6. Nyaris Terjerat

1827 Words
"Apa yang sedang kamu lakukan di sini?"  Ucapan bernada dingin itu mengganggu kesenangan Vio, membuatnya langsung melepaskan pelukan dari Gin lalu menengadah ke samping. Di sanalah ia menemukan sosok Ryota yang berdiri menjulang tengah menatapnya dengan pandangan dingin. Perlahan senyum Vio mengembang. Bukan senyum bahagia, tapi senyum sinis. "Eh, dia nongol di sini!" Ditunjuknya Ryota sambil tertawa meremehkan. "Nyasar ya? Ini bukan rumah loh, bukan kantor juga." "Ayo, pulang!" ujar Ryota datar. "Pulang?" Vio tertawa geli lalu mengibaskan tangan mengusir Ryota. "Kamu aja, aku enggak mau." Ryota menyambar lengan Vio lalu berkata dengan nada gusar. "Pulang, Violet!"  "Enggak usah maksa!" Vio menyentakkan tangannya dengan kasar dan menatap berani pada Ryota. "Orang dibilang enggak mau!" Ryota menundukkan badan hingga mata mereka sejajar. Ditatapnya Vio dengan dingin lalu berbisik tajam, "keluar dari sini dengan kaki kamu sendiri atau perlu saya yang angkat kamu keluar?" Vio terkejut melihat sikap Ryota yang seperti ini. Selama tujuh tahun Vio mengenal Ryota, yang ia tahu pria ini adalah sosok yang sopan dan tenang. Tidak pernah sekali juga Ryota terlihat kesal meski kerap diperintahkan oleh Devan menjagai Vio yang berulah. Tidak pernah Ryota menunjukkan kemarahan meski Vio kerap melawan perintah Devan yang disampaikan melalui pria ini. Namun sekarang, Ryota terlihat arogan dan terkesan mengancam.  "Enggak usah main ngancem deh! Aku enggak takut!" Namun, bukan Vio namanya kalau gentar oleh gertakan, yang ada dia malah akan semakin keras kepala. Melihat kekeraskepalaan Vio, Ryota melaksanakan ucapannya untuk membuktikan bahwa kata-katanya bukan ancaman belaka. Tanpa peringatan lagi, Ryota mengangkat tubuh Vio dan membopongnya dengan mudah.  "Turunin!" protes Vio antara malu juga jengkel. Ryota tidak memedulikan protes Vio. Ia berpamitan singkat pada Ry, Tita, dan Gin, yang sejak tadi mengamati dalam diam. "Saya bawa Violet pulang dulu. Minuman Violet sudah saya minta agar billnya dikirim ke saya. Kalau kalian masih ingin di sini, masukkan pesanan kalian ke bill yang sama. Saya permisi." Meninggalkan klub malam dalam kondisi digendong oleh Ryota benar-benar membuat perasaan Vio tidak karuan. Kalau awalnya hanya malu dan jengkel yang ia rasa, lama-lama ada rasa lain yang menyusup dalam hatinya saat merasakan dekapan Ryota. Ada gugup juga senang. Konyol bukan? Maka begitu Ryota menurunkannya di dalam mobil, Vio langsung berlagak tidur untuk menghindari bertatapan dengan pria itu. "Berapa banyak yang kamu minum?" tanya Ryota dingin saat mobil sudah mulai melaju. Vio diam saja. "Tidak perlu pura-pura tidur. Saya tahu kamu masih bangun." "Enggak ngitungin," jawab Vio ketus. "Kenapa kamu minum-minum?" Perlahan Vio membuka matanya lalu menoleh ke samping, menatap sinis pada Ryota. "Ngapain nanya? Katanya urus hidup masing-masing, kenapa juga jadi sok perhatian?" "Bukan perhatian. Ini sekadar kewajiban saya untuk mengawasi kamu." Vio tersenyum sinis. "Kewajiban ternyata." "Jadi kenapa minum-minum?" "Karena kesel. Gitu aja ditanya." "Kalau kesal harus pergi ke klub malam?" Entah ini sungguh pertanyaan serius ataukah sebuah sindiran.  "Emang harusnya ke mana?" tanya Vio menantang. "Ke gereja gitu? Minta didoain biar setàn-setàn jahat pada keluar dari badan aku?" "Ke mana saja asal bukan tempat seperti itu." "Masalah buat kamu? Urusan kamu?" sindir Vio tajam. "Lupa dengan pesan papa kamu?" balas Ryota tenang. Diungkit soal ayahnya, Vio langsung mendelik kesal. "Kenapa jadi bawa-bawa Papa?" "Pak Devan yang meminta agar saya memastikan supaya putrinya menjauhi tempat-tempat yang akan membawa pengaruh buruk untuk hidupnya." "Enggak usah jadiin Papa sebagai alasan buat tekan aku deh!" sembur Vio kesal. Ryota melirik sepintas dengan tatapan dinginnya. "Saya cuma bicara tentang kenyataan yang dulu Pak Devan lakukan dan sedang berusaha menjalankan pesan beliau untuk menjaga kamu." "Kamu pikir aku akan nurut?" tanya Vio dengan nada meremehkan. "Dulu aja aku enggak dengar larangan Papa dan tetap pergi dugem tanpa ketauan." "Kamu pikir Pak Devan tidak tahu?"  "Udah deh! Stop bahas soal Papa!" tandas Vio jengkel. Semakin banyak Ryota mengingatkan soal Devan, rasa bersalahnya semakin besar saja karena Vio sadar selama ayahnya hidup ia sering sekali membangkang. "Kalau kamu tidak bertingkah aneh malam ini, saya juga tidak akan mengungkit tentang Pak Devan," balas Ryota tenang. "Kalo buka gara-gara kamu, aku juga enggak bakalan dugem lagi!" sembur Vio penuh emosi. "Kenapa menyalahkan saya?" tanya Ryota tidak mengerti. Vio melotot tidak percaya mendengar kata-kata pria ini kemudian mendesis tajam, "dasar enggak peka!" "Apa?"  Vio masih melotot beberapa saat lagi sebelum akhirnya membuang muka dan bungkam hingga mereka tiba di rumah. "Kamu bisa jalan sendiri?" tanya Ryota ketika mobil sudah berhenti di depan teras. "Sok peduli lagi dia." Alih-alih menjawab dengan benar, Vio hanya mencibir lalu langsung turun meninggalkan Ryota. Tidak peduli apakah pria itu kesal atau tidak dengan kelakuannya. Kesalkah Ryota? Jelas! Namun, Ryota tidak mengatakan apa-apa lagi. Ia hanya berjalan tenang mengikuti langkah Vio, memastikan gadis itu masuk ke kamar dan tidak berulah lagi. Tidak lupa Ryota berpesan pada staf keamanan untuk memastikan Vio tetap di dalam rumah sampai besok pagi, hanya berjaga-jaga andai gadis itu berniat kabur seperti kebiasaannya saat remaja. Niat Ryota untuk tetap diam jadi batal karena langkah Vio tiba-tiba terhuyung saat menaiki tangga. Ryota dengan sigap langsung mengejar dengan langkah lebar dan menopang tubuh Vio yang hampir terjatuh. "Lepas!" Konyolnya, alih-alih berterima kasih, Vio yang sudah mabuk parah malah mendorong Ryota dengan kasar. "Aku bisa sendiri." Ryota tambah jengkel? Sudah pasti! Apalagi ketika Vio dengan seenaknya membuka pintu yang bukan menuju kamarnya. Cepat-cepat Ryota menutup kembali pintu yang sudah sempat Vio buka dan menahannya. "Mau ke mana, Violet?" "Tidur." "Ini kamar saya." Vio menengadah dan menatap berani mata Ryota. "Ini kamar aku juga." "Kalau begitu silakan kamu tidur di sana malam ini." Ryota mengalah lalu membukakan pintu untuk Vio sementara ia sendiri menjauh. Vio menyambar cepat lengan Ryota untuk menahannya. "Kamu mau ke mana?" "Saya akan ke paviliun." Entah apa yang ada dalam pikirannya saat ini, tapi tiba-tiba saja Vio mendekat lalu memeluk tubuh Ryota dengan berani. "Kamu harus di sini sama aku."  "Violet, lepas!" Ryota berusaha menurunkan lengan Vio yang memeluk pinggangnya. "Enggak mau," tolak Vio keras kepala. Malah ia semakin erat memeluk Ryota. Membenamkan wajahnya di dàda bidang Ryota dan menghirup dalam-dalam aromanya yang memabukkan. "Violet …," erang Ryota frustasi sambil terus berusaha melepaskan diri. Perlahan Vio mengangkat wajahnya dan menatap Ryota dengan pandangan sedih. "Apa salah kalau aku peluk kamu?" Pertanyaan Vio dan tatapan terluka di mata gadis itu membuat Ryota tidak bisa menjawab apa-apa. Detik selanjutnya, tangan Vio yang tadinya melingkari pinggang Ryota, kini naik merengkuh tengkuk pria itu. Keduanya saling bertatapan, dalam dan cukup lama. Kemudian dengan penuh keberanian Vio mendekatkan bibirnya hingga menyentuh bibir Ryota. Mencicip untuk pertama kalinya rasa bibir Ryota yang selalu membuat Vio penasaran. Manis. Vio tidak mencium Ryota dengan menggebu. Hanya menyatukan bibir mereka saja dan itu sudah cukup membuatnya semakin mabuk. Ketika jantungnya semakin menggila, Vio tersadar kalau tingkahnya sudah keterlaluan. Dengan perasaan tidak rela, Vio menjauh bibirnya kemudian kembali menengadah. "Salah kalau aku cium kamu?"  Awalnya Vio mengira kalau Ryota akan mendorongnya kuat-kuat, tapi ternyata respon pria itu sungguh di luar dugaan. Tangan Ryota yang sejak tadi berusaha menepis Vio menjauh, kini malah merengkuh pinggang gadis itu. Membawa tubuh Vio menempel rapat dengan tubuhnya sendiri. Sebelah tangannya yang lain ia gunakan untuk meraih tengkuk Vio. Ditatapnya Vio dengan pandangan yang sulit diartikan, lalu Ryota menunduk dan menyatukan kembali bibir mereka. Kini, bibir mereka bukan hanya saling bersentuhan ringan, tapi ada pagutan penuh hasrat yang menyertainya. Entah siapa yang memulai, tapi saat ini keduanya perlahan bergerak selangkah demi selangkah memasuki kamar pengantin mereka sambil terus saling memagut. Langkah mereka terhenti ketika kaki Vio menyentuh tempat tidur. Ia tidak bisa bergerak mundur lagi dan akhirnya mereka terjatuh ke atas tempat tidur dengan posisi tubuh Ryota menindihnya. Dalam situasi seperti ini, sulit rasanya untuk berhenti. Bagaimanapun juga, Ryota seorang lelaki. Alih-alih berhenti, Ryota malah melakukan yang lebih lagi. Di saat kepala Ryota sudah penuh kabut dan logikanya melayang jauh, satu desahan kecil yang lolos dari bibir Vio berhasil menyadarkan pria itu.  Sekuat tenaga ia berusaha berhenti lalu berbisik parau, "ini salah …." "Kenapa?" Seketika Vio merasa kehilangan. Dekapan Ryota mengendur dan perlahan pria itu menjauh. Ketika Vio berusaha meraih tubuh Ryota kembali, pria itu menepisnya dan bangkit dengan kasar.  Ryota duduk di ujung tempat tidur sambil memegangi kepalanya. Berusaha meredakan gejolak yang terlanjur bangkit.  "Salah kalau aku ingin seperti perempuan lain yang bisa menghabiskan malam bersama suaminya?" Vio tahu sikapnya memalukan, tapi ia tidak peduli. Ia ikut bangkit dan memeluk Ryota dari belakang. Meletakkan kepalanya di punggung Ryota yang sudah tidak tertutup pakaian. Vio bahkan tidak ingat sejak kapan kemeja suaminya terbuka. "Aku tau kamu cuma terpaksa nikahin aku, tapi apa salah kalau aku berharap kita bisa menjalani pernikahan layaknya pasangan normal?" Kali ini Ryota tidak tergoda lagi. Ia meronta lepas dari pelukan Vio lalu segera berdiri menjauh sebelum gadis itu menjeratnya lagi. "Jangan pernah coba mendekati saya lagi!" "Tega banget kamu," bisik Vio lirih. Setelah kehangatan berbalut gairah yang sempat mereka cicipi, kini Ryota menolaknya dengan kejam. Hatinya terluka. "Segitu bencinya kamu sama aku? Aku cuma berharap bisa punya pernikahan yang bahagia, apa itu salah? Apa terlalu muluk?" Ryota memungut kemejanya di lantai lalu memakainya asal. Melihat Ryota memakai kembali kemejanya, refleks Vio melirik keadaannya sendiri yang juga sudah berantakan. Namun, setidaknya belum ada pakaiannya yang tanggal.  "Dengar baik-baik, Violet," ujar Ryota yang kini berdiri bersandar di dinding dekat jendela. "Sampai kapan pun, tidak akan pernah ada kata normal dalam pernikahan ini. Jadi jangan harapkan kebahagiaan dari pernikahan ini. Cari kebahagiaan kamu dari tempat lain." Vio menggeleng tidak percaya. "Aku tau kamu enggak cinta sama aku. Tapi kenapa harus ngomong gini padahal kita nikah baru berapa hari sih? Kamu enggak mikir keadaan bakal berubah?" Ryota tersenyum sumbang. "Jangan buang-buang waktu berusaha untuk mengubah keadaan, karena itu tidak akan pernah terjadi. Meski tahun-tahun berlalu, semua akan tetap begini." "Kamu terlalu cepat ambil kesimpulan," bisik Vio kecewa lalu menyuarakan harapnya sendiri. "Kamu enggak mikir kalau cinta bisa tumbuh di antara kita?" Ryota langsung menggeleng tegas. "Jangan berharap saya akan mencintai kamu, jangan menunggu saya membuka hati untuk kamu, karena saya juga tidak mengharapkan kamu mencintai saya." Vio tertegun. Ia hanya bisa diam sambil memandangi punggung Ryota yang menjauh menuju pintu kamar. "Dan terakhir, ingat ini baik-baik," ujar Ryota tepat sebelum menghilang dari kamar. "Sampai kapan pun, saya tidak akan pernah menyentuh kamu. Jadi jangan berpikir untuk mencoba mengulang kejadian malam ini." Kalimat terakhir yang Ryota ucapkan membuat hati Vio terasa sangat sakit saat ini. Tanpa bisa dicegah lagi, air mata Vio mengalir begitu saja. Si gadis tangguh yang keras kepala ini akhirnya menangis.  Lama Vio masih termenung di kamar itu, tempat yang seharusnya menjadi kamar mereka bersama, tapi yang nyatanya hanya jadi angan belaka. Setelah mengucapkan kata-kata kejamnya, Ryota meninggalkan Vio sendirian di kamar itu dan tidak kunjung kembali. Meninggalkan Vio dengan goresan luka di hatinya, membuatnya tersadar bahwa hidupnya tidak lagi sempurna. Selama ini, Vio hidup penuh bahagia. Meski ia kehilangan ibunya tidak lama sejak dilahirkan, Vio tidak pernah kekurangan kasih sayang. Ayahnya melimpahi Vio dengan kasih sayang dan perhatian yang ia butuhkan. Hidupnya begitu sempurna, penuh kemudahan, dan membuat semua orang iri padanya. Sampai akhirnya semua mulai berubah saat ayah yang begitu Vio cintai meninggal secara tiba-tiba. 
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD