7. Seketika Gelap

1956 Words
3 tahun yang lalu … . . . Malam Minggu selalu jadi waktu yang menyenangkan bagi Vio, karena seorang Devan Brajamusti tidak pernah membatasi pergaulan putrinya. Hanya dua pesan ayahnya, jaga diri baik-baik dan hindari klub malam. Namun, sesekali Vio melanggar larangan ayahnya. Seperti malam ini, Vio tengah menghadiri pesta ulang tahun salah satu teman kampusnya yang diadakan di sebuah klub malam. Vio bukan tidak tahu bahayanya tempat seperti ini, hanya saja ia yakin bisa menjaga diri dengan baik.  Namun, di tengah riuhnya pesta dan ingar-bingar musik yang memekakkan telinga, mata Vio tiba-tiba menangkap kehadiran seseorang yang membuat nyalinya ciut, tetapi sekaligus membuat jantungnya berdetak lebih cepat. Ryota, orang kepercayaan ayahnya sekaligus sosok pria yang diam-diam membuatnya jatuh cinta sejak remaja, tengah berjalan lurus ke arahnya sambil tak lepas menatap mata Vio.  Ryota tidak peduli dengan kumpulan teman-teman Vio yang menatapnya penuh ingin tahu, ia hanya terus mendekat lalu berhenti tepat di depan gadis itu. Hati-hati ia berbisik di telinga Vio. "Bisa ikut dengan saya?" Tanpa menunggu jawaban Vio, Ryota merangkul bahu gadis itu lalu membawanya menjauh dari kerumunan. "Kamu kenapa ke sini?" Vio bertanya hati-hati saat mereka sudah berada di luar.  "Jemput kamu." "Disuruh Papa bawa aku pulang?" Ada sedikit nada tidak suka dalam caranya bertanya. "Bukan. Tapi kita memang harus menemui papa kamu," jawab Ryota sambil terus melangkah membimbing Vio menuju tempat mobilnya terparkir.  "Ada apa?" Entah mengapa Vio tiba-tiba merasakan firasat buruk. Ryota tidak langsung menjawab. Fokusnya saat ini adalah membawa Vio masuk ke mobil secepatnya. Meski penasaran, Vio tidak bisa mendesak Ryota untuk segera bicara. Ia cukup tahu kalau pria ini memang irit bicara. Sosoknya misterius dan sulit didekati. Sudah empat tahun berlalu sejak pertama Vio melihat Ryota bekerja untuk ayahnya, tetapi tidak banyak yang ia ketahui soal pria ini. Padahal, Ryota adalah orang yang cukup sering ditugaskan oleh ayahnya untuk menjaga Vio. Setelah mobil mulai melaju, barulah Ryota bersedia memberi penjelasan. "Pak Devan mengalami kecelakaan, sekarang sedang dibawa ke rumah sakit dan kondisinya cukup buruk." "Kamu serius?" tanya Vio ngeri. "Kamu bukan lagi bohongin aku supaya aku mau ikut pulang, kan?"  "Saya serius, Violet. Kita harus cepat ke rumah sakit," sahut Ryota sungguh-sungguh. Sejujurnya, Vio akan merasa jauh lebih baik andai ini memang sebuah kebohongan saja. Namun, mendengar keseriusan dalam suara Ryota, Vio tahu pria itu tidak main-main. Apalagi ketika melihat sikap pria itu saat menerima panggilan telepon. "Ya?" "..." "Apa kata dokter?" Suara Ryota terdengar sedikit tegang. "..." Sambil mendengarkan penjelasan di seberang sana, Ryota melirik sepintas ke arah Vio. "Harus segera?" "..." Ryota mengeraskan rahangnya. "Sebentar lagi saya sampai." Begitu sambungan berakhir, Vio bisa merasakan Ryota menekan pedal gas lebih dalam dan mobil langsung melaju lebih kencang. "Dari rumah sakit?" bisik Vio hampir tidak terdengar. "Hm." Ryota mengangguk kaku. "Papa … gimana?" tanya Vio takut. Perasaannya sangat tidak enak. Vio tidak bodoh, wajah Ryota saat menerima telepon tadi seolah sudah memberikan gambaran padanya. "Kondisinya buruk. Harus segera dioperasi. Kita harus cepat sampai di sana supaya kamu bisa menandatangani izin operasinya." "Gimana kejadiannya sih? Papa kecelakaan di mana?" Sekuat tenaga Vio berusaha mengendalikan diri agar tidak sampai menangis histeris. Tangannya dikepalkan kuat-kuat hingga buku-buku jarinya memutih. "Saya juga belum tahu. Setelah antar kamu ke sana, saya akan cari tahu soal ini." Malam itu, untuk pertama kalinya Vio merasakan ketakutan yang amat sangat. Hidupnya yang selama ini penuh kestabilan, mendadak terguncang. Satu-satunya orang yang ia miliki di dunia ini, tiba-tiba saja jatuh dalam keadaan antara hidup atau mati dan itu membuat Vio dicekam ketakutan besar. Satu perasaan yang belum pernah ia rasakan selama ini, tiba-tiba saja menggerogoti dirinya. Ia merasa ditinggalkan sendirian dan kehilangan pegangan tanpa ayahnya. "Operasinya sudah dimulai. Saya pergi dulu." Setelah membantu mengurus proses operasi untuk Devan dan memastikan semuanya berjalan lancar, Ryota harus berpamitan pada Vio di depan ruang tunggu operasi. "Jangan pergi …," pinta Vio spontan sambil menahan tangan Ryota. Mendengar Ryota akan pergi, Vio panik. Ia benar-benar butuh seseorang untuk berpegangan dan hanya Ryota uang ada saat ini. "Saya harus cari tahu soal ini," ujar Ryota dengan berat hati. Sesungguhnya, ia juga tidak tega meninggalkan gadis ini sendirian menunggui operasi ayahnya. Namun, ada hal lain yang lebih mendesak. Ia sendiri yang harus mengurusnya. Vio menengadah menatap Ryota yang berdiri di depannya lalu berbisik lirih, "Tapi aku takut."  Ryota sedikit membungkuk lalu meletakkan satu tangannya di bahu Vio. "Saya sudah tempatkan pengawal untuk berjaga di sini. Jangan takut." Vio terus menatap Ryota dengan pandangan memelas, berharap pria itu akan berubah pikiran. Ryota meremas bahu Vio perlahan untuk memberinya semangat. "Saya usahakan kembali secepatnya." Setelah Ryota berlalu, Vio merasakan kekosongan dalam hatinya semakin parah. Kini ia benar-benar sendirian dalam arti sesungguhnya. Meski Ryota mengatakan sudah menempatkan pengawal untuk berjaga, tetap saja keberadaan mereka tidak bisa terlihat oleh Vio. Tidak ada orang yang bisa diajaknya bicara untuk berbagi kecemasan. Tidak ada orang yang bisa menghiburnya saat ini, karena Vio adalah tipe orang yang mudah berteman, tetapi sulit merasa dekat. Sempat terpikir oleh Vio untuk menghubungi dua orang yang satu tahun terakhir ini cukup akrab dengannya. Namun, Vio ingat kalau akhir pekan seperti ini Tita pasti sedang sibuk bertugas di acara pernikahan kliennya, Mia pun sama saja.  Pada akhirnya, Vio memutuskan untuk tetap sendirian saja. Melewati jam demi jam dalam ketidakpastian. Lewat tengah malam, saat kepala Vio sudah terasa sangat berat diserang kantuk dan pusing akibat banyak menangis, Ryota kembali. "Minum dulu." Ryota menghampiri Vio lalu menyerahkan segelas teh hangat ke tangan gadis itu. Sebelum duduk, Ryota melepaskan jas yang dikenakannya, lalu memakaikannya di sekeliling tubuh Vio.  "Makasih," ujar Vio terharu. Tidak disangkanya Ryota akan memperlakukannya sebaik ini. "Ada perkembangan?" Vio menggeleng lesu. "Operasinya masih belum selesai. Tadi dokter sempat keluar untuk kasih tau perkembangan di dalam. Kondisi Papa terlalu buruk, banyak tulang yang remuk dan organ yang hancur." Ryota tidak mengatakan apa-apa. Hanya kepalan tangannya yang menunjukkan bahwa ia tengah berusaha meredam kemarahan. Vio menoleh ke samping lalu bertanya penasaran. "Udah tau gimana kejadiannya?" Ryota mengeraskan rahangnya sebelum menjawab. "Ini kecelakaan yang disengaja." "Tolong kasih tau aku cerita lengkapnya," pinta Vio. "Tadi dalam perjalanan pulang dari Advaith ada yang mengejar mobil Pak Devan di jalan tol. Mobil itu terus melaju sedekat mungkin dan memojokkan mobil Pak Devan sampai akhirnya tergelincir karena jalan juga sedang licin setelah hujan. Mobil Pak Devan menabrak pembatas jalan, berpindah jalur dan terguling ke jurang." "Papa nyetir sendiri?" bisik Vio ngeri. "Pak Devan bersama supir kantor." "Kenapa kamu enggak temani Papa?" tanya Vio sedih. Padahal setahu Vio, Ryota hampir selalu bersama ayahnya dan memang terbukti pria ini selalu bisa diandalkan. Beberapa kali Vio pernah mendengar bahwa Ryota membantu Devan untuk melarikan diri dari situasi berbahaya. "Kalau ada kamu mungkin Papa aman." Kembali Ryota mengeraskan rahangnya. Sejak mendengar kabar Devan mengalami kecelakaan, hal ini juga yang ia sesalkan. Andai ia bersama Devan, mungkin pria itu masih baik-baik saja. Ryota jauh lebih tahu cara mengendalikan situasi berbahaya dibanding seorang supir kantor yang tidak tahu apa-apa. "Pak Devan minta saya menemani kamu karena papa kamu tahu akhir-akhir ini kondisi sedang tidak baik. Ada yang sedang mengawasi kalian terus-menerus." "Musuh Papa?" tebak Vio. Ryota menggeleng lalu segera mengoreksi perkataan Vio. "Papa kamu tidak pernah menganggapnya sebagai musuh, tapi orang itu menganggap Papa kamu sebagai ancaman." "Orang yang lagi ikut pencalonan?" tanya Vio geram. "Ssh!" Ryota cepat-cepat menempelkan telunjuknya ke bibir, meminta Vio untuk berhenti bicara. "Lebih baik jangan dibahas." "Udah berapa kali aku bilang sama Papa, enggak usah ikut campur urusan orang," sesal Vio. Satu per satu air matanya kembali mengalir. Ada rasa sedih sekaligus marah yang saat ini mengaduk-aduk hatinya. "Papa kenapa harus keras kepala sih. Gini kan jadinya." Iba melihat gadis ini, Ryota memberanikan diri merangkul pundak Vio. Mungkin dengan begini, perasaan Vio bisa sedikit lebih baik. "Papa kamu orang baik, Violet. Beliau tidak bisa lihat orang berlaku seenaknya." "Tapi akhirnya Papa sendiri yang kena," ujat Vio di sela isaknya. "Saya akan urus masalah ini." Ryota meremas bahu Vio sambil berujar penuh tekad. "Saya janji tidak akan membiarkan orang yang merencanakan hal ini pada Pak Devan menjalani hidup dengan tenang dan berkeliaran bebas di luar sana." *** Berkat kecerdasan dan kegigihan Ryota mengusut masalah ini, hanya dalam waktu 2x24 jam saja oknum yang mencoba mencelakai Devan Brajamusti berhasil tertangkap dan mulai menjalani proses hukum. Dugaan Vio tidak salah, orang itu adalah salah satu pemain di dunia politik yang tengah berupaya mengikuti pencalonan kepala daerah.  Namun demikian, fakta itu tidak mampu mengubah keadaan. Nyawa pria baik hati itu tetap tidak tertolong. Setelah berada dalam kondisi koma selama delapan hari, Devan Brajamusti harus pergi meninggalkan putri satu-satunya tanpa sempat berpamitan sama sekali. Meninggalkan Vio terpuruk dalam kesedihan dan penyesalan.  Dalam benak Vio terus terngiang, andai ia menuruti ayahnya untuk tidak pergi ke klub malam dan hanya diam di rumah saja, pasti malam itu Ryota akan ada bersama Devan dan mungkin saja kecelakaan itu bisa dihindari. Selama proses pemakaman yang dilakukan selama tiga hari berlangsung, Vio seolah hidup dalam dunianya sendiri. Berjalan di tengah cuaca dingin yang membekukan, di atas pecahan es yang mudah retak dan akan membuatnya tenggelam. Vio tersesat. "Vio, pulang yuk!" bujuk Tita yang berlutut di sisi Vio dan memeluk gadis itu sejak tadi.  Area pemakaman sudah mulai sepi, satu per satu para kenalan sudah meninggalkan tempat itu usai penguburan dilangsungkan. Tinggalah Vio yang masih berlutut di depan pusara ayahnya, ditemani oleh Tita dan Mia di kiri kanannya, juga Ryota yang berdiri mengawasi beberapa meter di belakang. Vio bergeming. Pandangannya hanya tertuju pada foto sang ayah di atas makam. "Vio …." Mia mengusap lembut rambut Vio. "Kalo masih mau di sini, kita temenin ya?" Vio tetap bergeming, tetapi tidak menolak juga. Ia hanya ingin tetap di sini tanpa diganggu. Tidak peduli ada yang menemani atau tidak. Ketiga orang yang menunggui Vio di sana, memilih untuk menghormati keinginan gadis itu. Memberi ruang pada Vio untuk menuangkan semua kesedihan dan rasa kehilangannya di tempat ini. Namun, ketika malam mulai merambat naik dan tidak ada tanda-tanda Vio berniat pulang, terpaksa Ryota yang turun tangan. Sementara Tita dan Mia sudah berpamitan beberapa waktu lalu karena ada hal lain yang harus mereka kerjakan. "Violet, ayo pulang …," bujuk Ryota sambil berjongkok di sisi Vio. Untuk pertama kalinya Vio mau bicara hari ini, tetapi jawaban yang ia berikan membuat Ryota gusar. "Aku mau di sini." "Kamu sudah terlalu lama di sini." Ryota meraih kedua sisi bahu Vio untuk menariknya berdiri. Namun, bukan menuruti ajakan Ryota, Vio malah menepisnya lalu mengusir pria itu. "Aku enggak mau pulang. Kamu pulang aja." "Tidak bisa, Violet. Kamu harus pulang," sahut Ryota tegas. Keadaan Vio yang seperti ini mulai mengkhawatirkan. Gadis yang biasanya ceria ini mendadak berubah 180° dalam tempo beberapa hari. "Enggak mau. Aku mau di sini sama Papa," balas Vio semakin keras kepala. "Kamu bisa sakit kalau terus-terusan di sini, Violet," bujuk Ryota lagi. "Biar,” sahut Vio setengah melamun. Pandangan matanya terlihat kosong dan membuat orang yang melihatnya jadi risau. “Mati juga gapapa, biar bisa nyusul Papa." "Violet! Jangan bicara sembarangan!” Spontan Ryota mengguncang bahu Vio. Ia sungguh terkejut mendengar ucapan gadis itu. “Papa kamu tidak akan suka kalau kamu begini." "Aku juga enggak suka Papa pergi kayak gini!" Mendadak Vio jadi histeris. Tangisnya yang sudah habis sejak siang tadi, kini kembali pecah. "Kenapa Papa harus tinggalin aku? Enggak pamit sama sekali, enggak pesan apa-apa, bahkan enggak ada pelukan terakhir buat aku. Aku enggak rela ditinggalin kayak gini!" Melihat Vio histeris seperti ini, Ryota langsung meraih tubuh gadis itu dan memeluknya erat. Didekapnya Vio untuk menenangkan gadis itu. "Aku takut banget …. Biasa ada Papa …, selalu ada Papa dalam hidup aku. Tiba-tiba aja Papa enggak ada lagi, aku harus gimana?" ujar Vio sambil terisak di d**a Ryota. Ryota mengeratkan pelukannya kemudian berujar sungguh-sungguh. "Ada aku. Aku janji akan jaga kamu seperti permintaan Pak Devan."
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD