5. Hadiah Liburan

1224 Words
Renata menatap Ethan tajam. Ia sudah bisa menebak bahwa Ethan tak mungkin tak bicara atau berbuat kurang ajar. “Turunkan aku,” ucap Renata begitu tegas. “aku bilang, turunkan aku!” tegasnya kembali dengan wajah lebih suram. “Baiklah-baiklah. Sepertinya singa perawan ini sedang lapar,” ucap Ethan. Namun, tak ada tanda-tanda ia akan menurunkan Renata. Telinga Renata mulai merah dan terasa panas. “Turun. Aku mau turun, sekarang,” ucapnya dengan penekanan pada setiap kata saat Ethan tak juga menghentikan mobil dan menurunkannya. Ethan mulai menepikan mobilnya. Namun, saat mobilnya telah berhenti, ia tetap mengunci pintu mobil. “Sekarang, apa yang akan kau lakukan?” kata Ethan sambil menatap Renata yang berusaha membuka pintu mobil tapi sia-sia karena terkunci. “Apa yang sebenarnya kau inginkan?! Aku ini adik iparmu! Berhenti bertingkah kurang ajar seperti ini!” teriak Renata hingga napasnya tersengal. “Ya, kau memang adik iparku, tapi apa kau tahu sesuatu? Jika aku meminta Kris memberikanmu padaku, dia pasti akan melakukannya.” Mata Renata melebar mendengarnya. “Jangan bermimpi!” bentaknya. Ethan menyeringai tipis dan bersedekap d**a sambil menghadap Renata. “Mau mencobanya? Katakan pada Kris apa yang aku lakukan, kita lihat, apakah dia akan membelamu, atau sebaliknya.” Renata terdiam, dirinya sendiri juga tidak yakin bahwa Kris akan membelanya mengingat seperti apa hubungannya dan Kris. Seringai Ethan kian terukir jelas. Ia lalu kembali melajukan mobilnya hingga akhirnya sampai di depan butik Renata. “Aku ada meeting sebentar lagi, jika tidak, aku akan benar-benar membawamu ke hotel tadi,” ucap Ethan sebelum mobilnya benar-benar berhenti. Renata hanya diam kemudian turun dari mobil tanpa mengucapkan terima kasih. Ia bahkan membanting pintu mobil cukup keras. Ethan berdecak di mana pandangannya terus mengikuti Renata hingga Renata tak terlihat setelah memasuki butiknya. Setelahnya ia pun melajukan mobilnya pergi dari sana, menuju perusahaannya yang masih setengah perjalanan. Renata duduk di kursi kerjanya kemudian menutupi wajahnya dengan kedua tangan di mana ia tampak frustasi. Tak lama kemudian, Silvi datang diikuti dua karyawan Renata lainnya tak lama setelanya. “Mbak Rena, Mbak Rena baik-baik saja?” tanya Silvi sambil mengusap bahu Renata yang menjatuhkan wajahnya ke meja. Ia kemudian duduk di kursi di samping kursi Renata dan kembali bertanya, “kuperhatikan akhir-akhir ini Mbak Rena seperti punya masalah, cerita saja padaku, Mbak. Mungkin aku bisa bantu, kalau tidak, siapa tahu bisa mengurangi sedikit beban pikiran, Mbak Rena.” Renata tetap berada dalam posisi menyembunyikan wajahnya sampai akhirnya ia menunjukkan wajahnya tanpa mengangkat kepala. Ia tersenyum, tapi matanya terlihat basah oleh air mata. Raut wajah Silvi menunjukkan rasa iba. Dan saat Renata menegakkan punggungnya, diusapnya punggung Renata memberinya support. “Ya sudah kalau Mbak nggak mau cerita, aku cuma bisa berdoa semoga masalah apapun yang Mbak Rena hadapi, segera selesai.” Renata mengusap air matanya kemudian memeluk Silvi. Untuk saat ini ia membutuhkan pelukan yang menenangkan. Kedua orang tuanya tinggal di luar negeri, dirinya juga tidak terlalu punya banyak teman, hanya Silvi, asisten sekaligus teman yang paling dekat dengannya. Meski begitu, dirinya bukan orang yang mudah menceritakan masalah pribadinya pada orang lain bahkan pada kedua orang tuanya sendiri. Silvi membalas pelukan Renata sambil terus membernya usapan menenangkan di punggungnya. “Terima kasih, aku sudah sedikit lebih baik sekarang,” ucap Renata setelah melepas pelukannya dengan Silvi. Ia mengusap sisa air mata kemudian berusaha merekahkan senyuman. Mata Silvi tampak berkaca-kaca. Ia mengusap setitik air mata di ujung matanya dan mengatakan, “Ya ampun, aku tak bisa melihat orang lain menangis apalagi Mbak Rena.” “Mbak Rena, ada pelanggan ingin bertemu,” ucap karyawan Renata yang bertugas menyambut pelanggan. “Iya. Tolong suruh tunggu sebentar, ya,” ucap Renata. Karyawan Renata yang bernama Kiki itu mengangguk kemudian kembali menemui pelanggan menyampaikan sesuai yang Renata katakan. Di lain sisi, Kris tengah bicara dengan manajer proyek. “Ini.” Alis Kris sedikit berkerut melihat atasannya itu meletakkan dua lembar kertas seperti sebuah tiket ke atas meja di depannya. Ia pun mengambil benda tersebut dan melihat isi yang tertera. “Tiket ke Bali selama tiga hari,” ucap atasan Kris dengan senyuman hingga matanya menyipit. “Anda … serius?” tanya Kris menatap atasannya dengan wajah tak percaya. “Ya. Anggap saja sebagai hadiah pernikahan karena selama ini kau bekerja dengan memuaskan.” Sudut bibir Kris terangkat menatap tiket di tangan. Namun, ia kembali lagi bertanya, seakan masih tak percaya bahwa dirinya memang mendapat hadiah dari perusahaan. Kelakar tawa pria bernama Syahroni itu terdengar memenuhi ruangan. “Apa kau tidak mau, Kris? Kalau begitu, biar kuberikan pada yang lain saja,” ucapnya setelah kelakar tawanya terhenti. “Ti- tidak. Saya … hanya tidak percaya,” ucap Kris. “Begini, kinerjamu selama bergabung di perusahaan ini bisa dibilang bagus, jadi dari pihak perusahaan memberimu reward sebagai apresiasi,” ujar pria berusia lebih dari kepala 4 itu pada Kris, menjelaskan kenapa dirinya bisa mendapatkan reward tersebut. Wajah Kris berseri cerah, tak bisa menyembunyikan rasa senangnya. Tak lama, ia lalu menghubungi seseorang, seseorang yang diajaknya menemaninya menghabiskan waktu liburannya di pulau dewata. Sore harinya, mobil Kris berhenti di depan butik Renata. Ia menjemput sang istri, sesuatu yang cukup jarang ia lakukan. “Maaf membuatmu menunggu,” ucap Renata setelah berdiri di depan Kris. Karena Kris menjemputnya, ia sengaja menutup butiknya lebih awal. Para karyawannya juga sudah pulang. “Tidak apa. Pulang sekarang?” Renata mengangguk dengan wajah berseri-seri. Ia lalu segera masuk mobil, duduk di samping sang suami yang duduk di depan kemudi. Setelah setengah perjalanan, Kris yang sedari tadi hanya mendengarkan cerita Renata yang menceritakan kegiatannya hari ini, membuka suara. “Oh, ya, Ren, besok aku harus ke luar kota menemani Pak Syahroni. Dia mengajakku meninjau proyek di sana,” ujar Kris. “Benarkah? Berapa lama?” tanya Renata tanpa rasa curiga. “Rencananya tiga hari. Kau tidak apa-apa, kan?” Renata berpikir sejenak. Namun, pada akhirnya mengangguk dan mengatakan, “Ya, tentu saja. Kau kan ke sana untuk bekerja apalagi menemani atasanmu. Meski … mungkin aku akan rindu.” “Maaf, ya, aku tidak mengajakmu. Jika bisa, aku pasti membawamu bersamaku,” ucap Kris sambil mengusap kepala belakang Renata. “Tidak apa-apa. Mungkin kita bisa pergi lain kali. Jadi, ke kota mana?” Kris tak segera menjawab, ia seperti tengah berpikir. “Bandung,” ujar Kris. “Oh, padahal dekat, andai saja aku bisa ikut,” ucap Renata tanpa rasa curiga padahal Kris telah membohonginya mentah-mentah. Bukan hanya berbohong tentang tempat tujuan, tapi juga berbohong kepergiannya untuk bekerja padahal dirinya ingin bersenang-senang dengan simpanannya. Tiba-tiba Renata terdiam. Tiba-tiba ia teringat Ethan. Selama tiga hari Kris tidak akan di rumah, Ethan pasti semakin membabi buta menggodanya. Lantas, apa yang harus ia lakukan? “Ren? Renata? Ada apa?” tanya Kris melihat Renata hanya melamun. Ia sesekali melirik Renata dan tetap fokus pada kemudinya. “Ah, tidak. Tidak ada apa-apa. Aku hanya sedang memikirkan pekerjaan. Aku harus segera menyelesaikan gaun pernikahan pesanan pelanggan jadi sepertinya, mungkin aku akan sibuk selama kau pergi.” “Oh, begitu. Meski begitu jangan terlalu memaksakan diri,” tutur Kris seperti seorang suami yang begitu perhatian. Renata tersenyum dan mengangguk kemudian merangkul lengan Kris dan menyandarkan kepala di bahunya tak peduli Kris tengah mengemudi sekarang. “Sepertinya aku lebih baik di butik sampai Kris pulang,” batin Renata untuk menghindari Ethan. Sayangnya, saat dirinya telah berusaha menghindar, Ethan yang justru sengaja mendekat. “Sengaja menghindariku dengan bersembunyi di sini, eh?”
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD