Kris sembunyikan di belakangnya, membuatnya merasa kasihan pada Renata.
Di tempat Renata sendiri, ia baru saja selesai bicara dengan klien yang akan memesan gaun pernikahan dan saat ini ia berada di lantai 2 toko butiknya, di ruangan yang menjadi tempat kerjanya sementara lantai 1 khusus pakaian dan gaun-gaun yang dijualnya. Secara kebetulan asistennya lewat saat ia dihadapkan pada dua pilihan sulit yang Ethan berikan. Ia pun memilih ke butik bersama asistennya itu dan mengenai mobilnya, ia sudah menghubungi bengkel untuk memperbaikinya.
“Istirahat dulu Mbak Rena,” ucap Silvi, asisten Renata. “Mbak baru mengalami kecelakaan, bisa-bisanya Mbak masih mikirin pekerjaan dan klien.”
Renata hanya tersenyum. “Aku baik-baik saja. Lihat, tidak ada yang luka,” ucapnya sebelum akhirnya duduk di kursi singgasananya. Ia lalu mengambil kertas sketsa dan berniat menyelesaikan sketsanya yang hampir selesai.
Silvi menggeleng pelan. Atasannya itu memang keras kepala kalau sudah menyangkut pekerjaan. Tak ingin mengganggu, ia pun mengerjakan pekerjaannya.
Sore harinya, Renata pulang diantar Silvi. Mobilnya di bengkel belum selesai diperbaiki. Pemilik bengkel bilang mungkin dibutuhkan waktu beberapa hari sebab body depannya penyok cukup parah.
“Makasih, Sil,” ucap Renata setelah turun dari mobil asistennya itu.
“Siap, Mbak. Kalau ada apa-apa, hubungi aku saja. Aku pulang, ya,” balas Silvi kemudian memutar kemudi dan meninggalkan kediaman orang tua Kris.
Setelah mobil Silvi tak terlihat, Renata segera memasuki rumah yang ternyata sepi. Untungnya ia punya kunci cadangan yang membuatnya bisa masuk ke dalam rumah.
“Ayah dan ibu pasti di toko,” batin Renata melihat tak ada siapapun. Kedua mertuanya memiliki toko kelontong juga toko bangunan yang membuat mereka kerap kali tak berada di rumah. Sesekali mereka mengunjungi tempat usaha yang dibangun dari uang Ethan.
Renata melihat jam tangannya dan berpikir masih ada waktu untuk memasak sebelum Kris pulang. Setelah meletakkan tasnya ke kamar, ia pun ke dapur untuk memasak makan malam. Sebenarnya sejak awal, ia sudah meminta Kris tinggal di rumah mereka sendiri tapi Kris menolak. Kris beralasan, ia bisa saja beberapa hari tidak pulang jika ada proyek di tempat yang jauh, dan tak ingin dirinya sendirian di rumah.
Di luar, sebuah mobil berhenti di garasi. Ethan pun segera turun dan masuk ke dalam rumah.
Tiba-tiba Ethan mencium aroma masakan saat ia baru saja menutup pintu. Aroma itu pun menuntunnya ke dapur dan menemukan Renata tengah memasak sambil sesekali bersenandung.
Ethan tersenyum tipis. Ia lalu bersandar pada kusen pintu dapur tanpa berhenti menatap Renata.
Senandung kecil Renata terhenti saat ponsel dalam saku celemeknya berbunyi. Ia sengaja menyimpan ponselnya di sana karena setelah selesai memasak, ingin segera menelpon sang suami dan menunjukkan hasil masakannya.
“Halo, ada apa, Bu?”
“Halo, Re, kau sudah di rumah?”
“Iya.”
“Ibu cuma mau bilang, ibu dan ayah tidak pulang malam ini. Ayah dan ibu harus mengurus sesuatu di toko. Terjadi sedikit masalah.”
“Ah, ya, baiklah.”
Renata mengakhiri panggilan setelah selesai bicara dengan ibu mertuanya. Kadang ia heran, padahal mertuanya tinggal mempercayakan usaha mereka pada orang dan mereka bisa bersantai di rumah. Tapi sepertinya kedua mertuanya tak bisa sepenuhnya mempercayakan usaha mereka pada orang lain.
Renata memasukkan ponselnya kembali. Namun, tiba-tiba ponselnya kembali berdering. Mematikan kompor dan mengambil lagi ponselnya, wajahnya berseri melihat nomor Kris yang tertera pada layar.
“Halo. Kau sudah mau pulang, Kris?”
“Ah, tidak, Re. Sepertinya aku pulang malam. Kepala proyek mengajakku makan malam bersama yang lainnya. Tidak apa-apa, kan?”
Wajah cerah Renata seketika lenyap. Ia menatap nanar masakannya yang masih di atas kompor di penggorengan.
“Ya … tidak apa-apa,” jawab Renata seperti tak berdaya.
“Syukurlah. Sekali lagi maaf, ya, Re.”
Renata mengakhiri panggilan, tubuhnya terasa lemas dan tak terasa, air mata menetes membasahi pipinya.
Tidak apa-apa, selalu itu yang Kris tanyakan dan dijawab dengan kata yang sama olehnya. Tapi sebenarnya, ia merasakan sakit. Namun, rasa cintanya yang begitu besar pada Kris membuatnya melemahkan rasa sakit itu dengan percaya bahwa suatu saat Kris akan berubah.
Terlalu tenggelam dalam perasaannya, Renata sampai tak sadar saat Ethan berjalan menghampirinya dan berdiri tepat di belakangnya.
“Sangat lezat.”
Deg!
Mata Renata melebar. Ia segera menoleh dan terkejut menemukan Ethan.
“Kau, sejak kapan kau di sini?!”
Ethan hanya diam di mana pandangannya tertuju pada jejak air mata di pipi dan mata Renata. Tangannya pun terangkat mengusap jejak air mata itu. Namun, Renata menepisnya dan mengusap air matanya sendiri.
“Apa yang kau sukai dari adikku?” tanya Ethan tiba-tiba.
Renata cukup terkejut mendengar pertanyaan Ethan.
“Itu bukan urusanmu,” kata Renata dan berniat pergi. Namun, Ethan menahannya, menggenggam pergelangan tangannya.
“Aku tebak, hingga detik ini Kris belum menyentuhmu.”
Tubuh Renata menegang sesaat dan Ethan bisa merasakannya.
Renata menarik tangannya, berusaha melepaskan diri dari Ethan. Ia tak mau membicarakan ini karena Ethan pasti akan mengungkit kejadian waktu itu.
“Daripada menunggunya, kenapa tidak denganku? Sudah kubilang, aku bisa membantumu daripada … kau memuaskan diri hanya dengan jari-jarimu.”
Deg!
Dugaan Renata tepat. Ethan kembali mengungkit masalah itu yang membuatnya semakin ingin menangis. Menangis antara malu dan takut. Takut jika Ethan mengatakan pada orang lain atas ketololannya waktu itu.
“Kumohon, lepaskan,” ucap Renata dengan mata kembali basah yang membuat Ethan terpaksa melepaskan cengkramannya.
Ethan tak berhenti menatap Renata hingga wanita itu meninggalkan dapur. Andai saja Renata tahu apa yang Kris sembunyikan, apakah wanita itu tetap bertahan? Sementara, ia juga tak bisa mengungkapkannya karena masih memikirkan perasaan Kris.
Malam harinya, Renata mengurung diri di kamar meski sebenarnya ia lapar. Ia takut keluar kamar sementara tak ada siapapun di rumah kecuali dirinya dan Ethan. Ia khawatir Ethan akan melakukan sesuatu padanya.
Kruk ….
Perut Renata semakin berbunyi saat rasa lapar kian menjadi. Dengan terpaksa ia pun keluar dari kamar menuju dapur untuk mengisi perutnya.
Baru saja beberapa langkah meninggalkan kamar, Renata dibuat terkejut saat ia bertemu Ethan yang baru keluar dari kamarnya. Dan yang membuatnya terkejut adalah, Ethan hanya memakai handuk untuk menutupi tubuh bawahnya. Sementara tubuh atasnya yang sempurna berpadu serasi dengan ketampanannya, dibiarkannya terbuka.
Renata sempat terpaku beberapa detik dari keterkejutannya saat melihat d**a bidang Ethan. d**a yang tampak begitu kokoh berpadu sempurna dengan roti sobek yang menghiasi perut. Lengan berototnya menunjukkan Ethan pasti sering berolah raga. Dan terakhir ….
Renata segera membuang muka dan berniat melewati Ethan saat tanpa sengaja pandangannya mengarah pada sesuatu yang menyembul di bawah perut Ethan, berada di antara kedua pada yang tertutupi handuk.
Ethan hanya diam membiarkan Renata berjalan melewatinya. Namun, seringai kembali tercipta saat melihat Renata sempat memperhatikan tubuhnya walau hanya beberapa detik. Ia hendak mandi tapi sabunnya habis. Ia sudah membeli, tapi lupa masih tertinggal di mobil.
Ethan melanjutkan langkahnya yang terjeda. Namun, tiba-tiba ide jahil muncul dalam kepala. Kiranya, bagaimana jika ia bermain-main dengan Renata?
Ethan menunduk mengarah pandangan pada bagian tubuhnya yang menyembul di balik handuk. “Waktunya makan malam.”