Hotel imperial, 15 April 2025.
Sebuah ruangan berukuran 20x20 meter yang terletak tepat di tengah-tengah gedung berlantai dua puluh itu tampak ramai. Pintu gandanya yang terbuka dilalui banyak sekali orang. Pakaian mereka seragam. Yang laki-laki memakai setelan jas, sedangkan yang perempuan memakai gaun malam. Semua tampak mewah dan elegan. Bagian dalam gedung tak kalah glamor. Kursi dan meja ditata dan dihias sedemikian rupa. Makanan dan minuman buatan koki profesional disajikan di atas meja. Semua orang tampak menikmati pesta malam itu.
Orang-orang yang berada di dalam ruangan itu terlihat saling sapa dan melempar senyum. Ada juga yang sedang sibuk saling melempar candaan, tertawa lepas. Tak sedikit pula yang tampaknya sedang menikmati obrolan namun sebenarnya mereka ingin cepat-cepat enyah dari ruangan itu. Salah satu dari sedikit orang itu adalah Rangga Aryasetia. Bintang utama pesta malam itu. Laki-laki berperawakan tinggi itu tampak berusaha keras mempertahankan senyum di wajahnya. Sesekali suaranya terdengar sumbang saat berusaha ikut tertawa bersama orang-orang di sekitarnya. Ekspresinya benar-benar tak bisa menutupi isi hatinya. Ia ingin segera keluar dari ruangan itu.
"Sepertinya, beberapa dekade terakhir memang sedang musim, ya, anak muda menjabat sebagai CEO perusahaan besar?" Seorang laki-laki dengan rambut beruban di sana sini tampak menyeringai. Matanya melirik Rangga sinis.
"Oh ya?" Rangga meletakkan lengannya di atas meja. Menatap laki-laki di hadapannya. "Bukankah memang seharusnya anak muda diberi kesempatan untuk berkarya?"
"Hahaha, tapi bukan berarti bisa menduduki kursi CEO. Jabatan sebagai pemimpin perusahaan itu terlalu beresiko untuk anak muda." Pelipis laki-laki berusia hampir separuh abad itu berdenyut. Kesal bukan main dengan jawaban anak muda di hadapannya.
"Ah…" Rangga menyandarkan punggungnya. Melempar tatapan tajam ke depan. "Rupanya anda tidak tahu, anak muda itu suka sekali mengambil resiko."
Rahang laki-laki paruh baya itu mengetat. Ia geram sekali.
"Pak Rangga, sebentar lagi waktunya anda memberi sambutan." Seorang laki-laki seumuran Rangga mendekat. Tubuhnya setengah menunduk, bibirnya melengkung.
"Oke." Rangga bangkit dari kursinya. Berjalan meninggalkan meja yang sejak tadi atmosfernya sudah memanas. Kedatangan Aditya Maheswara, sekretarisnya itu benar-benar tepat waktu. Karena jika dilanjutkan, ia tak yakin bisa terus menahan diri.
Laki-laki yang beradu mulut dengan Rangga tadi adalah Wirawan. Direktur Keuangan. Semua orang sudah tahu dan maklum bahwa Wirawan memang menginginkan kursi CEO. Maka ia sangat kesal ketika nama Rangga digadang-gadang akan menjadi pengganti Renaldi Arya Wijaya, CEO sebelumnya sekaligus paman Rangga.
Keberadaan Rangga memang disembunyikannya sebelumnya. Baru lima tahun terakhir Rangga muncul ke permukaan. Renaldi sering membawanya dalam acara-acara perusahaan. Memperkenalkannya secara tidak langsung sebagai calon penerus pemimpin perusahaan. Maka segera saja ia menjadi perhatian para jajaran direksi. Karena bisa dipastikan, setelah Renaldi pensiun, kursi CEO akan diberikan pada Rangga. Dan Renaldi benar-benar menjalankan rencananya. Malam ini adalah malam pesta peresmian Rangga Aryasetia sebagai CEO Aryuda Food. Sebuah perusahaan yang bergerak di bidang makanan dan minuman.
Suara sorak sorai tepuk tangan para tamu undangan memenuhi langit-langit ruangan. Tidak ada yang memungkiri, di balik senyum merekah orang-orang yang hadir di ruangan itu, hanya sedikit yang benar-benar berbahagia menyambut era baru kepemimpinan perusahaan. Rangga pun tahu, Renaldi sudah memperingatkan sebelumnya. Begitu ia menerima jabatan sebagai CEO, seketika itu pula ia telah meletakkan kepalanya di lubang guillotine (alat eksekusi nyawa dengan cara dipenggal). Hanya soal waktu, seseorang akan menjatuhkan pisau pemenggalnya.
"Terima kasih untuk kesempatan yang diberikan." Rangga mengangguk sopan pada laki-laki separuh abad di sebelahnya. Ia adalah pamannya, Renaldi Adya Wijaya. Ia baru saja memberikan beberapa patah kata untuk menyambut keponakannya. Pemimpin baru perusahaan.
Renaldi tersenyum, mengangguk samar.
Rangga melemparkan pandangan ke seluruh penjuru ruangan. Matanya sekilas menyisir ekspresi wajah orang-orang yang hadir malam itu. Ya, peringatan dari pamannya tidak main-main. Hanya dengan berdiri di tengah-tengah orang-orang penting di perusahaan itu, ia sudah bisa menebak siapa saja yang tidak suka dengan kemunculannya.
"Saya tahu, ada banyak orang yang tidak suka dengan kemunculan saya di sini." Rangga memberi jeda. Memperhatikan ekspresi wajah terkejut dari orang-orang di sekelilingnya. "Entah karena merasa saya belum pantas menjadi pemimpin perusahaan atau karena menginginkan posisi saya." Rangga melirik sekilas Wirawan yang mendengus kesal. "Tapi saya tak peduli. Bahkan jika malam ini sudah ada orang yang sedang menyusun rencana untuk menurunkan saya dari jabatan CEO. Saya tidak peduli. Karena sekarang, kita semua sedang berada di dalam kapal yang sama. Kapal ini sedang mengarah ke tujuan besar, kebetulan saya dipercaya menjadi nahkodanya. Bukankah jika kapal ini tenggelam, semua orang berpotensi untuk ikut tenggelam?" Rangga mengedarkan pandangannya sekali lagi.
Suara bisik-bisik terdengar dari segala penjuru. Rangga tersenyum samar.
"Saya harap, apapun tujuan pribadi kita bergabung di perusahaan ini, kita tidak melupakan tujuan utama perusahaan ini didirikan. Sekian, terima kasih. Mohon kerja samanya." Rangga menutup sambutannya. Tersenyum.
Sekali lagi, suara gemuruh tepuk tangan memenuhi ruangan. Renaldi menepuk pundak Rangga yang sudah berdiri di sampingnya. Kemudian, ia menutup acara sambutan dan mempersilakan tamu untuk menikmati pesta.
"Tadi itu sangat berani, Rangga." Renaldi membuka obrolan. Kini, mereka sudah duduk di salah satu meja. Menikmati hidangan.
"Maafkan saya, Om."
"Tidak, tidak. Kamu nggak perlu minta maaf. Anak muda memang harus berani, menyukai tantangan, dan tentu saja harus bertanggung jawab atas segala tindakannya. Kamu mengerti maksud, Om?" Renaldi menatap tajam keponakannya itu.
"Mengerti, Om." Rangga tersenyum tipis. Mulai menyantap hidangan di hadapannya.
Pesta terus berlanjut. Kini, orang-orang di ruangan itu punya topik baru untuk dibicarakan. Ya, kalimat sambutan dari Rangga menjadi topik utama malam itu. Ada yang kagum dengan sosok Rangga yang berani dan tanpa basa-basi, ada juga yang menganggapnya tidak sopan. Semua orang berpendapat. Tapi siapa peduli? Mereka hanya berani bersuara di belakang. Di hadapan Rangga, semuanya memasang senyum ramah.
Pukul sebelas malam, pesta berakhir. Semua orang meninggalkan ruangan. Kembali ke kamar hotel mereka masing-masing. Termasuk Rangga.
"Besok, jangan sampai ada orang yang mengetuk pintu kamarku sebelum jam enam pagi. Aku nggak suka tidur pagiku diganggu." Ucap Rangga pada Aditya dalam perjalanan menuju kamar hotel. Kamar mereka berdampingan.
"Siap, Pak."
"Ah iya. Ke depannya, kamu boleh mengingatkanku jika aku salah. Meski aku tidak pandai basa-basi dan terkesan dingin, aku suka menerima masukan." Mereka sudah tiba di depan pintu kamar Rangga.
"Eh? Oh, baik, Pak. Tapi, kenapa tiba-tiba bilang begitu?"
"Ekspresi wajahmu berubah setelah mendengarku memberi sambutan." Rangga melambaikan tangan, masuk kamar kemudian menutup pintu.
Adit terbelalak. Tanpa sadar menyentuh wajahnya sendiri. Bagaimana bisa atasannya itu sangat peka dengan perubahan ekspresi orang lain?
***
Adit melangkah keluar kamar. Hari ini ia tak mengenakan setelan jas seperti semalam. Ia hanya mengenakan celana jeans dan atasan kaos. Hari ini, saatnya semua tamu melakukan check-out kamar hotel. Sebelum itu, tentu sarapan gratis sebagai fasilitas eksklusif yang ditawarkan oleh manajemen hotel tak boleh dilewatkan.
Adit melirik jam tangan di pergelangan tangannya. Pukul tujuh pagi.
"Pak Rangga…" Adit memanggil nama atasannya setelah mengetuk pintu kamar.
Tak ada jawaban. Ia mencoba mengetuk sekali lagi.
"Pak Rangga, sekarang waktunya sarapan. Anda ingin sarapan bersama atau dibawakan ke kamar?"
Hening. Masih tak ada jawaban. Adit mencoba mengetuk sekali lagi dan hasilnya tetap sama. Tak ada jawaban apapun dari dalam kamar.
"Mungkin masih tidur." Adit bergumam. Ia berlalu, bergegas menuju lift. Tak ingin kehabisan menu sarapan.
Hotel imperial, selain dikenal dengan arsitektur bangunannya yang cantik juga makanannya yang super lezat. Tapi, makanan lezat itu tentu saja sebanding dengan harganya. Karena itu, rugi rasanya jika menginap di hotel imperial dengan fasilitas sarapan gratis tapi tidak menikmati fasilitas itu.
Ting!
Pintu lift terbuka. Adit segera keluar.
Restoran hotel imperial khusus untuk sarapan berada di lantai dua. Berhadapan langsung dengan pemandangan kota yang lengang di Minggu pagi. Adit menghampiri seorang pelayan wanita yang berdiri di pintu restoran. Menunjukkan kartu kamar hotelnya, kemudian diminta menempelkannya pada sebuah alat di dekat pintu. Bunyi 'bip' keras keluar dari mesin itu. Adit dipersilakan masuk.
Seketika, aroma masakan menguar menggelitik penciuman Adit. Membuat perutnya semakin keroncongan.
***
Pukul 9.30 Adit baru naik ke lantai tiga belas. Tempat kamarnya berada. Selama berada di restoran, ia sama sekali tak melihat Rangga turun. Ia sengaja berlama-lama di restoran, mengobrol dengan beberapa rekan sekantor yang juga sedang sarapan sekaligus menunggu atasannya turun. Namun, meski ditunggu hingga restoran akan tutup, Rangga belum juga menunjukkan batang hidungnya.
Adit berdiri di depan pintu bertuliskan nomor 1324. Mengetuk pintunya dengan keras.
"Pak Rangga…" Suaranya cukup lantang untuk didengar oleh orang yang berada di dalam kamar.
Hening. Tak ada jawaban.
"Pak? Jawab saya, Pak! Anda baik-baik saja?" Rasa gelisah mulai meliputi Adit. Sepertinya ada yang nggak beres.
Ketukan ketiga sekaligus ketukan terakhir. Sama saja. Tak ada jawaban sama sekali.
Adit mengeluarkan ponsel dari suka, mencoba menelpon Rangga.
"Nomor yang Anda tuju sedang tidak aktif."
Kini, Adit benar-benar gelisah. Ia menekan layar ponselnya kasar. Bergegas berlari ke lift, menuju lantai satu.
"Mbak, bisa minta kunci cadangan untuk kamar 1324?" Adit bertanya dengan nafas memburu. Ia berlari keluar dari lift begitu pintu lift terbuka.
"Mohon maaf, kami tidak bisa sembarangan memberikan kunci cadangan." Perempuan di belakang meja itu menolak.
"Masalahnya sejak tadi atasan saya ini nggak bisa dihubungi. Saya khawatir terjadi sesuatu."
"Kamar nomor 1324, ya? Baik, akan coba kami telepon." Perempuan berseragam warna merah dan kuning itu meraih gagang telepon.
Beberapa detik berlalu, gagang telepon diletakkan kembali ke tempatnya.
"Gimana, Mbak?" Tanya Adit tak sabar.
"Tidak ada jawaban."
"Sejak sebelum sarapan juga begitu, Mbak. Karenanya saya minta kunci cadangan."
"Baik. Salah satu petugas kami akan menemani Bapak." Perempuan bersanggul itu masih bisa berbicara tenang dan sopan sementara Adit sudah gelisah bukan main.
Semenit kemudian, seorang laki-laki berseragam menghampiri Adit. Mengajaknya segera ke lantai tiga belas sembari membawa kunci cadangan.
Ceklek!
Pintu kamar 1324 terbuka. Adit menyerbu masuk. Berlari ke sana ke mari mencari atasannya.
"Pak Rangga! Pak Rangga!" Suaranya memenuhi ruangan. Ia berlari dari satu ruang ke ruang lainnya. Tapi Rangga tak ada di manapun.
Rangga menghilang!