“Maaf, Re, aku sangat lelah. Sebenarnya aku pulang lebih dulu saat acara belum selesai selain karena khawatir padamu juga karena aku ingin segera beristirahat,” ucap Kris kemudian mengusap pucuk kepala Renata. “tidak apa-apa, kan?” tanyanya lalu mendaratkan kecupan ringan di kening.
Renata berusaha menyunggingkan senyuman. Sekali lagi, untuk kesekian kalinya dirinya mendapat penolakan dengan alasan yang sering Kris berikan. Lelah, mengantuk, kadang kali juga Kris pergi dengan alasan dipanggil saat terjadi masalah di proyek.
“I- iya, tidak apa-apa. Maaf, aku ….”
“Tidak apa-apa, aku tahu kau hanya ingin mendapatkan hakmu, tapi maaf, aku benar-benar lelah kali ini.”
Renata mengangguk dan menyunggingkan senyum palsu. Ia lalu mengikuti Kris yang menuntunnya ke ranjang kemudian berbaring berdampingan.
Tak lama kemudian, dengkuran halus terdengar dari Kris di mana posisi pria itu tidur miring membelakangi Renata yang juga membelakanginya. Sementara, Renata masih terjaga, seperti malam-malam sebelumnya ketika ia gagal mengajak Kris bercinta, ia akan terjaga hingga larut.
Renata menoleh ke belakang kemudian kembali pada posisinya di mana ia tak bisa berhenti berpikir sampai kapan ia akan seperti. Tiba-tiba sebuah pikiran terbesit dalam kepala, bagaimana jika sebenarnya Kris menyimpang? Seperti berita viral yang pernah beredar di mana seorang pria sengaja menikahi wanita semata untuk menutupi kelainan.
Renata memejamkan mata dan menggeleng mengenyahkan pikiran itu dari kepala. Tidak, itu tidak mungkin. Ia yakin pikirannya itu sama sekali tidak benar. Meski Kris belum menyentuhnya hingga detik ini, tapi dirinya tak menemukan tanda-tanda lain. Ah, atau bagaimana jika Kris memiliki penyakit? Mungkin penyakit yang membuatnya tak bisa bangun seperti kasus yang dialami salah seorang influencer.
Renata kembali menggeleng keras saat pikirannya semakin tak terkendali. Ia pun memejamkan mata berusaha segera terlelap agar pikiran buruknya sirna. Namun, tiba-tiba matanya terbuka lebar saat dirinya justru teringat apa yang terjadi sebelumnya dengan Ethan. Ia mengenyahkan pikiran dengan memikirkan hal lainnya tapi justru teringat kelakuan kakak iparnya itu.
“Argh!” Renata bangun dan mengacak rambutnya hingga berantakan. Ia kemudian turun dari ranjang dan berjalan ke kamar mandi untuk menjernihkan otaknya. Mungkin termenung sejenak di kamar mandi bisa membuat pikirannya jernih.
Keesokan paginya, Renata bangun dengan kantung mata menghiasi wajah cantiknya. Pada akhirnya dirinya tidur larut semalam.
Renata berjalan ke dapur dan membuat sarapan. Untuknya, Kris dan juga kakak iparnya meski sebenarnya ia sangat enggan. Sesampainya di dapur ia memanggang roti di toaster dan sambil menunggu, membuat kopi lalu menikmatinya kemudian membuat roti selai setelah roti panggangnya matang.
“Sepertinya kau kurang tidur semalam.”
Tubuh Renata menegang mendengar suara Ethan. Tak ingin meladeninya, ia memilih mengabaikan Ethan yang duduk di kursi meja makan di depan Renata.
“Bagaimana semalam? Apakah sekarang kau sudah tidak perawan?”
Telinga Renata memanas mendengar ucapan kakak iparnya itu. Ia lalu meletakkan roti dan pisau selai ke piring kemudian mengambil langkah berniat pergi. Namun, lagi-lagi Ethan menahan langkahnya seperti biasanya.
“Lepaskan!” tegas Renata.
“Bagaimana jika aku tidak mau?”
Gemeretak gigi Renata terdengar dan di detik berikutnya suara Ethan yang mengaduh sakit terdengar saat Renata menginjak kakinya. Tak menyiakan kesempatan, Renata menarik paksa tangannya hingga terlepas kemudian segera pergi.
Ethan meringis dan melihat kelingking kakinya yang memerah karena injakan Renata. Bisa-bisanya ia lengah hingga Renata bisa melakukan kekerasan padanya. Semalam Renata menamparnya, kali ini menginjak kakinya, kira-kira apalagi nanti yang akan Renata lakukan?
Renata berjalan cepat dengan mulut komat-kamit menggerutu mengutuk Ethan sampai tiba-tiba suara Kris terdengar membuatnya tersentak.
“Ada apa?” tanya Kris yang melihat Renata menggerutu dari kejauhan.
“Ah, tidak ada. Mau sarapan sekarang? Aku sudah menyiapkannya,” ucap Renata setelah berhadapan dengan sang suami.
Kris melihat jam tangannya dan mengatakan, “Tidak, Re, aku harus berangkat pagi. Tadi Pak Baim sudah menelepon.”
“A … jadi … kau berangkat sekarang?” tanya Renata dengan wajah sendu. Padahal ia sudah membuat sarapan meski hanya roti selai.
Kris mengangguk lalu mengusap lembut pucuk kepala Renata. “Maaf. Kau pasti sudah membuatkan sarapan untukku. Tapi aku sudah terlambat. Besok aku janji akan sarapan denganmu,” ucapnya lalu mengecup kening Renata sebelum akhirnya berangkat.
Tangan Renata setengah terangkat, melambai pada Kris hingga akhirnya tak terlihat. Renata menggigit bibir bawahnya, tangan kanannya lalu meremas lengan kirinya menahan kecewa untuk kesekian kalinya.
“Kecewa lagi?”
Mata Renata melebar, terkejut saat Ethan tiba-tiba telah berdiri di sampingnya dan berbisik di telinga. Ia yang terlalu tenggelam pada rasa kecewa, sampai tak sadar sejak kapan Ethan di sana.
Renata mengambil jarak di mana kekecewaan dan kesedihan terpampang jelas di wajahnya. Ia lalu mengambil langkah sambil mengusap setitik air mata di ujung matanya.
Ethan hanya diam, tak seperti sebelumnya dengan menahan Renata, kali ini ia membiarkan Renata pergi begitu saja. Perhatiannya lalu mengarah ke pintu depan yang tertutup saat mendengar suara mobil Kris mulai meninggalkan halaman.
Renata duduk di tepi ranjang dan termenung. Ia lalu menjatuhkan tubuhnya membuatnya terlentang di ranjang. Menatap langit kamar, matanya kembali basah.
Tiba-tiba Renata bangun sambil mengusap kasar air matanya. Ia mengatur napas kemudian berusaha tersenyum.
“Tidak apa-apa, Re. Semalam Kris sudah menemanimu makan malam. Sekarang dia sedang sibuk,” monolog Renata, menyemangati dirinya sendiri. Jika sekali dua kali, mungkin dirinya tak akan seperti ini, sayangnya Kris sudah sering kali melakukannya.
Tak lama kemudian, Renata keluar dari kamar dan telah tampil rapi untuk bersiap ke butik sampai tiba-tiba ia baru teringat sesuatu hingga membuatnya menepuk jidat.
“Ya Tuhan, mobilku masih di bengkel,” kata Renata merutuki kelalaiannya. Ia benar-benar lupa, padahal sudah berniat meminta Kris mengantarnya.
Tepat di saat itu ponselnya dalam tas berdering. Ia pun mengambil ponselnya itu dan mengangkat panggilan yang ternyata dari Kris.
“Halo, Re, kau sudah berangkat? Aku lupa, harusnya tadi aku menunggumu karena mobilmu masih di bengkel.”
Senyum tipis Renata terukir. Ia senang Kris ternyata masih mengingatnya meski lupa.
“Belum. Sebenarnya aku juga lupa, dan baru ingat jika mobilku di bengkel sebelum kau menelpon,” ucapnya disertai tawa kecil.
“Tapi aku sudah setengah perjalanan. Bagaimana?”
“Tidak apa-apa, aku bisa memanggil taksi.”
“Bukankah kakak searah denganmu? Bagaimana kalau menumpang pada kakak? Aku akan me–”
“Tidak. Tidak perlu,” sergah Renata sebelum Kris selesai bicara.
“Kenapa?”
“Tidak apa-apa. Aku hanya tidak enak.”
“Yah, baiklah kalau begitu. Maaf, ya, aku benar-benar lupa.”
“Iya tidak apa-apa. Sampai jumpa nanti sore, jangan menelpon terlalu lama sambil mengemudi.”
Samar-samar Renata mendengar tawa kecil Kris di sana dan ia bisa membayangkan betapa manisnya.
“Baik lah. Sampai jumpa.”
Renata menurunkan ponsel dari telinga dan menatap layar selema beberapa saat dengan senyuman yang bertahan. Ia seakan lupa bagaimana Kris mengecewakannya sebelumnya hanya karena Kris menunjukkan perhatiannya.
“Loh, Re, kau masih di rumah?”
Tiba-tiba suara terdengar, berasal dari Bela yang baru memasuki rumah.
“Aku pikir kau sudah berangkat karena mobilmu tidak ada,” ucap Bela kembali setelah berdiri di depan Renata.
“Mobilku di bengkel, Bu,” ucap Renata kemudian mengatakan apa yang terjadi padanya kemarin.
“Apa?! Kenapa kau baru memberitahu ibu sekarang?” tanya Bela bernada tinggi. Bisa-bisanya menantunya kecelakaan dan ia tidak tahu.
Renata mengusap tengkuk melihat reaksi Bela. “Maaf, Bu, aku … tidak ingin membuat ibu khawatir jadi–”
“Ada apa?”
Bela menoleh ke sumber suara yang tak lain berasal dari suaminya. “Renata, Yah. Dia kemarin kecelakaan tapi baru memberitahu ibu sekarang,” ucapnya memberitahu sang suami.
“Apa? Apa itu benar, Re?” tanya Hunsen pada Serena dan dijawab anggukan lemah darinya.
“Maaf, Ayah, aku tidak bermaksud. Aku baik-baik saja jadi–”
Belum selesai Renata bicara, suara cukup lantang Hunsen menyela. Pria berusia hampir kepala 6 itu menasehati Renata, memberinya wejangan tapi terdengar seperti memarahi.
“Ada apa ini ribut-ribut?”
Ocehan Hunsen terhenti saat Ethan berjalan dari arah kamarnya.
“Eth, kemarin Renata kecelakaan apa kau tahu? Tapi dia baru memberitahu ibu hari ini,” ujar Bela.
Ethan melirik Renata sekilas kemudian mengangguk. “Ya. Kebetulan aku di belakangnya.”
“Apa? Tapi kenapa kau tidak memberitahu kami?”
“Untuk apa? Dia baik-baik saja,” kata Ethan yang berdiri beberapa langkah di samping kanan Renata sambil kembali meliriknya.
“Tapi–”
“Yang penting dia baik-baik saja,” potong Ethan mengakhiri pembicaraan kemudian mengambil langkah dengan satu tangan masuk saku celana.
“Ya ampun, anak itu,” desah Bela setelah Ethan keluar lewat pintu samping menuju mobilnya di garasi.
“Ka- kalau begitu aku juga berangkat, Ayah, Ibu.”
“Tapi katamu mobilmu di bengkel, kan, Re?”
“Ikut Ethan saja,” sahut Hunsen. “bukankah kalian searah?”
“Ah, iya, benar. Ibu akan panggil Ethan,” kata Bela seraya menyusul Ethan sebelum dia pergi.
“Tu- tunggu, Bu,” cegah Renata tapi percuma, ibu mertuanya berjalan seakan secepat kilat.
“Tapi, Yah, aku sudah memesan taksi,” ujar Renata pada sang ayah mertua padahal sebenarnya belum.
“Tidak apa-apa, batalkan saja. Ayah merasa sepertinya Ethan sedikit dingin padamu. Mungkin jika kalian lebih sering mengobrol, dia pasti–”
“Ethan mengizinkanmu, Ren.” Belum selesai Hunsen bicara, sang istri telah kembali dengan kabar bahwa Ethan mengizinkan Renata menumpang.
“Tapi, Bu, aku suda–”
“Tunggu apa lagi?” tanya Ethan yang berdiri di ambang pintu samping, meminta Renata bergegas.
Bela segera menarik tangan Renata, mengantarnya menyusul Ethan.
“Antarkan sampai tujuan Renata, ya, Eth,” pesan Bela pada Ethan dan hanya dijawab gumaman tak jelas olehnya.
Renata ingin menolak, ia benar-benar tak mau semobil dengan Ethan. Tapi ia tak bisa mengelak saat ibu mertua juga ayah mertuanya memaksa. Dengan berat hati akhirnya ia terpaksa satu mobil dengan Ethan.
“Kau pikir aku sopir,” kata Ethan saat Renata membuka pintu belakang mobil Ethan.
“Ya sudah, Ren, duduk depan saja,” kata Bela yang masih berdiri di depan pintu samping, melihat Renata dan Ethan berangkat bersama. Dan di belakangnya, berdiri Hunsen.
Dengan amat sangat terpaksa, akhirnya Renata duduk di depan, di samping Ethan.
Setelah mobil meninggalkan kediaman, Renata membuka suara setelah sebelumnya hanya diam.
“Turunkan aku di depan. Aku sudah pesan taksi.”
Ethan melirik Renata sekilas dan menyeringai tipis. “Kau yakin aku mau melakukannya? Daripada itu, kenapa kita tidak check-in saja? Ada hotel bagus tak jauh dari butikmu, bukan?”