Keesokan paginya.
Syera menuruni tangga menuju dapur dengan pakaian yang sudah rapi bersiap ke kantor. Area dapur masih tampak sepi, tak ada tanda-tanda sang mama dan kakaknya di sana. Gadis itu pun mulai membuat s**u hangat dan mengambil roti tawar berikut selainya untuk sarapan.
Ketika sedang menikmati roti dengan olesan selai stroberi favoritnya, Lidya, mamanya, keluar dari kamar. Syera hanya melirik sang mama tanpa ingin menyapanya.
“Sarapan apa?” tanya Lidya seraya mengambil gelas dan mengisi air di dispenser.
“Roti,” jawab Syera pendek.
Syera tak mau lagi ada keributan seperti kemarin di awal pagi. Sehingga membuat moodnya hancur berantakan.
“Mau mama buatin nasi goreng, masih ada waktu tiga puluh menit lagi,” kata Lidya mencoba mencairkan suasana.
“Gak usah. Ini aja cukup.”
Lidya menghela napas lelah, dia tau putrinya itu pasti masih kesal dengan sikapnya kemarin. Ketika pagi kemarin dia meminta uang cukup banyak untuk menjamu teman-temannya yang akan datang ke rumah.
“Mama gak pakai uang tabungan kemarin, Syer,” kata Lidya memberitahu. “Masih aman, kok, tabungannya. Bentar mama ambil.”
Lidya berjalan masuk ke kamarnya, lalu tak sampai lima menit kembali keluar lagi menemui Syera yang sudah hampir menyelesaikan sarapannya.
“Nih!” Lidya meletakan kartu kredit di meja. Syera melirik ATM miliknya dan langsung mengambil tanpa mengucapkan sepatah kata pun.
“Seenggaknya ucapin makasih. Kamu kan pernah sekolah masa gitu aja gak paham,” ketus Lidya.
Syera tak menggubris perkataan mamanya memilih berjalan ke wastafel mencuci piring dan gelas bekas pakainya tadi. Dia masih kesal dengan mamanya prihal kemarin, entah apa yang harus dikatakan. Dia pun bingung, karena kata-kata yang bersarang di lidahnya hanya kata-kata kasar dan makian saja. Jadi, lebih baik dia diam saja.
Biarlah dia menunggu sampai moodnya kembali baik untuk mengucapkan terima kasih dan maaf pada mamanya. Kemudian, gadis itu mengambil tas yang sebelumnya dia taruh di kursi kosong sebelahnya dan mencangklong ke pundaknya.
“Syera berangkat dulu, Ma,” ucap Syera seraya mengecup pipi kanan sang mama, lalu berjalan ke pintu depan.
Lidya kembali menghela napas lelah. Watak Syera memang mirip seperti dirinya yang keras dan sulit mengungkapkan emosi.
Syera membuka pagar menunggu taksi online yang telah dipesannya. Tak sampai sepuluh menit taksi yang dipesannya pun tiba. Sang driver menyebutkan nama Syera yang langsung diiyakan olehnya. Gegas gadis itu pun masuk ke kendaraan roda empat yang akan membawanya ke kantor yang sudah menaunginya selama satu tahun terakhir ini.
Ya, Syera memang belum lama bekerja di anak perusahaan DiNata Corp perusahaan milik keluarga Nara. Sebelumnya gadis itu bekerja di perusahaan asuransi selama dua tahun, dan keluar karena perusahaan itu mengalami kerugian akibat ada yang menggelapkan dana kantor. Kemudian, perusahaan mem-PHK sebagian karyawannya termasuk Syera karena tidak mampu membayar ganti rugi.
Sebuah pesan masuk ke aplikasi hijau yang berlogo gagang telepon.
[Pagi, Mine.]
[Bagaimana mood-mu pagi ini?]
Syera otomatis tersenyum ketika mendapat chat dari Kavi. Meskipun dia bukan benar-benar milik lelaki itu, tapi dia tetap senang karena lelaki itu sangat menghargainya melebihi pasangannya.
[Coba tebak!] balas Syera.
Sedetik kemudian sebuah balasan masuk.
[Kuharap mood-mu buruk]
Syera tertawa kecil membaca balasan dari Kavi, mungkin dia berharap mereka kembali mengulang seperti kemarin ketika di pantry.
Syera tak membalas pesan dari lelaki itu lagi, karena jarak kantornya sudah hampir sampai.
Sekitar sepuluh menit kemudian mobil yang ditumpangi Syera berhenti tepat di depan lobby kantor. Gadis itu pun membayar ongkos yang sesuai dengan biaya yang sudah ditentukan.
Gadis itu berjalan tergesa-gesa menuju lift yang hampir tertutup, beruntung ada tangan seseorang yang menahan pintu besi itu tetap terbuka sehingga membuat Syera tidak tertinggal.
“Terima kasih,” ucap Syera lembut dengan senyum tulus.
“You are welcome, Mine,” bisik lelaki berkemeja navy itu.
Kavi tepat berdiri di belakang tubuh Syera yang tingginya hanya sebatas pundaknya saja walaupun gadis itu sudah memakai high heels pun masih tetap tak bisa menyamakan tinggi lelaki itu. Mata keduanya saling terkunci pada pantulan pintu lift, sejauh ini Syera berusaha untuk tidak baper dengan perlakuan-perlakuan manis Kavi yang menurutnya sangat membuat jiwanya seketika tidak baik-baik saja. Namun, dia tidak ingin jauh dari lelaki itu.
Lift berhenti di lantai 12 di mana letak ruangan kantor Syera dan Kavi berada. Syera berjalan lebih dulu meninggalkan lelaki itu di belakangnya. Dia tidak ingin para pegawai di sini menggibah tentang dirinya dan lelaki itu, lebih-lebih membuat reputasi Kavi sebagai manager buruk di mata para bawahannya.
Jam makan siang.
“Syera kamu gak turun ke kantin?” tanya Welly rekan satu kubikelnya.
Syera menggeleng seraya mengulas senyum tipis. Dia memang jarang ke kantin, karena Kavi yang sering memesankan makan siang untuknya lewat OB.
“Syer,” panggil Welly lagi, kali ini dengan suara berbisik.
Syera menatap gadis di depannya dengan tatapan bertanya.
“Kamu ada hubungan apa sama Pak Andra?”
Syera berjengit kaget, begitu mendengar pertanyaan dari rekan kerjanya itu. Pegawai di sini kebanyakan memanggil lelaki itu dengan nama Andra ketimbang Kavi. Mungkin hanya Syera saja yang memanggil lelaki itu dengan panggilan nama depan.
“Gak ada hubungan apa-apa,” ucap Syera setelah menetralkan degup jantungnya.
“Seriusan?” tanya Welly tak percaya. Syera mengangguk yakin.
“Tapi, sejauh yang aku perhatikan kayaknya kalian punya sesuatu deh,” kata Welly lagi.
“Mbak Welly, ngomong apa sih,” balas Syera terkekeh-kekeh. Namun, dalam hati gadis itu merasakan kebat-kebit.
“Aku cuma mau ngingetin kamu aja Syer, kalau Pak Andra itu sudah punya tunangan.” Welly kembali mengingatkan yang dia tau tentang Kavi pada Syera, meskipun gadis itu sudah mengetahuinya sejak awal.
“Gak, Mbak. Aku sama sekali gak ada hubungan apa-apa sama Pak Andra, kebetulan dulu kami itu satu kampus dan beliau adalah senior aku,” jelas Syera yang sontak membuat gadis di depannya membulatkan mulut.
“Kirain ada apa-apa,” ujar Welly dengan raut kecewa. “Ya, udah aku mau turun aja, udah laper banget,” lanjut gadis berusia dua puluh delapan tahun itu seraya melangkah keluar dari ruangan.
Syera hanya mengangguk sembari tersenyum kecut. Syera membuka benda pipihnya dan mengetikan pesan untuk seseorang di sana.
[Pesan kamar sore ini!]
Tak lama pesannya mendapat balasan.
[Oke. Tapi kamu duluan ke sana, aku ada meeting sore ini sama atasan.]
Syera hanya membalasnya dengan emot jempol besar.
Selang lima menit kemudian sebuah SS-an bukti pemesan kamar hotel masuk ke nomornya.
Sore harinya, Syera sudah berada di taksi online yang akan membawanya ke hotel yang sudah dipesankan lelaki itu. Tiba di sana gadis itu menyerahkan bukti pada bagian receptionist dan menyamakan transaksi, setelah itu pegawai memberikan kunci padanya.
Syera pun menaiki lift menuju ke lantai enam hotel. Sampai di kamar yang dituju, gadis itu segera melakukan bersih-bersih terlebih dahulu. Kurang dari lima belas menit, Syera selesai mandi dan mulai memesan makanan sambil menunggu Kavi datang.
Ketika tengah menikmati makanan yang dipesannya, pintu kamar hotel ada yang mengetuk. Gegas, Syera pun melangkah cepat arah pintu dan membukanya, tampak pria tampan nan menawan berdiri di depannya.
“Dengan Nona Syera Adilla?”
Syera tertawa lucu dan langsung menarik tangan lelaki itu untuk masuk ke kamar dan tak lupa mengunci pintunya.
Syera langsung menyerang Kavi dengan ciuman-ciuman penuh nafsu yang sejak tadi ditahannya.
“Whoa! Relax, Babe ...,” ujar Kavi menahan tubuh Syera yang sudah dilanda gairah.