"Non Vio, makan yuk!" bujuk Darmi sedih.
"Enggak mau," tolak Vio lemah.
Sudah tiga hari berlalu sejak pemakaman Devan Brajamusti dilakukan, dan selama itu juga Vio hidup bagai pesakitan. Gadis itu hanya berbaring di kamarnya tanpa berniat melakukan kegiatan yang lain. Bahkan untuk sekadar makan pun Vio enggan. Vio terlalu syok dengan kenyataan bahwa ia harus menerima dirinya menyandang status sebagai seorang yatim piatu di usianya yang bahkan belum genap 21 tahun. Bulan depan ia baru akan berulang tahun, dan ayah tercintanya tidak akan ada di sana untuk memberikan pesta megah sebagai penanda putrinya beranjak dewasa. Angka 21 yang dulu terdengar istimewa, kini tidak ada artinya lagi.
"Ayo dong, Non.” Darmi sudah hampir menangis membujuk Vio. Wanita paruh baya yang sudah mengasuh Vio sejak lahir ini sungguh tidak tega melihat kondisi nonanya. “Non udah tiga hari enggak makan apa-apa. Mbok takut Non Vio sakit."
"Vio udah minum s**u," sahut gadis itu tidak peduli.
"Mana cukup, Non," keluh Darmi putus asa.
"Mbok, kunci kamar Vio mana sih?" Tiba-tiba saja Vio mengganti topik pembicaraan.
"Non mau apa?" tanya Darmi curiga.
"Mau Vio kunci biar enggak ada yang bisa masuk,” sahut Vio dingin. “Pusing dari kemarin-kemarin kalian semua ganggu terus. Vio tuh mau sendiri, kenapa sih enggak ada yang ngerti?"
Secara berkala, para pelayan di rumah ini memang bergantian masuk ke kamar Vio untuk memeriksa keadaan gadis itu. Tidak lupa semuanya juga bergantian membujuk Vio hingga gadis itu akhirnya jengkel. Ketika Vio ingin mengunci kamarnya, ia baru sadar kalau anak kuncinya tidak ada di tempat. Di cari ke seluruh penjuru kamar pun hasilnya nihil.
Ditanya demikian, Darmi mendadak gugup.
“Mbok …?” tanya Vio curiga.
Darmi tertunduk lalu menjawab takut-takut. "Mas Ryota yang suruh pelayan untuk simpan kunci kamar Non Vio."
"Hah?” Seketika Vio melongo. “Mau ngapain umpetin kunci kamar Vio?"
"Mas Ryota takut kalau Non Vio bakal mengurung diri di kamar dan berbuat aneh-aneh."
Vio memejamkan matanya sejenak. Jujur saja ia heran dengan Ryota yang mendadak jadi sangat perhatian padanya. Andai ini terjadi beberapa waktu lalu, pastilah Vio akan sangat bahagia. Mendadak diperhatikan oleh sosok pujaan hati bukankah sebuah hal yang membahagiakan? Sayangnya perhatian Ryota datang di saat ayahnya pergi, hingga Vio tidak sempat untuk merasa bahagia.
"Ya udah kalo emang enggak boleh dikunci, tapi bilangin sama yang lain, jangan ada yang masuk ke kamar Vio. Cuma Mbok Darmi yang boleh," ujar Vio pasrah. Ia tahu, sulit menentang perintah Ryota mengingat pria itu pernah menjadi kepala staf keamanan di rumah. Bahkan semua orang di rumah ini mungkin lebih takut pada Ryota ketimbang Vio sendiri.
"Iya, Non. Nanti Mbok bilangin sama yang lain," jawab Darmi patuh.
"Ya udah Mbok keluar deh, Vio mau tidur," usir gadis itu. Belum lagi Darmi meninggalkan kamar, Vio sudah kembali dalam pose siap tidur. Ditariknya selimut sampai ke leher lalu berbaring miring memunggungi Darmi.
"Makanannya gimana, Non?"
"Vio enggak mau, Mbok," tolak gadis itu cepat.
"Mbok tinggalin di sini ya, nanti Non makan dikit-dikit."
"Bawa aja, Mbok. Baunya bikin Vio mual."
Pada akhirnya Darmi menyerah. Meski khawatir, tidak ada yang bisa ia lakukan untuk membujuk sang nona yang memang sudah terkenal keras kepala sejak kecil. Baru saja beberapa langkah Darmi meninggalkan kamar Vio, wanita itu berpapasan dengan Ryota.
"Masih belum mau makan, Mbok?"
"Belum, Mas." Darmi menggeleng sedih. "Malah Non Vio pesan supaya tidak ada yang masuk ke kamarnya kecuali Mbok."
"Sini makanannya, Mbok." Ryota mengambil alih nampan di tangan Darmi dan membuat wanita tua itu menatapnya kebingungan. Melihat Ryota jadi sering masuk ke rumah utama saja sudah merupakan sebuah pemandangan langka, apalagi menyaksikan betapa pria itu memberikan perhatian besar pada Vio, benar-benar sesuatu yang mengherankan.
"Biar sama saya," ujar Ryota lagi. “Saya akan coba bujuk Violet untuk makan.”
Begitu Ryota melangkah memasuki kamar Vio, pria itu langsung mendapatkan sambutan ketus.
"Mbok, Vio kan udah bilang mau tidur. Mbok ngapain masuk lagi?"
"Ini saya," sahut Ryota.
Begitu mendengar suara Ryota, sontak Vio terkejut. Apalagi ketika sosok pria itu muncul di depannya. "Ryota? Kenapa ke sini?"
"Lihat keadaan kamu." Tanpa permisi, Ryota duduk perlahan di tempat tidur Vio sambil memangku nampan berisi makanan. Sebelah tangannya terulur untuk menarik turun selimut yang menutupi tubuh Vio. "Ayo, duduk! Kamu harus makan, Violet."
Vio bergeming. Ia malah menarik kembali selimutnya hingga ke atas, lalu berniat berbalik arah untuk memunggungi Ryota seperti yang tadi dilakukannya pada Darmi. Namun sayang, Ryota bergerak lebih cepat. Sebelum Vio berbalik, pria itu sudah menahannya.
"Jangan bilang kamu sengaja seperti ini supaya sakit," ujar Ryota gusar.
Vio tetap diam. Hanya matanya saja yang tidak henti menatap Ryota.
"Makan sedikit, Vio. Kamu harus sehat," bujuk Ryota. Lelah menunggu Vio duduk, akhirnya Ryota memutuskan untuk mulai menyuapi saja gadis itu. Untungnya, ketika sendok sudah berada di depan mulutnya, Vio membuka mulut dengan patuh. Melihat Vio akhirnya mau menurut, Ryota tersenyum samar. "Sedih boleh, itu hak kamu. Tapi memutuskan mau terus hidup atau mati itu bukan hak kamu."
Vio tidak membalas ucapan Ryota, tidak juga membantahnya. Harus ia akui, pikiran itu memang sempat melintas di benaknya. Vio akan dengan sengaja membuat dirinya sakit lalu mati saja.
"Violet, besok pagi tolong ikut dengan saya ke Advaith," ujar Ryota usai menyuapi Vio.
"Mau ngapain?" Vio yang sejak tadi mogok bicara, akhirnya terpaksa membuka suara karena ia perlu bertanya.
"Ada pertemuan dengan pengacaranya Pak Devan."
"Aku harus ikut?" tanyanya malas.
"Hm." Ryota mengangguk kecil.
"Kalau aku enggak mau?"
"Saya akan minta Pak Handi ke sini."
"Apa ini soal wasiat Papa?" tebak Vio curiga.
"Sepertinya begitu."
"Selain aku, ada siapa lagi?"
"Setahu saya kalau dari pihak keluarga tidak ada, hanya ada satu atau dua perwakilan dewan direksi yang ikut dikumpulkan."
***
Keesokan harinya, Vio terpaksa ikut dengan Ryota ke Advaith untuk memenuhi panggilan dari pengacara sekaligus sahabat ayahnya, Handi Senjaya.
"Terima kasih sudah memenuhi permintaan saya untuk berkumpul di sini.” Handi memulai pembicaraan saat mereka telah berkumpul di ruang kerja Devan Brajamusti. Hanya ada sang pengacara, Vio, Ryota, dan dua orang lain yang merupakan perwakilan dari dewan direksi.
Setelah beberapa sapaan singkat, Handi mengeluarkan sebuah map hitam dari dalam tas kerja kemudian membukanya. "Saya akan sampaikan wasiat dari Bapak Devan Brajamusti."
"Om, panjang banget. Vio enggak ngerti,” keluh Vio setelah Handi selesai membacakan seluruh surat wasiat yang dituliskan oleh Devan Brajamusti. Kepalanya hampir tidak mampu menangkap informasi apa pun selama Handi membacakan poin demi poin sepanjang 15 menit terakhir. “Boleh kasih tau intinya aja?"
Baik Handi maupun kedua orang dewan direksi yang hadir di sana seketika mengulum senyum. Mereka maklum kalau Vio pasti kebingungan. Bayangkan saja, gadis yang tidak pernah terjun dalam urusan bisnis ayahnya ini, tiba-tiba harus tercebur dalam sekejap. Wajar jika Vio kelimpungan.
"Intinya, semua harta yang Bapak Devan Brajamusti miliki akan diwariskan pada putrinya tanpa kecuali,” ujar Handi sabar. Ia berusaha menyampaikannya dengan kata-kata yang mudah Vio serap. “Namun, ada syarat yang diminta oleh papa kamu."
"Apa?" tanya Vio cepat.
"Kamu harus menikah dengan Ryota setelah lulus kuliah."
"Hah? Menikah?" Detik itu juga Vio seperti tersambar petir. Sekilas diliriknya Ryota yang duduk tepat di sisinya, lalu kembali menatap Handi. "Om jangan bercanda."
"Om serius, Vio. Papa kamu sendiri yang menuliskannya di sini." Handi menunjuk kembali map berisi wasiat Devan.
"Tapi kenapa?" tanya Vio keheranan.
"Papa kamu khawatir karena kamu masih terlalu muda dan kamu tidak punya siapa-siapa lagi. Papa kamu ingin memastikan kalau kamu tetap aman dan papa kamu mempercayakan kamu pada Ryota." Handi coba menjelaskan alasan Devan melakukan hal ini seperti yang beberapa waktu lalu didengarnya sendiri dari pria itu.
"Tapi kan enggak harus sampai nikah juga," keluh Vio pusing. Bukannya ia tidak ingin menikah dengan Ryota. Malah kalau boleh jujur, Vio sangat ingin. Namun, bukan begini caranya. Dalam angan Vio, ia ingin menikah dengan Ryota karena pria itu juga mencintainya, bukan atas dasar suruhan ayahnya. Kalau seperti ini, namanya Ryota terpaksa menikahinya.
"Pesan papa kamu harus, Vio.” Handi menekankan kata ‘harus’ sedemikian rupa. “Karena nantinya Ryota yang akan menggantikan papa kamu mengelola Advaith. Kalau kamu disuruh mengelola Advaith sendiri dalam waktu dekat, pasti kamu tidak sanggup kan?"
"Iyalah, Om.” Gadis itu langsung bergidik ngeri. Bagaimana mungkin seorang gadis yang kuliahnya saja mengambil jurusan musik, tiba-tiba dipaksa mengelola sebuah perusahaan penerbitan? “Vio mana ngerti."
"Makanya, papa kamu menyerahkannya ke tangan Ryota,” tandas Handi. “Oleh karena itu, kehadiran Pak Wira dan Ibu Mega di sini adalah sebagai saksi, juga untuk mengesahkan penunjukkan Ryota sebagai Direktur Advaith."
"Vio masih tetap enggak ngerti apa urusannya semua ini sama menikah." Vio tidak peduli kalau Ryota ditunjuk untuk jadi direktur, ia hanya pusing dengan kata menikah.
"Kalau hal ini, papa kamu tidak menuliskannya di sini. Tapi dari obrolan dengan papa kamu beberapa waktu lalu, Om bisa menarik kesimpulan,” ujar Handi sambil mengenang percakapannya dengan Devan saat ia tengah membantu sahabatnya menyusun wasiat ini. “Papa kamu sepertinya sudah punya firasat kalau dia tidak bisa menemani kamu lagi, dan dia cemas memikirkan hidup kamu kalau dia sudah tidak ada. Satu-satunya orang yang papa kamu percaya adalah Ryota. Jadi sepertinya papa kamu berharap kalau kalian akan terus bersama dan mengikat diri dengan pernikahan."
Tiba-tiba sebuah pertanyaan melintas di benak Vio. "Andai Vio menolak, apa ada yang berubah?"
"Ada. Papa kamu sepertinya sudah memikirkan kemungkinan kamu akan menolak karena dia sangat mengenal kamu.” Tiba-tiba Handi tersenyum geli. “Semua milik papa kamu tidak akan jadi milik kamu, termasuk rumah, kendaraan, dan semua yang saat ini kamu punya."
"Hah?” Seketika Vio melongo. “Terus diwarisin ke siapa?"
"Semuanya akan disumbangkan untuk beberapa yayasan yang sudah ditunjuk."
"Terus nasib Vio?” tanya gadis itu memelas.
"Kamu akan dikirim ke luar negeri untuk melanjutkan studi di sana. Biaya pendidikan kamu akan ditanggung sampai kamu lulus S2, setelah itu tidak akan ada dana yang mengalir lagi untuk kamu."
"Artinya Vio harus cari uang sendiri?" ujarnya ngeri.
"Betul." Handi mengangguk cepat sambil tetap mengulum senyum.
Namun, Vio belum habis akal. "Kalau Vio nolak nikah, nolak ke luar negeri juga?"
Kali ini Handi sudah tidak mampu menahan senyumnya lagi, ia terkekeh pelan. "Kamu harus meninggalkan rumah, kendaraan, dan semua milik kamu yang ada di rumah, intinya benar-benar tidak akan dapat apa-apa lagi, termasuk biaya kuliah pun harus kamu usahakan sendiri."
"Tega banget …," bisik Vio tidak percaya.
"Papa kamu sangat ingin kalian menikah, makanya membuat syarat seekstrim ini.” Handi mencoba memberi pengertian pada Vio agar gadis itu tidak salah paham.
"Kalau Ryota yang menolak?" tanya Vio lagi.
"Itu artinya Ryota melanggar perjanjian kerja yang dibuat di antara mereka berdua dan harus membayar biaya pelanggaran kontrak."
Vio meneguk liurnya. "Jumlahnya?"
"Jangan ditanya." Handi menggeleng sambil tersenyum lebar kemudian membuka kedua tangannya ke udara.
Vio tertunduk lesu. Frustasi sekaligus tertekan. "Jadi ini benar-benar mau enggak mau harus mau dan enggak bisa nolak? Begitu?"
"Tenang, masih ada waktu,” hibur Handi. “Kamu harus menikah setelah lulus kuliah. Sekarang kamu baru semester 5 kan?"
"Hm." Vio mengangguk lesu.
"Masih ada satu setengah tahun lagi," ujar Handi menenangkan.
"Om, Vio mau nanya lagi!" Tiba-tiba semangat Vio kembali.
"Ya?"
"Kalau udah nikah terus cerai?" tanyanya licik.
Seketika itu juga tergelaklah Handi.
"Kok Om malah ketawa?" ujar Vio gusar.
"Papa kamu benar-benar mengenal putrinya dengan baik." Benar kata Devan saat itu, kemungkinan besar Vio akan mencoba berbagai cara untuk menolak, oleh karena itu mereka harus merencanakan sedetail mungkin agar gadis itu tidak berkutik.
"Maksud Om?"
"Papa kamu juga sudah menyiapkan konsekuensi cadangan andai kalian memutuskan bercerai."
"Apa?" tanya Vio penuh harap.
"Semuanya akan disumbangkan lagi ke yayasan."
"Astaga …." Vio yang tadinya sudah bersemangat, kini kembali lesu. Bahunya terkulai seperti orang kalah perang.
"Kalau mau cerai sebenarnya masih bisa," ujar Handi tiba-tiba.
"Serius, Om?" tanya Vio curiga karena wajah Handi terlihat menahan senyum.
"Serius."
"Gimana caranya?"
"Tunggu sampai 25 tahun setelah kalian menikah, kalau saat itu kalian memutuskan bercerai, semua terserah kalian. Papa kamu sudah tidak campur tangan lagi."
"Itu sih sama aja bohong, Om! Apa gunanya? 25 tahun dari sejak menikah sih Vio juga udah jadi nenek-nenek." Gadis itu kini benar-benar putus asa. Dibenamkannya wajahnya dalam-dalam di telapak tangan dan menggeleng kencang-kencang.
"Makanya menikahlah sungguh-sungguh dan jangan bercerai." Hanya itu saran yang bisa Handi berikan.
Perlahan Vio mengangkat wajahnya lalu menoleh ke samping. Mencoba menebak apa yang Ryota pikirkan karena sejak tadi pria itu bungkam. Namun, ekspresi Ryota sangat tidak tertebak.
“Kamu enggak mau coba nolak keputusan Papa?” tanya Vio hati-hati.
Sebagai orang yang mengerti hukum, Ryota paham benar semua yang tadi dibacakan. Dan jawaban yang bisa ia berikan untuk pertanyaan Vio hanyalah sebuah gelengan dan satu kalimat pendek. “Tidak ada gunanya menolak.”