4. Aksi Ban Tubles

1833 Words
“Deuh, yang mau asoy-asoyan!” goda Ry sambil menyenggol bahu Vio yang duduk tepat di sebelahnya. “Eh, eh!” Tita berseru dengan mata berbinar yang terlihat mencurigakan. Ia meraih tangan Vio dari seberang meja lalu mengguncangnya. “Gimana rasanya ditubles?” “Ditubles! Lo kira gue ban!” sembur Vio jengkel. “Enggak usah sok menghindar. Ayo, jawab!” Mia juga jadi ikut-ikutan penasaran. Sejak acara pernikahan Vio seminggu yang lalu, memang baru hari ini mereka kembali bertemu. Saat ini mereka tengah berkumpul di kedai kopi bandara sebelum Vio berangkat untuk menikmati bulan madunya bersama Ryota. “Belum diapa-apain,” ujar Vio menahan malu. “Masa?” tanya Mia terkejut. Ia yang sudah berpengalaman, jelas kaget mendengar bisa-bisanya pengantin baru tidak melakukan aksi ban tubles padahal sudah satu minggu berlalu. “Serius, Mbak.” “Kok, kuat iman banget ya laki lo? Liat ikan asin ngegeletak di samping, kok bisa enggak tergiur,” ujar Mia terheran-heran. “Idih! Ry sih kalo tidur di sebelah ikan asin yang ada bukan tergiur malah pengin muntah, Mbak! Bau!” “Cùlun, ah! Itu kan perumpamaan,” omel Mia. “Oh …,” gumam Ry takjub. “Tapi bener kata Mbak Mia, aku juga salut.” Tita mengangguk setuju. “Jangankan yang udah sah, yang belum sah aja udah banyak yang enggak tahan. Berapa banyak pasangan pengantin yang nikah sambil di perutnya udah ada isi?” “Dia bukan kuat iman, tapi dia emang enggak liat apa-apa!” tutur Vio jengkel. “Gimana mau tergoda?” “Maksudnya dia buta?” tanya Ry terkejut. “Bukan! Dia enggak tidur bareng gue! Jadi enggak liat gimana mòlek dan aduhainya body gue.” “Pantes aura-aura bìtchy-nya Vio melemah. Ternyata enggak bersambut hàsratnya,” celetuk Ry geli. “Siàl lo!” sembur Vio murka.  “Laki lo mana, sih? Lama banget,” ujar Mia tidak sabar. Sudah satu jam lebih mereka menemani Vio di bandara, tapi tanda-tanda kedatangan Ryota belum juga terdeteksi. “Jangan-jangan enggak dateng,” celetuk Tita asal. “Dia emang bilang enggak mau berangkat honeymoon.” “Lah? Terus Vio ngapain masih ngotot berangkat juga?” tanya Ry heran. “Siapa tau dia berubah pikiran.” “Daripada pàntat gue tambah kesemutan duduk kelamaan di sini, mending telepon laki lo deh, Vi. Tanyain dia di mana sekarang,” ujar Mia kesal. Perasaannya mengatakan akan terjadi sesuatu yang buruk hari ini. Setelah mencoba menuruti saran kepala suku, Vio berujar gemas. “Enggak diangkat, dong!” “Kalo dia beneran enggak dateng, kamu tetep berangkat?” tanya Tita hati-hati. “Ya, enggaklah! Males aja! Lagian yang ada dia kesenengan berhasil ngusir gue!” seru Vio tidak terima. Ketiga sahabatnya paham dengan kegelisahan Vio. Mereka memilih mengalihkan pembicaraan hingga waktu tidak bisa lagi diabaikan. “Vi, waktu boarding kamu udah lewat.” Tita yang terbiasa mengurusi jadwal orang-orang akhirnya menegur Vio hati-hati. “Yuk, cabut aja!” ajak Vio kaku. “Beneran, nih?” tanya Ry ragu. “Abis mau apa lagi? Ogah aja berangkat sendiri!” sahut Vio gusar. “Kamu mau ke mana?” tanya Mia pelan. “Ke Advaith.” Advaith adalah perusahaan penerbitan sekaligus percetakan miliki Devan Brajamusti yang diwariskan pada Vio. Namun, selama ini masalah pengelolaan diserahkan pada Ryota, seperti yang tertulis dalam surat wasiat Devan. Vio sendiri hampir tidak pernah ke Advaith kalau bukan karena ada urusan penting. “Ngapain?” tanya Tita waswas. Ia tahu semengerikan apa Vio kalau sudah marah, dan saat ini jelas gadis itu tengah kesal pada suaminya yang tidak datang ke bandara padahal seharusnya mereka berangkat untuk bulan madu. “Nyari laki gue!” Vio berdiri kasar dan melangkah cepat meninggalkan tempat mereka duduk selama satu jam tadi. Ry dengan sigap menyejajari langkah Vio. “Vio yakin mau ke sana?” “Emang kenapa?” “Jangan cari ribut di sana.” Mia mengingatkan. “Kita temani, ya?” bujuk Tita. “Enggak usah! Makasih. Kalian pada balik aja, gue bisa sendiri.” Akhirnya, tidak ada lagi yang bisa mereka lakukan. Setelah selesai mengurus masalah pembatalan keberangkatan dan lain-lainnya, mereka melepas Vio berangkat ke Advaith untuk menyerang sang biang onar. Ryota. Tiba di Advaith, Vio melenggang bebas menuju lantai tempat Ryota bekerja. Tempat yang dulu menjadi area kekuasaan Devan Brajamusti. Vio berjalan tanpa ragu ke ruangan Ryota dan berhenti di meja sekretaris yang dipekerjakan untuk membantu pimpinan tertinggi Advaith. “Ryota ada?” tanya Vio pada perempuan yang belum pernah dilihatnya. Mungkin sekretaris baru.  “Maaf, dengan siapa?” balas perempuan itu kaku. Vio mengernyit. Kenapa begini sikapnya? Sangat berbeda dengan Mira, sekretaris Devan dulu. “Saya Vio.” “Ada kepentingan apa dengan Pak Ryota?” tanya perempuan itu dengan nada kurang ramah. Vio yang memang sedang jengkel, mulai tersulut emosi. Perempuan ini harus tahu posisinya di sini dan diajari cara bersikap yang baik menghadapi tamu. Terlepas Vio ini orang penting atau bukan, seharusnya bukan begini sikap sekretaris Ryota. “Saya hanya tanya apa Ryota ada atau tidak,” ujar Vio masih berusaha bersabar. “Jawab saja dulu, ada kepentingan apa dengan Pak Ryota,” balas perempuan itu berkeras. Vio bisa menangkap ada sedikit nada posesif dari cara perempuan ini menyebut nama Ryota. “Jawab saja susah sekali! Ada atau tidak?” “Saya tidak bisa sembarang memberi informasi pada orang asing.” “Duh, sabar sabar!” Vio memutar bola matanya kemudian mengembuskan napas kencang-kencang. Ia menegakkan tubuh lalu mengangkat dagunya cukup tinggi. Sudah saatnya menunjukkan siapa yang berkuasa di sini. “Mbak, sorry nih! Mbak baru di sini?” “Iya. Kenapa?” tanya perempuan itu dengan nada sedikit menantang. “Baru berapa lama, Mbak?” “Dua bulan.” “Pantas enggak tahu apa-apa.” Vio mendengkus sinis. “Saya kasih tahu sesuatu sama Mbak, ya. Mbak pernah dengar nama Brajamusti?” “Pernah.” “Siapa itu?” “Pendiri perusahaan ini.” “Bagus! Masih lumayan pintar.” Vio mengangguk angkuh. “Sekarang saya tanya lagi. Mbak tahu ke mana pemilik perusahaan ini?” “Sudah meninggal tiga tahun lalu.” Ada rasa bangga dalam nada bicara perempuan itu ketika menjawab pertanyaan-pertanyaan Vio. “Mbak tahu siapa penerusnya?” “Putri tunggalnya, tapi diwakilkan oleh Pak Ryota dalam menjalankan perusahaan.” “Siapa namanya?” “Violetta Davira Brajamusti.” Vio mengangguk puas. Sekarang ia merogoh tasnya, mengambil dompet, lalu mengeluarkan kartu identitas miliknya. “Baca KTP saya!” Perempuan yang sejak tadi bersikap angkuh itu membeku di tempat. Sorot matanya mulai terlihat gentar. Eat that! Vio tertawa senang dalam hati. “Sekarang jawab, Ryota ada atau enggak?” “Ada, Bu,” jawabnya sambil tertunduk sopan. Sikap perempuan itu langsung berubah drastis. “Di?” “Di ruangannya.” “Hari ini Ryota sibuk?” “Sebentar, Bu.” Perempuan itu membuka agenda khusus berisi jadwal Ryota. “Sini jadwalnya!” ujar Vio tidak sabar sambil menadahkan tangan meminta agenda di tangan perempuan itu. Dibacanya cepat, kemudian menutupnya kasar. “Oke, makasih! Saya masuk dulu.” “Iya, Bu. Silakan!” Sebelum berlalu menuju ruangan Ryota, Vio masih sempat menceramahi perempuan itu. “Ingat pesan saya baik-baik, perbaiki sikap kamu! Bukan begitu caranya menghadapi tamu. Perusahaan ini bisa terkena masalah karena kelakuan kamu yang menjurus kurang ajar itu.” “Maaf saya tidak tahu siapa Ibu,” ujarnya membela diri. “Bukan masalah saya ini siapa,” sahut Vio jengah. Bisa-bisanya Ryota mempekerjakan orang seperti ini sebagai sekretaris. “Pada semua orang kamu harus menunjukkan sikap hormat. Bukan malah menantang seperti tadi.” Setelah mengatakan itu, Vio langsung melenggang menuju ruangan Ryota lalu masuk tanpa mengetuk terlebih dahulu. Dari pintu, bisa dilihat suaminya tengah duduk tenang di meja kerja, sendirian, dan tidak sibuk-sibuk amat sampai perlu dimaafkan karena mengabaikan sebuah perjalanan penting mereka. “Ternyata kamu di sini,” tegur Vio ketus. “Ada apa kemari?” sahut Ryota dingin. “Jemput suami yang lupa datang ke bandara buat berangkat honeymoon,” sindirnya tajam. “Saya sudah bilang kalau saya tidak akan ikut pergi. Kenapa kamu masih menunggu saya?” “Karena jelas-jelas aku bilang bakal tetap tunggu kamu!” sahut Vio gemas. “Berarti itu salah kamu sendiri. Kamu yang keras kepala,” balas Ryota dingin. “Aku mikirnya kamu tuh bakal tergerak karena tau aku tunggu kamu, enggak nyangka kamu tega banget!” “Kalau saya tidak pernah bilang, iya saya kejam. Saya kan sudah beritahu tidak akan datang dan silakan kamu berangkat sendiri kalau tetap ingin. Anggap saja liburan.” “Susah ngomong sama orang enggak peka!” Heran! Bukannya meminta maaf malah menyalahkan Vio. Keterlaluan Ryota ini. “Kenapa kamu jadi marah?” tanya Ryota heran. “Terus harusnya aku gimana? Ketawa-ketawa bahagia karena dibiarin nunggu di bandara kayak orang begò dengan empat koper gede yang bawanya juga setengah màmpus!” sembur Vio murka. Kesalnya sudah tidak tertahan lagi. “Asal kamu tau! Aku sampai minta bantuan sahabat-sahabat aku buat temenin ke bandara, demi bawa empat koper yang bikin mau mati itu! Tapi ternyata kamu enggak datang! Kamu tau gimana malunya aku waktu mereka tanya kenapa kamu enggak datang-datang juga? Kamu tau gimana malunya aku waktu mereka tanya gimana rasanya malam pertama padahal tidur seranjang aja belum pernah!” “Vio, kendalikan diri kamu. Jangan marah-marah di sini!” tegur Ryota. Ia khawatir suara Vio yang tengah mengamuk ini terdengar keluar dan jadi bahan pergunjingan orang-orang nantinya. “Terus di mana aku boleh marah-marah?!” Bukannya tenang Vio malah bertambah murka. “Di rumah juga kamu pasti akan bilang yang sama! Malu didengar sama pekerja. Di sini malu didengar sama bawahan! Intinya buat kamu, aku ini malu-maluin! Iya, begitu?” “Vio …, pelankan suara kamu!” tegur Ryota lagi. “Enggak mau! Aku mau teriak kencang-kencang!” bantah Vio sejadi-jadinya. Suaranya pun semakin keras saja. “Biar sekalian semua orang tau kalo kamu terpaksa nikahin aku karena wasiat Papa. Kamu sebenernya anti dan jijik tiap lihat aku, sampai mau muntah, dan sudi nàjis tidurin aku. Begitu, kan?” “Vio, stop!” Ryota bangkit dari kursinya dan menerjang maju. Dicekalnya kedua sisi bahu Vio dan mengguncangnya pelan untuk menghentikan gadis itu. “Lebih baik sekarang kamu pulang. Kita bicara nanti di rumah.” “Enggak usah!” Vio menepis kasar tangan Ryota dan mundur menjauh. “Aku enggak mau bahas soal ini lagi sama kamu!” “Kamu mau pulang?” “Urusan kamu?” balas Vio dingin. Setelah luapan kemarahannya yang cukup ekstrim tadi, kini Vio merasa lelah tiba-tiba. “Kamu naik apa ke sini?” “Urusan kamu?” Kini bukan hanya nada bicaranya yang dingin, tatapan matanya juga berubah demikian. “Vio …, saya serius.” Ryota segera menyambar lengan Vio ketika gadis itu terlihat akan beranjak meninggalkan ruangannya. “Kamu tidak bisa pulang sendiri dalam kondisi emosi seperti ini.” “Terus kamu mau apa? Anterin aku pulang? Enggak mungkin banget, kan? Jijik kan dekat-dekat aku?” sindir Vio tajam. “Udah, enggak usah sok peduli, nanti kamu muntah kelamaan liat aku!”
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD