Twaalf

1719 Words
“Dua orang di tim perencanaan, dan dua orang di tim pemasaran. Masuklah ke kantor sebelum jam delapan. Pastikan kalian sudah mengenakan pakaian formal.” Jen memberi titah lewat telepon pada Roni. “Oke, siap.” Sambungan telepon diputus. Jen menghela nafas. Ia kembali menghadap Adit. Sejak tadi, laki-laki berpakaian rapih it uterus saja mengoceh soal tugas-tugas seorang sekretaris. Padahal Jen sudah mengatakan bahwa ia meminta tugas yang ringan-ringan saja. Ia di sini bukan untuk sepenuhnya menjadi sekretaris Rangga. Ia hanya dalam misi untuk menjaga keamanan laki-laki itu. “Anda sudah datang, Pak?” Adit berdiri seketika. “Selamat pagi, Pak.” Ia menundukkan kepalanya sedikit. Entah karena terkejut atau sudah mulai mendalami penyamarannya, Jen ikut bangkit dari duduknya. Pun ikut menundukkan kepalanya. “Pagi.” Rangga tersenyum. Namun, tiba-tiba ia menyadari sesuatu. “Eh?” Rangga menghentikan langkahnya tepat di depan meja sekretaris. Adit dan Jen mengangkat kepala bersamaan. “Ada apa, Pak?” “Kenapa kamu ada di sini?” Rangga menatap Jen tak berkedip. “Ah, itu… haruskah saya menjelaskannya di sini?” Jen bingung, ia menatap Rangga dan Adit bergantian. Adit melambaikan tangan ke arah Rangga. Menyuruh atasannya itu mendekat. “Dia sedang dalam penyamaran.” Bisiknya. “Oh?” Rangga mengangkat alis. Sudut bibirnya naik. Ia berjalan mendekat. Meletakkan kedua tangannya di atas meja. “Jen? Begitu sapaanmu sekarang ‘kan? Baiklah. Mulai sekarang aku akan memanggilmu begitu.” Ia tersenyum penuh arti. Menatap lembut tepat ke manik mata wanita di hadapannya. Jen tak bereaksi. Inilah yang paling ia khawatirkan ketika mendapat tugas menyamar sebagai sekretaris Rangga. Ia sedang mati-matian ia menjaga ekspresi wajahnya. Karena saat ini, jantungnya berdegup sangat kencang. Mendekat seratus kali permenit. Hampir sama ketika ia dalam misi di kereta api saat itu. “Ah!” Jen berseru. Lebih karena Adit menyikut lengannya karena ia terus berdiri mematung. “Senyaman Anda saja, Pak.” Ia tersenyum tanggung. Senyum formalitas saja. “Baiklah. Sepertinya hari-hariku di kantor ini tidak akan lagi membosankan.” Rangga masih tersenyum. Senyum itu masih sama seperti dulu. Menawan dan memabukkan. “Aku masuk dulu.” Laki-laki itu berlalu. “Huaaah…” Jen menghela nafas keras. Seolah sejak tadi ia menahan nafasnya. “Sepertinya, kamu dan Rangga saling kenal?” Adit menyipitkan mata. “Kamu?” Jen mengernyit. “Ah, aku lebih suka bicara tidak formal. Tentu saja selain dengan atasan dan klien.” “Oke.” *** “Anda mau makan siang di ruangan atau mau saya reservasikan tempat makan terdekat, Pak?” Tanya Adit pada Rangga. Ini sudah mendekati jam makan siang. “Hm…" Rangga tampak berpikir, meski belum mengalihkan perhatiannya dari layar komputer. "Reservasikan tempat makan terdekat, atas namaku. Pastikan menunya enak dan tidak ramai pengunjung meski di jam makan siang." "Baik, Pak." "Untuk dua orang, ya." "Ya?" Adit mengangkat alis. "Untuk dua orang." Rangga mengulang kalimatnya. "Ah, iya. Baik, Pak." Adit menunduk sekilas, kemudian berlalu. "Apa dia akan bertemu klien? Tapi, tidak ada di jadwal hari ini. Hm…" Adit bergumam penasaran. Adit kembali melanjutkan pekerjaannya. Hari ini pekerjaannya terasa cukup ringan. Selain karena atasannya sudah ada di tempat, juga karena ada Jen yang membantunya. Biasanya Adit selalu bekerja sendiri. Bukan, bukan karena Rangga hanya memiliki dirinya sebagai sekretaris. Hanya saja, ruangannya dan ruangan sekretaris lainnya. Seorang CEO tentunya memiliki sekretaris pribadi dan sekretaris yang bekerja khusus untuk urusan perusahaan. Adit adalah sekretaris pribadi Rangga. Ia tak hanya mengurus soal pekerjaan saja tapi juga hal-hal bersifat pribadi di luar jam kerja. Seperti menyiapkan pakaian untuk perjalanan bisnis, mengurus perihal asisten rumah tangga yang bekerja di kediaman Rangga, membelikan perabotan yang dibutuhkan, bahkan mengurus keuangan Rangga sudah menjadi tugasnya sehari-hari. Adit melirik jam dinding di dekat meja sekretaris. "Sudah waktunya istirahat. Kamu mau makan siang di mana?" "Aku…" "Jen…" Suara Rangga memotong kalimat Jen. Ia sudah berdiri di depan meja. "Ada apa, Pak?" "Ikut aku!" Belum sempat Jen menanggapi ajakan Rangga, laki-laki itu sudah berlalu. Berjalan santai menuju lift. "Hei, tunggu!" Jen bergegas. "Apa maksudmu?!" Ia menghadang langkah Rangga. Habis sudah sopan santun yang selalu ia dahulukan. "Makan siang. Kamu belum menentukan akan makan siang di mana, 'kan?" Rangga menatap bola mata Jen. "Makan siang denganku saja. Aku sudah reservasi tempat makan." Bibirnya membentuk bulan sabit. "Nggak!" Jen bersedekap. Wajahnya mengeras. Ia menolak mentah-mentah. "Kalau begitu akan kubawa paksa." Rangga menyeringai. Membuat Jen bergidik. "Ba-bagaimana caranya?" Jen mengusap lengannya. Ia merinding melihat senyum Rangga. "Hm…" Rangga maju selangkah. Mereka berhadapan dengan jarak kurang dari tiga puluh senti. Jen menelan ludah. Ini jarak yang terlalu dekat. Wajah rupawan Rangga tepat berada di depan hidungnya. Ia bahkan bisa mencium aroma parfum yang menguar dari tubuh Rangga. Jen memegangi dadanya. Jantungnya berdegup kencang. "Bagaimana kalau aku gendong?" Rangga berbisik. Entah kenapa, suaranya terdengar menggoda. Bluk! "Kau sudah gila, hah?!" Nafas Jen terengah. Ia baru saja meninju d**a atas lawan bicaranya. "Au!" Rangga memegangi dadanya. "Ada apa, Pak?" Adit sudah tiba di tempat mereka berdiri. Wajahnya terlihat khawatir. "d**a Anda sakit?" "Iya." "Aduh, mau saya panggilkan dokter?" "Nggak perlu. Dadaku sakit karena kecewa Jen tidak mau kuajak makan siang." Rangga memasang wajah sedih. "Ah, saya kira ada apa." Adit mundur selangkah. Rupanya bukan hal gawat. "Bisakah kamu membujuknya supaya mau makan siang denganku?" Kali ini Rangga memasang wajah memelas. Ia melirik Jen sekilas. Jen mendengus. Kesal dengan ekspresi Rangga yang kentara sekali sedang dibuat-buat. "Jen, pergilah!" Jen melongo. "Apa maksudmu? Pergi ke mana?" Wajahnya jelas sekali mengekspresikan rasa keberatan. "Menemani atasan makan siang adalah salah satu tugas sekretaris. Bukankah Anda sedang menyamar sebagai sekretaris?" Adit tersenyum datar. "Apa?!" Jen kehabisan kata-kata. Ada apa dengan mereka berdua? Adit dan Rangga menatap Jen lekat-lekat. Menunggunya mengiyakan. "Aaarkh! Baiklah, baiklah." Akhirnya ia menyerah. "Satu kali ini saja. "Aku pastikan kamu akan ketagihan makan siang denganku." Ucap Rangga dengan penuh percaya diri. "Ayo, jalan." Jen kembali mendengus. Ia masih memaku di tempatnya. Menatap punggung Rangga yang terus menjauh. “Ayo, masuk.” Laki-laki itu tersenyum penuh kemenangan. Tangan kanannya sedang menahan pintu lift agar tidak tertutup. Jen menghempaskan kedua tangannya yang tadinya bersedekap. Menghentakkan kakinya kesal. Berjalan menghampiri Rangga. Pintu lift tertutup tepat setelah Adit melambaikan tangan ke arah mereka yang sangat terlihat canggung untuk berdiri berdekatan. Ah, lebih tepatnya, Jen yang menghindari Rangga. Ia berdiri di sudut lift, berusaha sejauh mungkin dari Rangga. Berpindah selangkah demi selangkah setiap kali Rangga nekat mendekat. “Kamu sama sekali tidak terlihat seperti seorang korban penculikan.” Ucap Jen ketus. “Begitukah? Lalu, kamu ingin aku bagaimana? Meringkuk ketakutan di pojokan kamarku?” “Sudahlah. Aku muak.” Jen membuang muka. Menatap dinding lift yang justru memantulkan bayangan Rangga yang berdiri di belakangnya. “Kamu tahu aku tidak akan pernah melakukan itu, Gis.” “Ya. Kamu memang tidak pernah kabur dari suatu masalah. Kamu hanya selalu kabur dariku.” Nada suara Jen menyiratkan seluruh emosinya. Marah, kesal, kecewa, sakit hati, dan putus asa. Rangga terdiam. Jen bisa melihat ekspresi laki-laki itu lewat pantulan wajahnya di dinding lift. Ia terlihat terkejut dan sedih. Ting. Pintu lift terbuka. Mereka sudah tiba di lantai dasar. “Ayo, keluar. Kamu, jalanlah lebih dulu. Aku tidak suka jalan berdampingan denganmu.” Suara Jen masih ketus. Meski sebenarnya ia sedikit melunak karena melihat ekspresi Rangga tadi. Rangga tak menjawab. Ia hanya melakukan apa yang dikatakan Jen. Berjalan lebih dulu, tanpa menoleh, tanpa bicara apapun. Klok…klok…klok… Entah kenapa, suara langkah kaki mereka terdengar lebih keras dan ritmis. Menyeimbangi keheningan yang tiba-tiba menyelimuti keduanya. Jarak antara lift dan pintu utama yang biasanya terasa sangat pendek itu kini terasa teramat panjang dan melelahkan. Tiba-tiba, rasa bersalah dan khawatir menyusup ke bilik hati Jen. Ia menatap punggung Rangga yang bergerak-gerak di hadapannya. Laki-laki itu benar-benar diam seribu bahasa. Aaarkh! Jen benci merasa lemah seperti ini. Hanya karena perubahan sikap Rangga, ia sudah melunak. Seharusnya ia lebih tegar dan dingin dari ini. Ia sudah berjanji, kelak, jika kembali bertemu dengan laki-laki yang meninggalkannya tanpa kata itu, ia akan memukulnya hingga babak belur. Hingga ia merasa puas, hingga laki-laki itu merasakan semua penderitaan yang ia alami. Lalu, ia akan berpaling dan sepenuhnya melupakan Rangga. Meninggalkan semua kenangan baik dan buruk mereka di belakang. Membangun masa depan yang akan ia rajut bersama orang lain, entah siapa. Tapi, apa yang terjadi saat ini? Ia bahkan masih berdebar setiap kali berdekatan dengannya, ia bahkan masih salah tingkah dengan sikap blak-blakan Rangga, ia bahkan merasa bersalah dan khawatir setelah melihat ekspresi sedih laki-laki itu. Dan, jauh di lubuk hatinya, ia merasa senang karena telah bertemu lagi dengannya. Jauh di sudut hatinya yang gelap dan tak tergapai, ia amat merindukannya. Jauh di bilik hatinya yang sudah lama tak pernah terbuka, ia masih menyimpan seluruh perasaan yang pernah ia miliki untuk Rangga. Utuh, tak berkurang sedikit pun. Rangga terus melangkah maju. Ia belum mengucapkan sepatah kata pun sejak keluar dari lift. Dan Jen benar-benar hanya mengikutinya dari belakang. Rangga menyeberang jalan, Jen mengikuti. Rangga berbelok, Jen masih mengikuti. Rangga memasuki sebuah rumah makan, Jen pun mengikuti. Mereka lebih mirip dua ekor bebek yang sedang digiring masuk ke kandang daripada dua orang rekan kerja yang sedang pergi untuk makan siang. Rangga memilih tempat duduk di balkon lantai dua. Satu meja dan dua kursi yang berhadapan. Pemandangan hiruk pikuk kendaraan di jalanan di samping mereka terlihat dari sini. Gedung kantor Aryuda Food juga terlihat jelas. Angin sepoi-sepoi yang menyegarkan menambah poin plus posisi tempat duduk ini. Seorang pramusaji membawakan buku menu. Menyerahkan selembar kertas dan sebuah pena. “Silakan dibaca dulu. Jika ada yang ditanyakan mengenai menu di daftar ini, silakan.” Pramusaji itu tersenyum ramah. Senyum bisnis. Rangga bertanya beberapa hal mengenai makanan di daftar menu. Seperti apa bedanya mie goreng jawa dan mie goreng ayam, nasi goreng hongkong dan nasi goreng jawa, capcay goreng dan capcay merah, gurame saos asam manis dan gurame saos padang, dan lain-lain. Pramusaji itu menjawab dengan sangat baik. Sepertinya ia sudah sangat terlatih untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan serupa. Sepuluh menit berlalu, Rangga dan Jen sudah memesan makanan. Pramusaji itu membawa kertas berisi pesanan mereka. “Silakan ditunggu.” Ia membungkuk sopan kemudian berlalu. Dan, inilah yang paling Jen benci. Kecanggungan yang seolah takkan pernah berakhir. Mereka hanya saling diam, saling membuang muka, berkali-kali meneguk air mineral yang disediakan gratis, berpura-pura menikmati pemandangan jalanan yang hanya memperlihatkan lalu lalang kendaraan. “Maafkan aku, Gis.” Rangga akhirnya bicara. “Aku… tidak pernah bermaksud begitu.” Sorot matanya sendu, raut wajahnya mendung.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD