“Apa yang Dina lihat?” tanya Lina.
“Dina… Dina tak ingat Ma,” jawab Dina.
“Ha?” Lina kebingungan.
“Iya. Dina tak bisa mengingatnya sama sekali. Tapi Dina tahu kalau itu adalah sesuatu yang paling menakutkan yang pernah Dina lihat,” jawab Dina.
“Tapi Dina tak bisa mengingatnya?” ulang Lina lagi.
Dina menganggukkan kepalanya.
“Mimpi buruk tadi?” tanya Lina setelah mereka terdiam selama beberapa saat.
“Sama seperti saat Dina bertemu di pinggiran desa. Tapi kali ini, kejadiannya di rumah kita Ma,” jawab Dina.
“Di rumah kita?” tanya Lina.
“Iya. Di rumah kita. Di sini. Dia tadi berdiri di situ,” kata Dina sambil menunjuk ke arah pohon buah-buahan di halaman samping rumah.
Lina menoleh ke arah yang ditunjuk Dina dan tak melihat ada apa-apa di sana, “Itu cuma mimpi, Sayang. Ndak ada apa-apa di sana. Mama kan sedari tadi di sini sama Dina,” kata Lina.
“Iya. Dina tahu Ma,” jawab Dina.
Dina dan Lina lalu kembali terdiam dan larut dalam pikirannya masing-masing. Tak lama kemudian, Dina seolah-olah teringat sesuatu dan memanggil Sekar.
“Sekar, kamu pernah dengar cerita tentang Nenek tua yang menggendong anaknya di desa ini?” tanya Lina ke arah Sekar sesaat setelah gadis itu duduk di dekat mereka.
“Maaf Bu? Cerita tentang apa?” tanya Sekar.
“Ini, cerita soal nenek tua yang dilihat Dina pas sepedaan beberapa hari lalu,” ulang Lina.
“Nenek tua?” raut muka Sekar langsung pucat pasi setelah mendengar pertanyaan Lina. Dengan cepat dia menundukkan kepalanya dan tak mau melihat ke arah Dina ataupun Lina.
“Kamu pasti pernah mendengarnya kan Sekar?” kejar Dina, “kemarin pas Dina pingsan di depan, warga yang menolong Dina juga langsung menghindar saat Dina ngomong soal nenek itu.”
“Itu… Anu…” Sekar terlihat ragu untuk menjawab tapi wajahnya tetap dicekam ketakutan.
“Kenapa? Sekar ndak mau cerita?” tanya Lina lembut ke arah Sekar.
Sekar menggeleng-gelengkan kepalanya.
“Lalu?” tanya Lina lagi.
“Bukan Sekar ndak mau, Bu. Sekar nggak boleh…” gumam Sekar pelan sekali.
“Nggak boleh?” tanya Lina keheranan.
“Iya…” Sekar menganggukkan kepalanya.
Lina menoleh ke arah Dina dengan tatapan curiga.
“Oke. Oke. Kalau memang Sekar ndak bisa cerita, ndak pa-pa,” kata Lina mencoba untuk meredakan suasana canggung di antara mereka.
Mereka bertiga kembali terdiam setelah itu. Lina mencoba memutar otak agar bisa mengorek keterangan dari mulut si gadis muda ini. Dia tahu jika mencari informasi dari Sekar saja sudah sesusah ini, apalagi jika dia ingin bertanya kepada warga yang lainnya.
“Bagaimana kalau begini. Aku akan menanyakan sesuatu dan Sekar tak perlu menjawabku, sepatah kata pun. Sekar hanya perlu menganggukkan atau menggelengkan kepala sebagai jawaban. Jika nanti ada yang memarahimu, Sekar bisa bilang bahkan bersumpah kalau Sekar tak pernah menceritakan sepatah kata pun soal ini semua, karena memang Sekar tak berbicara sepatah kata pun, ngerti?” tanya Lina dengan suara lembut ke arah Sekar.
Gadis muda itu mengangkat kepalanya, dia setuju dengan cara yang diusulkan oleh majikannya barusan.
“Oke. Aku mulai ya?” tanya Lina.
“Apakah Sekar pernah mendengar cerita tentang Nenek Tua yang bertemu dengan Dina?” tanya Lina.
Sekar menganggukkan kepalanya.
Dina menarik napas panjang. Kini dia lega, ternyata Nenek tua itu bukan hanya halusinasinya saja.
“Mmm. Apakah nenek tua itu manusia biasa?” tanya Lina.
Sekar tak menganggukkan kepala ataupun menggelengkannya. Lina mengrenyitkan dahinya.
“Lina tak tahu apakah dia masih hidup atau tidak?” Lina mengganti pertanyaannya barusan.
Sekar menganggukkan kepalanya. Saat Lina dan Dina mendapatkan jawaban iya untuk pertanyaan barusan, mereka berdua sama-sama menarik napas panjang. Apakah itu artinya si nenek tua adalah hantu?
“Dia penduduk desa ini?” tanya Dina yang dijawab dengan anggukan kepala oleh Sekar.
“Dimana dia tinggal?” kejar Dina yang tentu saja tak dijawab oleh Sekar karena itu bukan pertanyaan dengan jawaban ya atau tidak. Lina tersenyum ke arah putrinya yang terlihat lebih penasaran dibandingkan dirinya itu.
“Sabar, Sayang,” kata Lina, “yang terpenting, Sayang ndak berhalusinasi. Si nenek tua itu memang benar-benar ada karena masyarakat di sekitar sini mengetahui soal dia.”
“Tapi kalau dia manusia biasa, kenapa dia bisa membuat Sayang mimpi buruk seperti barusan?” lanjut Lina.
“Lagian, Dina kan nggak pernah ngapa-ngapain Ma? Kok tiba-tiba saja dia nganggu Dina?” sungut Dina.
Lina terdiam dan berpikir. Dia tak bisa menjawab pertanyaan putri semata wayangnya.
“Ya udah, nanti kalau Papa pulang kita ngobrol dulu sama Papa,” jawab Lina tak lama kemudian.
======
“Ih. Ini seriusan Pa!” kata Lina ke arah suaminya.
Anton hanya memonyongkan bibirnya ke arah istri dan putrinya, “Ma, hari gini, mana ada hantu!”
“Tapi, Dina sudah ketemu dua kali Pa!” sergah Dina ke arah papanya.
“Dina. Kalau kamu memang ketemu hantu itu saat sepedaan, siapa yang bawa kamu ke depan rumah ini? Emang hantu itu kurang kerjaan angkat kamu dari ujung desa sana ke depan rumah kita?” tanya Anton balik.
“Itu…” Dina juga tak habis pikir tentang hal yang ditanyakan papanya barusan.
“Tapi, Mama sudah nanya ke Sekar juga. Dia tahu soal nenek itu. Warga sekitar sini juga tahu soal itu,” bantah Mama.
“Berarti itu cuma mitos yang dipercaya masyarakat sekitar! Dan mitos adalah sesuatu yang dipakai oleh orang-orang tua jaman dahulu untuk menakuti-nakuti anak-anaknya agar tak keluar malam dan cepat tidur,” jawab Anton.
“Kalau itu cuma mitos, kenapa Dina yang tak tahu apa-apa soal itu bisa ketemu sama si nenek tua itu Pa?” tanya Dina, “kita baru pindah beberapa hari ke rumah ini. Dina juga belum punya kawan bermain di sini. Dina tak pernah mendengar soal cerita si nenek tua itu, lalu kenapa bisa Dina ketemu sama dia?”
“Sudah! Yang terpenting, kalian sebisa mungkin tetap menyibukkan diri dengan kegiatan yang kalian bisa. Jangan sampai bengong, nanti kalian malah mengkhayal yang bukan-bukan,” kata Anton berusaha menyudahi perdebatan mereka.
Lina dan putrinya saling pandang dan hanya bisa menarik napas panjang. Memang begitu sejak dulu, Papa adalah orang paling rasionalis di keluarga mereka. Dia tak percaya hantu, tak percaya dengan takhayul dan tak percaya dengan mitos.
Tak lama kemudian, mereka bertiga selesai makan malam. Sekar pulang setiap sore sebelum Maghrib, karena itu, Lina dan putrinya yang memberesi meja makan di depan mereka. Anton beranjak berdiri dan berjalan ke teras belakang. Seperti biasa, dia ingin menikmati rokoknya setelah selesai menyantap makan malam.
Anton duduk di kursi teras belakang tak jauh dari kolam renang di belakang rumah. Dia ditemani suara binatang malam dan redup cahaya rembulan karena lampu di teras belakang memang tak seterang di halaman depan rumah, tapi tak sebersitpun rasa takut muncul di kepala Anton. Dia tak pernah takut kegelapan.
“Hmm,” Anton mengrenyitkan dahinya dan melepas rokok yang terselip di bibirnya. Untuk sekilas tadi, dia melihat sesuatu berdiri di sudut pagar tembok rumahnya. Dengan perasaan curiga, Anton berdiri dan berjalan ke sudut pagar di dekat tepian kolam renang sana.