5. Dugem di Tempat Martabak

1983 Words
Vio berjalan keluar meninggalkan ruang kerja Ryota dengan kekesalan yang menggunung. Langkahnya begitu cepat dengan pandangan lurus ke depan, sama sekali tidak peduli pada orang lain yang berpapasan dengannya. Begitu masuk ke dalam lift, yang saat itu kebetulan sedang kosong, Vio segera mendial nomor Ry. "Ry, di mana?" sapa Vio ketus. "Ry lagi di rumah. Vio kenapa?" Suara di sana terdengar keheranan. Memang Vio biasanya ketus, tapi bukan yang seperti ini.  "Gue mau ke sana. Tungguin. Jangan ke mana-mana." "Vio lagi kesel ya?" tebak Ry. "Gue cerita nanti aja," sahut Vio singkat. "Oke. Tapi Vio mau ke sini naik apa?" Pertanyaan Ry membuat Vio kembali teringat ucapan Ryota tadi. "Mobil." "Nyetir sendiri?" tanya Ry khawatir. "Iyalah!" Jengkelnya yang memang belum reda langsung kembali memuncak. Kenapa juga Ry harus menanyakan hal yang persis sama dengan Ryota tadi? "Jangan nyetir sendiri, Vio lagi kesel gitu nanti kenapa-napa. Naik taksi online aja," bujuk Ry. "Atau mau Ry jemput?" "Gue panggil taksi online aja. Kelamaan nunggu lo jemput," putus Vio. Meski sebenarnya ingin cepat pergi dari Advaith, Vio terpaksa harus menunggu beberapa waktu lagi hingga taksi pesanannya tiba. Ingat! Ini bukan karena Vio menuruti perkataan Ryota, melainkan Ry. Menjelang magrib, akhirnya Vio tiba di rumah Ry. Ia langsung masuk ke dalam dan bertemu dengan ibunda Ry di teras. "Malam, Tante," sapa Vio sopan dengan gaya anggunnya.  "Eh, ada pengantin baru!" ujar Ivana senang lalu langsung menggoda Vio. "Baru nikah kok mainnya sama Nia lagi. Enggak dimarahi sama suami?" "Enggak kok, Tante." Vio menjawab penuh senyum sambil dalam hati menggerutu. Enggak mungkin banget dia marah, seneng malah yang ada enggak perlu liat muka gue. "Oh, iya!" seru Ivana tiba-tiba. "Seingat Tante, tadi pagi Nia bilang mau pergi antar kamu ke bandara, mau berangkat honeymoon katanya. Kok Vio masih di sini? Tante yang salah ingat apa Nia yang bohong ya?" "Oh …, ngg itu … jadi …." Langsung saja Vio gelagapan. Beruntung bala bantuan segera tiba. "MAMA! STOP!" Ry menerjang ke tengah Vio dan Ivana bak superhero yang siap membela penduduk kota. "Aduh, Nia!" keluh Ivana jantungan. "Kalem sedikit dong. Kamu selalu ini gerabak-gerubuk. Bikin Mama jantungan aja. Coba belajar dari Vio tuh. Sudah cantik, kalem, tenang, pembawaannya dewasa." "Iya, Ma, iya …. Sama juga kayak anak pertama Mama yang sempurna, kan? Putri nan ayu lagi jelita," sahut Ry bosan. "Ry sih apa deh, kayak abang-abang pengkolan." "Tiap dikasih tahu, selalu bantah. Malah lebih galak dari orang tua," decak Ivana kesal. "Vio, diajari dong Nia ini supaya bisa kayak kamu sedikit aja." "Iya, Ma. Nanti Ry belajar. Sekarang Ry mau ke belakang dulu, oke? Bye, Mama!" Dan Ry segera menarik tangan Vio lalu membawa gadis itu kabur ke belakang.  Di rumah ini, Ry memang tinggal sedikit terpisah. Ia membangun 'kerajaannya' sendiri di halaman belakang, berupa sebuah paviliun kecil tempat Ry bebas berbuat suka-suka. Berantakan pun tak ada yang protes. Jerit-jerit pun tak ada yang larang. Pokoknya Ry bebas. Berbeda dengan waktu masih tinggal di dalam rumah bersama ayah, ibu, dan kakaknya. Saat itu Ry selalu kena omel karena kelakuannya yang miring. "Vio, maafin mamanya Ry yang cerewet bin kepo itu ya. Untung Ry dateng tepat waktu sebelum Nyonya Abimanyu makin kepo dan bikin Vio naik darah," ujar Ry lega begitu sudah masuk ke paviliunnya. "Gue enggak pernah naik darah kok sama nyokap lo," sahut Vio cuek. "Iya sih, secara nyokap Ry sayang banget sama Vio yang dianggep turunan ningrat ini," sindir Ry gemas. Andai saja Ivana tahu sisi beringas Vio, pasti ibunya tidak akan lagi menyanjung sahabatnya ini. "Bukan gara-gara itu kali." Vio langsung membantah tuduhan Ry. "Lo tuh harusnya bersyukur, Ry. Biar cerewet kayak gitu juga, lo masih punya nyokap yang peduli sama lo. Daripada kayak gue? Mau lo?" "Maaf deh, Ry enggak ngomong gitu lagi." Kalau sudah bahas soal ini, Ry pasti kicep. Sadar kalau nasibnya memang masih lebih baik dibanding Vio yang tidak mengenal ibunya sejak lahir ditambah lagi kehilangan ayahnya juga tiga tahun lalu. "Udah ah! Maap-maapan mulu," gerutu Vio sambil mengempaskan tubuh ke atas tempat tidur Ry. "Gue ke sini kan mau cari seneng-seneng, lo jangan gini dong!" "Oke, siap! Vio mau Ry ngapain? Lawak? Sirkus? Sulap? Kayang? Koprol?" ujar Ry sambil berjoget tanpa malu dan cengar-cengir tidak jelas. "Bilang aja, Ry pasti lakuin!" Perlahan wajah Vio berubah licik lalu bangkit duduk dengan cepat. "Temenin gue dugem yuk!"  "Eladalah!" Ry langsung lompat ke tempat tidur lalu menggoyangkan telunjuknya di depan wajah Vio. "Ndak baik loh itu." "Ry, ah! Ayo, temenin!" paksa Vio. "Yang lain aja deh, jangan dugem," tolak Ry memelas. "Ya ya?" "Kenapa sih?"  Ry berkedip-kedip centil lalu menjawab dengan sok manis. "Ry ini kan anak baik, masih polos, suci hati dan pikirannya. Jangan dinòdai dong, Vio!" "Gue selepet juga nih pantàt lo!" ancam Vio galak. "Gue serius, Ry!"  "Enggak mau ah! Main basket aja yuk!" usul Ry untuk mengalihkan pikiran Vio dari keinginan pergi dugem.  Vio mendelik sebal. "Emoh!"  "Hm …, kasti?" "Ogah!" sahutnya ketus. "Ten-" Baru saja Ry akan mengusulkan tenis meja, tapi sudah keburu dipotong oleh Vio. "Lo enggak mau temenin? Gue pergi sendiri aja," ujar Vio tenang, tapi sarat ancaman. Nyatanya, siasat Vio berhasil. "JANGAN!" seru Ry panik lalu sedetik kemudian melanjutkan kata 'jangan' yang telah ia ucapkan menjadi sebuah lagu. "Lah kau begitu padaku, Sayang." "Jijik, ih!" hardik Vio. Ry langsung menggamit lengan Vio dengan mesra. "Ry, temenin aja. Mana tega Ry biarin Vio sendiri." "Bagus! Gitu dong dari tadi!" "Tapi Ry takut," ujarnya dengan gaya sok imut. "Takut apa?" "Takut di tempat dugem. Banyak pemangsa dan predator nakal." "Ck! Cemen, ah!" "Gimana kalo kita ajak Tita juga?" usul Ry tiba-tiba. "Emang dia bisa jagain kita?" sahut Vio meremehkan. "Yang ada kita yang jagain dia kali! Anak enggak tegaan gitu, mana mau disuruh mukul orang?" "Emang kita mau berantem?" Seketika Ry bengong. Vio memutar bola matanya dengan tidak sabar. "Jaga-jaga, Ry! Kan katanya lo takut. Ya kalo ada predator macem-macem, pasti langsung gue karate di tempat. Nah kalo si Tita? Yang ada dia malah nangis kasian liat orang berdarah abis gue gibeng." Ingat! Vio ini meski tampilannya cantik jelita dan terkesan anggun, aslinya galak dan tidak kenal takut. Apalagi dirinya dibekali dengan keahlian bela diri sejak kecil oleh sang ayah, jadilah terkadang si Cantik ini tingkahnya mirip tukang tagih hutang.  "Iya, Ry juga tau. Tita enggak ada gunanya buat jagain kita, tapi Gin kan berguna," ujar Ry dengan senyum licik. "Ajak si Gin juga?" "Iya dong!" "Emang dia mau?" ujar Vio sangsi. "Gin mana ngasih Tita dugem sendiri? Kalo kita culik Tita, Gin pasti bakal ikut buat nemenin." Ry mengatakannya sambil menaikturunkan alis dengan cepat. Sontak mata Vio ikut berbinar senang. "Terkadang lo cerdas juga, Ry!" Vio dan Ry langsung bersiap lalu berangkat untuk menjemput Tita. Mereka bahkan baru menghubungi Tita saat sudah dalam perjalanan menuju apartemen Gin. Sekitar 40 menit kemudian, keduanya muncul dengan cerah ceria di apartemen Gin. "Halo, Ginjiro Hayashi!" sapa Ry bersemangat. Gin menatap curiga pada kedua perempuan yang muncul tanpa pemberitahuan di pintu apartemennya. "Ngapain kalian malem-malem ke sini?"  "Mau culik Tita," sahut Ry ceria. "Ke?" "Dugem," sahut Vio datar. "Hm?" Gin langsung menaikkan kedua alisnya. "Mau ngelarang ya?" goda Ry. "Emang Tisha mau?" balas Gin sangsi. Sahabatnya itu paling malas diajak dugem dan kalau sampai mau pun pasti akan selalu minta Gin menemani. "Dia lagi siap-siap, kan?" balas Vio tenang. "Tuh anaknya!" Ry menunjuk ke arah belakang Gin. "Ayo, Ta!" Vio langsung menggeser Gin ke samping lalu menarik tangan Tita. "Sha, lo mau dugem?" tanya Gin heran. "Dugem?" ujar Tita bingung. "Enggak kok." Gin menunjuk kedua sahabat perempuan Tita. "Kata mereka mau dugem." Tita menatap bingung pada Vio dan Ry. "Katanya mau cari martabak?" "Udah, ayo!" sahut Vio tidak sabar. Ditariknya Tita menjauh meninggalkan apartemen Gin. "Woi!" Dengan sigap Gin langsung menyambar tas Vio hingga gadis itu tidak bisa kabur. "Yang bener! Pada mau ke mana?" "Dugem," ujar Vio kalah. "Gue ikut," putus Gin cepat. "Apa Ry bilang," ujar Ry sambil berbisik saat menunggu Gin berganti pakaian. "Gin enggak akan biarin Tita dugem tanpa pengawasan." "Kalian bohongin aku?" tanya Tita curiga. Maklum, meski usianya paling tua di antara mereka bertiga, Tita ini justru yang paling polos dan sangat mudah dibodohi. Ry menggeleng cepat. "Enggak kok." "Mau dugem apa beli martabak jadinya?" tanya Tita penasaran. "Mungkin beli martabak di tempat dugem," jawab Vio seenaknya. "Mana ada?" protes Tita. "Kalo gitu dugem di tempat beli martabak," sahut Vio semakin asal. "Vio! Aku serius nih!" rengek Tita gemas. "Kita mau dugem, Ta. Vio lagi …." Ry membuat gerakan mengiris leher dengan telunjuknya. Memberi kode kalau Vio lagi dalam mode senggol bacok maksudnya. Tita tidak berkata apa-apa lagi, hanya perlahan matanya melebar lalu manggut-manggut kecil. "Mau bantah?" ujar Vio dingin. "Enggak kok." Cepat-cepat Tita menggeleng. "Tita enggak bilang apa-apa." Memang Vio ini kalau sedang kesal sangat menakutkan. Dalam keadaan normal saja Vio memang sudah galak, apalagi kalau sedang begini. Mending cari aman. Akhirnya, baik Tita juga Ry hanya bisa pasrah menemani Vio pergi ke tempat yang diinginkannya untuk berbuat sesuka hati. Padahal mereka tahu, sejak Devan Brajamusti meninggal, Vio sebisa mungkin menghindari klub malam. Entah karena apa, Vio tidak pernah mengatakannya. "Vio tadi jadi ketemu sama Babang Ryo-"  Vio memotong ucapan Ry sambil menenggak minuman di gelasnya. "Jangan berani-berani sebut nama dia hari ini!" Ry langsung kicep mendengar ancaman Vio. Padahal dikiranya kemarahan Vio sudah mereda setelah hampir dua jam berada di tempat ini, asyik minum dan ngobrol ngalor ngidul bersama mereka. Ry juga berani bertanya karena mengira Vio sudah mulai mabuk. Ternyata Ry salah duga. "Vio enggak bikin masalah kan di Advaith?" tanya Tita hati-hati. Vio hanya melarang menyebut nama Ryota, bukan? Kalau mengajukan pertanyaan lain harusnya masih aman. Vio memicingkan mata menatap ke arah Ry yang duduk di sisinya lalu berganti menatap Tita yang duduk berseberangan dengannya. "Masalah kayak gimana?" Ry dan Tita saling berpandangan. Tidak berani mengungkapkan isi kepala masing-masing. Namun, terekam jelas dalam ingatan mereka semarah apa wajah Vio tadi saat meninggalkan bandara menuju Advaith. Vio mengdengkus geli. Sadar maksud pertanyaan keduanya. "Tenang …, enggak ada barang pecah, enggak ada darah." "Fiuh …," gumam Tita lega. "Syukurlah …," desah Ry tenang. "Kalian kira gue preman, hm? Gue masih inget buat jaga image. Tenang aja. Gitu-gitu juga kan itu kantor bokap gue, enggak mungkinlah gue bikin huru-hara." "Vio, hapenya getar terus tuh." Ry menunjuk ponsel Vio yang tergeletak di atas meja bersama deretan botol dan gelas kosong. "Biarin," sahut Vio malas. "Coba cek dulu, mungkin orang rumah," ujar Ry mengingatkan. "Atau siapa tau dari Mas …." Tita tidak jadi melanjutkan ucapannya karena langsung teringat ancaman Vio sebelumnya. Namun lucunya, Vio tahu maksud Tita dan langsung menanggapi dengan sinis. "Enggak mungkin banget dia neleponin gue. Paling juga Mbok Darmi." "Ya angkat dong, kasian kan Mbok Darmi," desak Ry. "Pasti Mbok Darmi khawatir banget nyariin Vio." "Liat nih!" Vio mendorong ponselnya ke tengah meja. "Bukan Mbok Darmi, jadi enggak perlu diangkat." "Nanti Mas Ryota marah enggak, Vi?" tanya Tita setelah melihat nama sang penelepon. "Bodo amat! Enggak urusan," sahut Vio geram. "Sekalian nih gue matiin." "Vio, udah minumnya. Jangan dilanjut lagi," tegur Ry ketika melihat Vio semakin tidak terkendali. Jarak dari satu tegukan ke yang lainnya sudah semakin tanpa jeda.  "Baru dikit," ujar Vio cuek. "Dikitnya Vio tuh udah bisa bikin Ry pingsan tau," sahut Ry cemas. "Biar aja kalo dia masih mau minum." Gin yang sejak tadi lebih banyak diam tiba-tiba bicara. "Tumben lo baik." Vio tertawa sinis. "Daripada marahnya enggak tersalur, besok-besok malah makin parah. Kalo dia puas mabok, lusa juga udah happy lagi," ujar Gin menjelaskan alasannya. "Ah, Gin! Lo kadang pengertian banget sama gue." Vio terkekeh senang. "Jangan asal nemplok woi!" seru Gin panik karena Vio tiba-tiba saja bangun dari tempatnya lalu berpindah ke sebelah Gin, bahkan bergelayut manja pada pemuda itu. "Violet …." Tiba-tiba saja Vio mendengar seseorang memanggilnya dengan nada dingin yang menyebalkan. Tanpa perlu menoleh pun, Vio sudah tahu siapa itu. Hanya satu orang yang memanggilnya Violet.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD