Dertien

1758 Words
“Bagaimana, Pak?” Tanya Jen begitu ia menggeser ikon telepon berwarna hijau. Kurang dari sedetik sejak Rangga mengucapkan permohonan maafnya, Hans menelepon. “Kau di mana?” Suara Hans tenggelam di antara suara bising kendaraan. “Hm… sedang makan siang. Kenapa?” Jen melirik Rangga yang terus menatapnya. Ia berdehem pelan. Mencoba tak menghiraukan degupan jantungnya yang masih terasa sangat kencang. “Di mana? Aku akan ke sana. Ada yang perlu kita bicarakan.” Jen menyebutkan tempat makan yang ia datangi. “Oke.” Bersama dengan itu, Hans menutup sambungan telepon. “Ada apa?” Tanya Rangga begitu Jen mengembalikan ponselnya ke dalam saku. “Pak Hans telepon. Dia akan ke sini.” “Kenapa kamu nggak tanya di mau makan apa? Biar sekalian kita pesankan.” “Nggak apa-apa, biar dia pesan sendiri. Ah, sebentar…” Jen beranjak. Menemui seorang pramusaji yang baru saja selesai melayani pelanggan. “Permisi…” Sapanya. “Iya, ada apa?” Pramusaji itu memasang wajah super ramah. “Saya minta satu kursi untuk ditempatkan di sana dan… boleh pinjam daftar menunya? Akan ada satu orang lagi yang bergabung bersama kami.” “Ah, silakan…” Pramusaji itu menyodorkan daftar menu dengan gerakan sopan. “Terima kasih.” Jen berlalu. Kembali ke mejanya dan Rangga. Sepuluh menit kemudian, Hans kembali menelepon. Ia bilang sudah berada di tempat makan yang dimaksud. Jen memintanya naik. “Silakan duduk, Pak.” Jen menyambut Hans. Hans terlihat terengah-engah. Sepertinya ia terburu-buru. “Minum ini dulu.” Jen menyodorkan air mineral yang langsung diminum oleh Hans hingga tersisa setengahnya. “Jen…” “Ya, Pak?” “Kita benar-benar sedang berhadapan dengan orang yang cerdik.” Hans serius sekali dengan kalimatnya. Ia bahkan tak mengedipkan matanya sama sekali. “Ya? Maksud Anda?” “Pak Rangga, Anda pasti berasumsi bahwa ruangan tempat Anda dikurung itu adalah ruang bawah tanah, ‘kan?” “Iya, betul.” Jawab Rangga bingung. “Kami juga berasumsi demikian. Karena itu, sepulang dari kediaman paman Anda hingga sekarang, kami berusaha mencari lokasi ruang bawah tanah itu. Mengecek satu persatu rumah-rumah yang tercatat memiliki ruang bawah tanah, di ibukota.” “Lalu, bagaimana hasilnya, Pak?” Jen tak sabar. Hans menggeleng lemah. “Tidak ada yang cocok dengan deskripsi Pak Rangga.” Jen dan Rangga menghela nafas bersamaan. Ini berita buruk. Mereka semua terdiam. “Tapi, saya punya kecurigaan.” Hans memulai kembali topik yang ingin ia diskusikan. “Ya? Bagaimana?” Semua tampak antusias. “Tadinya, saya pikir Anda diberi obat tidur bukan obat bius karena ketika terbangun Anda bisa langsung menelepon sekretaris Anda. Tapi, jika Anda diberi obat bius bukannya obat tidur, maka waktu yang diperlukan si pelaku untuk memindahkan tubuh Anda tanpa membangunkan Anda jadi cukup panjang. Itu artinya, bisa saja lokasi tempat Anda dikurung adalah di luar ibukota.” “Lalu, kenapa kalian tidak mencari ke luar ibukota?” Tiba-tiba Rangga bertanya kesal. “Anda pikir, berapa lama waktu yang akan kami butuhkan untuk menelusuri semua ruang bawah tanah di luar ibukota? Berapa banyak ruang bawah tanah yang ada di luar ibukota? Itu sama sekali tidak efektif dan efisien.” Hans mengetuk-ngetuk meja. Ia juga sedang kesal. “Kecuali jika Anda punya petunjuk lain.” “Seperti apa?” “Apakah ada menu makanan yang diberikan pada Anda yang secara khusus hanya ditemukan di tempat tertentu? Atau, di koran yang diberikan, adakah koran khusus suatu daerah? Atau, di barang-barang yang diberikan pada Anda, adakah barang-barang yang tidak Anda temukan di ibukota dan hanya ada di daerah tertentu?” Rangga terdiam. Tangannya menopang dagu. Alisnya bertaut, dahinya berkerut, ia sedang mencoba menggali kembali memorinya.g “Ah, tolong jangan memaksakan diri jika ada hal tidak nyaman yang Anda rasakan.” Jen tiba-tiba teringat dengan pesan dokter psikiatri yang menangani Rangga. “Aku baik-baik saja.” Rangga tersenyum sekilas, kemudian menghela nafas. “Ada yang kau ingat?” Hans sedikit tidak sabar. Mereka sedang berpacu dengan waktu. Rangga menghela nafas. “Semua barang yang diberikan padaku tidak ada label merknya. Obat-obatan yang diberikan padaku semuanya juga sudah dibuka dari pembungkusnya. Bahkan, tablet yang kuterima itu juga tidak ada merknya. Gadget semacam itu, seharusnya menampilkan logo merknya ketika baru dinyalakan, ‘kan? Itu tidak ada sama sekali. Aku juga tak mengerti bagaimana bisa begitu.” Rangga jadi merasa kesal setiap kali mengingat kejadian itu. “Hm… tapi dari keterangan Anda itu kita jadi bisa mempersempit kemungkinan pelakunya.” “Oh ya? Bagaimana bisa?” “Berarti, orang yang menculik Anda bisa saja memiliki kemampuan merakit alat elektronik. Entah itu memang profesinya, atau dia punya hobi akan hal itu.” Hans mengelus dagunya. Kasus ini semakin rumit tapi menarik. “Bagaimana jika ternyata orang itu membelinya dari suatu tempat?” Jen mengusulkan sebuah kemungkinan. “Dari keterangan Pak Rangga, aku sedikit menyimpulkan bahwa pelakunya adalah orang yang cukup teliti. Jadi, jika memang itu yang dia lakukan, itu tindakan yang sangat beresiko. Sekali kita berhasil melacak tokonya, habis sudah riwayatnya. Dia akan ketahuan.” “Tapi tetap saja, kita tidak bisa mengabaikan kemungkinan itu, ‘kan, Pak?” Jen bersikeras. “Iya.” Hans mengangguk-angguk. “Kemungkinan itu tetap ada.” “Permisi.” Seorang pramusaji mendatangi meja mereka. “Ah, Anda belum memesan apapun, Pak.” Karena tiba-tiba tersadar, tangannya reflek memegang lengan Hans. Rangga berdehem, membuat Jen menyadari gerakan tangannya. Segera ia menariknya. Entah kenapa ia reflek melakukannya. Detail gerakan sekecil itu, rupanya bisa ditangkap dengan baik oleh Hans. “Apakah ada yang ingin dipesan lagi?” Pramusaji bertanya usai meletakkan semua piring pesanan. “Sebentar, ya. Saya akan memilih dengan cepat.” Hans meraih buku menu. Melihat-lihat sekilas. “Gurame saos asam manis satu, minumnya air mineral saja.” Ia tersenyum, menyerahkan buku menu ke pramusaji. “Baik, mohon ditunggu.” Pramusaji itu membungkuk sopan kemudian berlalu. “Apa yang terjadi dengan kalian?” Hans mengamati Jen dan Rangga bergantian. “Maksud Anda, Pak?” Jen mengernyit, bingung. “Gerak gerik kalian, kalian pacaran?” “Hah?! Anda bicara apa, sih, Pak? Tentu saja enggak. Mana mungkin? Pak Rangga itu klien kita.” Jen tiba-tiba salah tingkah. Rasa panas menjalari wajahnya, membuat pipinya memerah. “Atau… kalian baru saja saling menyatakan perasaan?” Rupanya Hans semakin penasaran. “Anda bicara apa, sih, Pak?! Tidak ada yang seperti itu.” Pipi Jen semakin memerah. “Ayo kembali bicarakan soal hasil penyidikan Anda!” Hans tersenyum. Ia tahu sudah terjadi sesuatu antara Jen dan Rangga. Tapi, ia tak peduli. Yang penting penyidikan kasus ini berjalan lancar. “Yah, apapun yang terjadi pada kalian, aku tak peduli. Tapi pastikan itu tidak mengganggu proses penyidikan. Aku paling benci orang yang mengganggu pekerjaanku. Kau mengenalku dengan baik Jen.” Hans menatap lurus ke mata Jen. Membuat wanita itu tiba-tiba merasa menciut. “Iya, Pak.” Jawabnya lirih. Rona merah di pipinya mulai memudar. “Lalu, bagaimana soal makanan, Pak Rangga? Apa Anda mengingat sesuatu?” Hans kembali ke topik utama pembicaraan mereka siang ini. “Aku sudah mencoba mengingatnya, tidak ada yang spesial dari makanan yang kuterima. Semuanya adalah menu makanan yang mudah ditemui di manapun. Tapi, aku mulai memikirkan satu kemungkinan.” “Hm? Apa itu?” “Bagaimana kalau ternyata makanan-makanan yang kuterima adalah makanan kesukaan si pelaku? Tidak mungkin ‘kan dia memberikan makanan yang tidak dia sukai. Umumnya, orang akan menghindari membeli makanan yang tidak disukai meski itu bukan untuk dirinya. Bukankah begitu?” Hans terkejut, alisnya terangkat. “Wow! Itu pemikiran yang brilian.” Ia tersenyum, mengangguk-angguk. Rangga tersenyum. Merasa senang telah memberikan sedikit kontribusi dalam proses penyidikan kasus tentang penculikan dirinya. “Tapi, apakah itu membantu mempersempit kemungkinan pelaku? Bukankah itu sama saja seperti saat kita mencari ruang bawah tanah dengan deskripsi yang dijelaskan Anda? Terlalu banyak kemungkinan.” Hans menggeleng. “Memangnya kamu bisa menemukan seorang pelaku kejahatan hanya dengan ciri-ciri bahwa dia adalah pencinta durian, Jen?” “Tidak, Pak.” Jen tersenyum kecut. Rangga menyadari bahwa pemikirannya itu tidak berguna. “Maaf, pola pikirku ‘kan tidak sama dengan kalian.” Hans tersenyum, tak menjawab. Seorang pramusaji datang lagi ke meja mereka. Membawa sepiring besar gurame saos asam manis, sepiring nasi hangat, dan satu botol air mineral. “Silakan, ini pesanan Anda.” Ujarnya sembari meletakkan piring-piring di atas meja. Pramusaji itu pamit undur diri usai menyelesaikan tugasnya. “Ah, aku ingat!” Rangga tiba-tiba berseru. “Aku juga pernah diberi menu gurame asam manis.” Wajahnya sumringah. “Lalu?” Hans mengangkat sebelah alisnya. Wajahnya datar tanpa ekspresi. Membuat wajah sumringah Rangga tiba-tiba sirna begitu saja. “Tidak, tidak ada.” “Selamat makan!” Jen berseru. Ia tak suka melihat pertengkaran di atas meja makan. *** Pukul empat sore. Seorang wanita berpakaian rapi sedang duduk di belakang meja. Di hadapannya terdapat kamera dan layar yang berisi tulisan berjalan. Tulisan itu merupakan berita terkini yang harus ia sampaikan. Ya, wanita itu adalah salah seorang pembaca berita di televisi. Sebuah lampu kecil yang berada di atas kamera mulai berkedip. Tandanya, sebentar lagi kamera akan menyala. Wajahnya akan segera muncul di layar televisi. Wanita itu menegakkan punggungnya, merapikan duduknya, memasang senyum terbaik. Ia berdehem ringan. Mengecek bahwa tak ada masalah dengan suaranya. Lampu kecil itu mulai menyala merah. Seorang laki-laki di belakang kamera tampak mengacungkan jempol, mengangguk mantap. Kamera mulai menyala. “Selamat sore, Saudara. Saatnya kami memperbaharui informasi Anda di Liputan Berita Terkini.” Wanita itu mengucapkan kalimat pembuka dengan lancar dan senyum terkembang. Laki-laki di belakang kamera tampak cukup puas. Layar yang berisi tulisan di atas kamera mulai bergerak, menampilakan tulisan yang berjalan. Wanita itu lancar membaca tulisan di layar dengan intonasi yang sangat baik. Tidak ada kesalahan sedikit pun. Informasi pertama berhasil disampaikan tanpa kendala. Namun, begitu layar di atas kamera memuat tulisan berupa informasi kedua, laki-laki di belakang kamera mengacungkan tangan. Tangannya bertaut di atas kepala membentuk simbol silang. Wanita itu kebingungan, tapi ia berhasil menguasai ekspresi wajahnya. Kini, kamera dimatikan. Layar televisi sedang menampilkan hasil rekaman liputan dari informasi pertama. Laki-laki di belakang kamera bergegas berlari ke arah meja wanita itu. Menyerahkan selembar kertas. “Ini informasi keduanya.” Serunya antusias. Wanita pembawa berita membaca kertas itu sekilas. Seketika wajahnya menegang. “Kita akan menampilkan berita ini, Pak?” Raut wajahnya khawatir. Ia tak yakin dengan usul laki-laki itu. Namun, laki-laki itu mengangguk mantap. “Ini akan jadi berita paling menggegerkan.” Kini, wajahnya benar-benar antusias. Wanita itu menelan ludah. Belum sempat ia mengucapkan sepatah kata pun, laki-laki itu sudah kembali ke belakang kamera. Lampu kamera kembali berkedip, kemudian menyala merah. Laki-laki di belakang kamera kembali mengacungkan jempol, mengangguk mantap. Kali ini, lebih mantap.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD