Twee

1516 Words
Minggu pagi yang cerah dan damai. Seorang wanita berambut sebahu tampak baru saja terbangun dari tidurnya. Terlihat dari rambutnya yang berantakan. Ia duduk di tepi tempat tidur, melirik jam di meja dekat tempat tidurnya yang sudah menunjukkan pukul sepuluh pagi. Yah, hari Minggu memang hari yang tepat untuk bermalas-malasan. Sepertinya, semua orang di seluruh dunia sepakat soal ini. Wanita itu belum beranjak, masih duduk di tepi tempat tidur. Ia menggosok matanya yang masih terasa lengket. Ia paksa kedua matanya terbuka lebar, lalu seketika menyipit begitu diterpa cahaya matahari yang masuk menembus jendela kaca. Ia beringsut, meraih ponsel di dekat bantal. Mengetuk layarnya. Tak ada panggilan ataupun pesan. Benar-benar akhir pekan yang damai. Kini, wanita itu beranjak. Berdiri di depan cermin. Mematut dirinya yang masih berantakan. Ia menatap pantulan dirinya di cermin. Kaos oblong, celana katun, rambut berantakan, wajah sembab sehabis bangun tidur. Bahunya mengedik, tak peduli. Kemudian ia berlalu. Menunaikan kewajiban paginya. Mandi. Gisaka Evgenia, begitu nama lengkapnya. Sejak dulu, wanita itu tak pernah peduli dengan penampilannya. Yah, beruntung ia memiliki wajah yang tetap menarik dipandang meski belum mandi. Ah, ada masa di mana ia sangat memperhatikan penampilan. Ingin selalu terlihat cantik dan menawan. Ya, kapan lagi kalau bukan saat sedang jatuh cinta? Tapi itu sudah lama. Lama sekali. Ia bahkan sudah lupa bagaimana rasanya berdebar hanya karena mendengar suara orang yang dicinta. Lima belas menit. Waktu yang sangat cukup untuknya membersihkan diri. Ia keluar dari kamar mandi dengan handuk menutup kepalanya. Drrrt… drrrt… Ponselnya bergetar. Ia bergegas meraihnya. "Halo, Pak?" Sapanya. Ponsel keluaran terbaru itu sudah menempel di telinganya. "Ayo bersiap! Lima belas menit lagi aku akan menjemputmu." Suara bariton di seberang telepon terdengar tergesa-gesa. "Eh? Mau ke mana, Pak?" "Ke hotel imperial. Ada laporan orang hilang. Segera, Jen!" "Siap, Pak!" Tut. Telepon dimatikan. Jen bergegas mengeringkan rambut. Hilang sudah hari Minggu pagi yang cerah dan damai yang ia idam-idamkan. *** Mobil sedan warna hitam metali memasuki area parkir hotel imperial. Gigi-gigi bannya mantap mencengkram lantai. Laki-laki berambut cokelat terang yang sedang memegang kemudi itu lihai melakukan manuver. Ciiit… Rem diinjak. Ban berdecit. Sekejap, mobil sudah terparkir rapih. Sepasang laki-laki dan perempuan keluar dari pintu depan mobil. Bukan, mereka bukan hendak menginap di hotel. Mereka sedang bekerja. Pagi tadi, sebuah laporan masuk ke ponsel Hansel Fulbright. Ya, begitu nama lengkap laki-laki berambut terang yang tadi mengemudi. "Hilangnya di sini, Pak? Sudah 1x24 jam?" Jen membuka obrolan. Mereka berjalan beriringan menuju lobi hotel. "Ya. Belum 1x24 jam." Hans menjawab singkat. Langkah kakinya lebar-lebar sesuai dengan tinggi badannya yang di atas rata-rata. Jen sulit sekali mengimbangi. "Lalu, kenapa sampai memanggil kita? Petugas kepolisian saja sudah cukup, kan?" Jen bertanya heran. "Harusnya begitu. Tapi yang hilang ini bukan orang biasa." "Memangnya siapa?" "CEO Aryuda Food." "Hah?" Mulut Jen menganga. Nama perusahaan makanan itu memang sangat tidak asing di telinganya. Perusahaan yang kini sedang naik daun berkat produk-produknya yang mengikuti perkembangan zaman.  "Selamat siang, Pak." Mereka sampai di lobi. Hans menyapa seorang laki-laki berseragam polisi. "Oh, sudah datang?" Mereka berjabat tangan. Jen berjabat tangan setelahnya. "Baru saja tiba." Hans tersenyum basa-basi. Mereka sedang berdiri di dekat meja resepsionis. Seorang wanita bersanggul yang tadinya duduk di belakang meja ikut berdiri. Mengangguk sopan pada Hans dan Jen yang baru saja ikut bergabung. "Jadi bagaimana kronologinya?" Hans tak berniat membuang-buang waktu. "Biar sekretaris Pak Rangga saja yang menjelaskan. Sebentar lagi ia tiba." Tepat setelah laki-laki berseragam polisi tadi selesai bicara, Adit keluar dari pintu lift. Wajahnya panik dan berantakan. Di sebelahnya, seorang laki-laki berseragam polisi dan seorang petugas hotel ikut menghampiri. "Anda Detektif Hans?" Adit segera menyapa Hans. "Iya, benar." "Saya Aditya, sekretaris Pak Rangga. Maaf merepotkan Anda di Minggu pagi begini." Adit tersenyum canggung. Sementara petugas polisi tadi menyerahkan kantong berisi beberapa barang. "Tidak perlu minta maaf. Ini memang pekerjaan kami. Oh, ini barang bukti di tkp?" Hans bertanya pada petugas polisi. "Iya, Pak. Itu barang-barang yang ada di sekitar tempat tidur dan kamar mandi. Sisanya masih tersimpan di lemari hotel. Kami sudah mengamankan kamar 1324. Sementara tkp akan aman, tidak akan tersentuh." "Baik. Jadi, bagaimana kronologinya?" Kali ini Hans menatap Adit. Adit, beberapa petugas polis, Hans dan Jen akhirnya duduk di sofa yang memang tersedia di lobi hotel. Adit menjelaskan dengan detail kronologi kejadian sejak semalam mereka berpisah di depan pintu kamar hotel hingga selepas ia sarapan tadi. "Anda sudah mencoba menghubungi orang-orang yang mungkin dihubungi oleh Pak Rangga?" Kali ini Jen bertanya. "Keluarga Pak Rangga? Dia yatim piatu, keluarga yang tersisa hanya pamannya. Pamannya juga sedang menginap di hotel ini bersama kami." "Kalau teman?" Adit diam sejenak. "Setau saya, sejak dulu dia penyendiri. Tidak ada teman yang bisa dihubungi. Oh, ya tentu selain kolega bisnis." Hening sesaat. "Ini… hanya kecurigaan saya…" Adit tampak ragu-ragu. Ia menatap bergantian Hans dan Jen yang duduk di hadapannya. "Ya? Ceritakan saja." Pungkas Hans. Adit menelan ludah. Memajukan posisi duduknya. "Sejak awal, banyak yang tidak suka dengan kemunculan Pak Rangga sebagai CEO." Adit merendahkan suaranya. "Yah, Anda mengerti lah bagaimana politik dalam perusahaan. Saya khawatir, hilangnya Pak CEO ini ada kaitannya dengan orang-orang yang membenci beliau." Hans menarik nafas dalam. Menyandarkan punggungnya. Kedua tangannya bersedekap di depan d**a. "Tapi kita belum bisa menganggap ini sebagai kasus orang hilang. Ya, kan, Pak?" Jen membuka suara karena tiba-tiba semua terdiam. Ia memandang Hans. Meminta persetujuan. "Iya, betul." "Loh, kenapa?" "Belum 1x24 jam. Orang dewasa tidak bisa dikatakan hilang jika tidak pulang ke rumah atau tidak ada kabar hanya kurang dari 24 jam. Bisa saja mereka pergi ke suatu tempat tanpa memberitahu orang yang dikenalnya. Berbeda dengan kasus anak-anak. Jadi, polisi tidak bisa bertindak banyak." Hans menjelaskan. "Lalu?" Adit mulai tampak kecewa dan marah. "Yah, itu 'kan kewenangan polisi. Berbeda dengan kami. Kami tetap bisa melakukan penyelidikan tanpa surat tugas." Hans tersenyum. Adit tampak bingung. "Karena itu kami memanggil Pak Hans dan Bu Jen. Mereka detektif di tim khusus. Tidak perlu surat tugas untuk bertindak." Seorang pria berseragam polisi menjelaskan. "Haaah, syukurlah!" "Oke. Kita mulai dari memeriksa CCTV!" Hans berdiri. Siap melakukan penyelidikan. *** "Pak, tadi Anda bercanda, ya?" Jen berbisik. Mereka sedang berjalan menuju ruang CCTV atau ruang komputer pengawas. "Bercanda apa?" Hans mengangkat bahu. Pura-pura tidak tahu. "Anda punya kebiasaan buruk, Pak. Lihat ekspresi si sekretaris tadi? Hampir saja dia berubah jadi macan." "Hahaha!" Hans tergelak. "Pekerjaan kita ini terlalu serius, Jen. Membuat jenih. Harus ada sedikit angin segar." Sekali lihat, orang akan menganggap Hans sebagai orang yang kaku dan selalu serius. Tapi, jika mengenalnya lebih jauh, sebenarnya ia punya sisi yang menyenangkan. Jen sudah membuktikannya. Ruang CCTV berada di lantai yang sama dengan lobi. Hanya saja ruangannya sedikit tersembunyi. Tak hanya itu, akses masuk ke ruang CCTV ini cukup rumit. Pintu ruangan bisa dibuka bebas dari dalam. Namun hanya bisa dibuka dari luar dengan akses sidik jari petugas keamanan yang telah terdaftar. Standar keamanan yang cukup baik untuk ukuran hotel bintang lima. Petugas hotel yang membersamai Hans dan Jen memencet tombol hitam di dekat pintu ruang CCTV. Kamera di atasnya menyala. Menampilkan wajah seorang laki-laki awal tiga puluhan. "Ada apa?" Suaranya terdengar dari speaker di dekat layar. "Ada detektif dan polisi yang mau lihat rekaman CCTV." Hans dan seorang petugas polisi mendekat. Menunjukkan identitas diri. Tak sampai semenit, pintu ruang CCTV terbuka. Segera, suhu dingin menerpa. Sebuah ruangan tiga kali empat yang dipenuhi layar monitor dan kabel-kabel itu kini terbuka lebar. Petugas yang berjaga di dalam segera mempersilakan masuk tamunya. Pintu kembali ditutup. "Ruangan ini tidak pernah kosong?" Hans segera mengutarakan pertanyaan. "Tidak pernah. Kami ada jadwal shift." "Ada berapa petugas yang bertanggung jawab untuk ruangan ini?" "Total ada lima orang." "Kamu bertugas di sini sejak semalam?" Kali ini Jen yang bertanya. Ia memperhatikan gambar-gambar bergerak di layar monitor. "Bukan. Saya shift pagi. Baru masuk kerja jam tujuh pagi tadi." "Oke." Hans menjelaskan sedikit maksud kedatangan mereka ke ruangan itu. Si petugas mengangguk paham. Ia segera duduk di depan layar monitor. Menekan-nekan tombol keyboard, menggeser-geser mouse, kemudian layar monitor di sebelah kiri menampilkan gambar lorong di depan pintu kamar 1324. "Ini rekaman CCTV sekitar pukul sebelas malam." Petugas itu menjelaskan. "Kamar yang ini?" Ia menunjuk angka di sebuah pintu kamar hotel. "Iya, betul." Kali ini Adit yang menjawab mantap. "Coba dipercepat." Hans memberi perintah. Gambar di layar monitor tampak bergerak cepat. "Stop!" Adit berseru. Angka di layar monitor menunjukkan pukul 23.30. "Itu saya dan Pak Rangga. Kami baru saja tiba setelah acara. Saya masih sempat mengobrol di depan pintu kamar beliau." Gambar di layar monitor terus bergerak. Jen menyipitkan pandangan. Jantungnya tiba-tiba berdegup kencang. "Sebentar!" Jen yang berdiri di belakang kursi petugas seketika mengulurkan tangan, memberi isyarat untuk menghentikan pemutaran rekaman video di layar. "Bisa di-zoom?" Gambar di layar monitor tampak semakin besar. Menampilkan dengan lebih jelas dua orang laki-laki yang tampak mengobrol. "Ini, Anda?" Jen menunjuk laki-laki yang berdiri membelakangi kamera CCTV. "Iya." Adit mengangguk. Jari telunjuk Jen bergeser. Menunjuk laki-laki yang wajahnya terlihat samar-samar. "Berarti ini atasan Anda? Pak Rangga?" "Betul." Jen menegakkan punggungnya. Menatap nanar layar monitor. "Siapa nama lengkap atasan Anda?" Suaranya bergetar. "Rangga Aryasetia." Deg! Jantung Jen serasa berhenti sejenak. Kerongkongannya tercekat. Tubuhnya bergetar. Kakinya terasa lemas. Hampir saja ia ambruk jika kedua tangannya tak berpegangan ke sandaran kursi.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD