Malam ini Inara merapihkan pakaiannya ke dalam tas besar sesuai dengan apa yang Bayu bilang. Bahwa besok, mereka akan pindah ke rumah Bayu di kota.
Beberapa kali Inara harus mengusap air matanya. Namun, buru-buru tenang saat Bayu masuk ke dalam kamar.
"Sudah rapih, Mbak?" Tanya Bayu. Inara mengangguk.
"Mbak?" Inara menoleh. "Ya?"
"Tumben, masih pakai cadar?" Inara tersentak dan menyentuh cadarnya yang masih belum ia lepas.
"Kebiasaan." Inara pun melepas cadarnya dan menaruhnya di meja.
"Mbak?"
"Ya?"
"Lihat, ke sini." Inara pun menoleh dan mendapati Bayu tengah tersenyum ke arahnya.
Inara buru-buru memalingkan wajahnya. Ia merasa wajahnya kini sangat merah.
"Mbak, cantik banget." Inara melotot. Namun tak berani untuk melihat ke arah Bayu.
"Mbak, suka pergi ke pesta nggak?" Pertanyaan Bayu membuat Inara bingung.
"Pesta?"
"Ya, jadi, saat nanti kita sudah sampai di kota. Aku mau buat pesta. Kan, kita udah nikah, jadi teman-teman mau tau wajah...." Bayu terdiam. Inara menegang.
"Eh, jangan salah paham, Mbak. Maksudnya nggak gitu, aduh. Aku lupa, Mbak, pakai cadar. Yah... Intinya aku mau kenalin, Mbak, ke temen aku, gitu."
"Harus pakai pesta?" Bayu garuk-garuk kepala. "kita biasa begitu, sih, Mbak." Inara menggigit bibir bawahnya. Bayu menelan Saliva melihat bibir yang di gigit itu. Buru-buru Bayu, memalingkan wajahnya.
"Gi-gimana, Mbak?" Tanya Bayu gugup. s**l, kenapa jadi gugup hanya karena melihat bibir, Inara?
"Saya ikut saja." Bayu langsung tersenyum senang dan hendak memeluk Inara.
"Eh, maaf, Mbak. Hehehe." Bayu bangun dan keluar dari kamar.
Inara langsung menyentuh jantung nya yang berdetak kencang sekali. Hampir saja Bayu memeluknya.
Sementara itu, Bayu yang berdiri di depan pintu juga merasakan hal yang sama. Jantung nya seakan mau melompat keluar.
Bayu masuk ke dalam kamar saat Inara sudah tidur. Ia melihat Inara yang terlelap. Wajah cantiknya begitu terpancar.
"Cantik sekali kamu, Inara. Andai, kamu adalah bule. Sudah jatuh cinta pasti aku." Bayu menarik nafas dalam dan mengambil badcover lalu menatanya dan ia tidur di bawah seperti biasa.
Adzan subuh terdengar. Inara buru-buru bangun dan langsung pergi ke kamar mandi. Ia tak sempat mandi, hanya mengambil air wudhu saja. Begitu masuk ke dalam kamar. Ia melihat Bayu tanpa baju. Tubuh bagian atasnya terlihat jelas. Berotot dan indah.
"Astaghfirullah ...." Inara mengusap wajahnya dan perlahan membangunkan Bayu.
"Mas, bangun, Mas. Subuh." Bayu membuka mata dengan malas. Ia duduk dan menatap Inara.
"Subuh, ya?" Inara mengangguk.
Bayu pun bangun dan mengambil handuk dari tangan Inara. Lalu pergi begitu saja.
"Handukku itu, Mas ...." Pintu sudah tertutup kembali.
Bayu sudah memanaskan mobilnya. Sementara Inara mempersiapkan tas yang akan ia bawa. Royati nampak sibuk membawakan bekal untuk mereka di perjalanan. Padahal tidak terlalu jauh jaraknya. Maklum ibu-ibu pasti begitu jika anaknya hendak pergi.
"Emak, ini kebanyakan."
"Nggak apa-apa, bisa kamu hangatkan nanti di rumah baru."
"Tapi...."
"Udah, nggak ada tapi-tapi...." Bayu masuk dan melihat perdebatan antara Inara dan Royati.
"Bawa aja, In. Masakan emak kan enak banget," puji Bayu. Emak langsung mengacungkan dua jempol nya untuk Bayu. Bayu terkekeh dan mendekat ke arah Royati. Memeluk pundaknya dengan mesra.
"Kalian yang akur ya, kalau ada masalah bicarakan baik-baik. Jangan salah tuduh tanpa bukti."
"Kamu, Inara. Berbakti pada suami ya, jangan melawan apalagi membantah. Dosa."
"Iya, Mak."
"Iya, Emak, sayang." Bayu memeluk Royati. Inara tersenyum melihat kedekatan Bayu dan Emak. Padahal dulu Bayu nampak jaga jarak.
"Sayangi anak, Emak, ya, Bayu." Bayu mengangguk.
"Kami pamit, Mak."
Mereka saling mencium tangan Royati dan masuk ke dalam mobil.
"Sering-seringlah tengok, Emak."
"Ya, Mak. Assalamualaikum."
"Waalaikumsallam."
Bayu pun menjalankan mobilnya dan perlahan menjauh dari rumah Inara. Rumah yang membesarkan Inara dari bayi hingga sebesar sekarang. Setelah keluar dari g**g rumah Inara. Barulah Inara menangis. Ia sengaja menahan air matanya di depan Royati. Agar Royati tidak merasa sedih.
Bayu mengusap pundak Inara dengan lembut.
"Kamu harus sabar ya, Mbak." Inara hanya diam dan terus menangis. Bayu menarik nafas. Pasti Inara berat meninggalkan Royati yang selama ini merawat dirinya. Dan tak pernah pergi jauh dari Royati.
Tapi, mau bagaimana lagi. Namanya sudah berumah tangga memang harus bisa ambil keputusan, walau itu sulit sekali pun.
Bayu melirik Inara setelah hampir satu jam perjalanan. Inara nampak tidur dengan tenang. Air matanya masih terlihat mengucur. Bayu menghapus air mata itu perlahan dan melanjutkan perjalanan hingga mereka sampai di depan rumah Bayu.
Bayu tak berniat membangunkan Inara. Ia memilih turun dan memasukkan barang-barang Inara ke dalam rumah. Setelah selesai semua. Barulah Bayu membangunkan Inara.
"Mbak, bangun. Sudah sampai." Inara tersadar dan langsung minta maaf.
"Nggak apa-apa, Mbak. Yuk, turun." Inara pun turun dari mobil dan melihat rumah yang indah di depan matanya.
Rumah minimalis yang sangat cantik. Baru kali ini Inara melihat rumah sebagus ini. Ini bagus dan juga unik.
"Hey, ayo, masuk." Inara pun tersadar dari lamunannya dan ikut masuk ke dalam rumah.
"Mas, rumahnya bagus banget."
"Terima kasih, ini hasil gambarku sendiri."
"Oh ya?" Bayu mengangguk.
"Mbak?"
"Ya?"
"Kita mau satu kamar atau pisah kamar?" Inara bingung.
"Beda kamar aja ya, Mbak. Biar, Mbak, juga nyaman. Ya kan?" Inara hanya diam. Namun juga tak membantah.
"Kamar, Mbak, di lantai dua ya. Saya di sini." Inara mengangguk. Ia pun mengambil tasnya dan menaiki tangga yang unik banget.
Tangga itu di desain khusus untuk menjadi sebuah rak kecil. Sangat multi fungsi.
"Kalau, Mbak, punya barang apa pun, bisa taruh di situ. Jadi, rumah tetap rapih," jelas Bayu sebelum Inara sempat bertanya. Inara kagum dengan ide Bayu.
"Istirahatlah, Mbak. Aku di bawah ya." Inara mengangguk dan masuk ke dalam kamarnya. Kamar nyaman dengan jendela yang langsung melihat ke depan jalan.
Inara melirik tasnya dan langsung mengeluarkan Al-Qur'an dan peralatan sholat. Ia tata di atas meja dekat ranjang tidurnya.
Ia usap kasur empuk itu.
"Ya Allah, terima kasih, atas semua Rezky yang engkau berikan kepada hamba-Mu ini." Inara bersujud atas nikmat yang diberikan oleh Allah padanya. Sebuah rumah yang begitu nyaman. Dan suami yang baik.
Setidaknya itu yang Inara rasakan. Kebaikan seorang Bayu walau tanpa cinta di dalamnya.