Chapter 12 - Mbah Rebo

1119 Words
Joyo hanyalah satu dari sekian banyak pengagum Retno yang mulai bermunculan di Setoyo. Dan tentu saja, Joyo adalah yang paling agresif karena dia merasa cukup memiliki modal untuk itu. Joyo sendiri adalah seorang duda, istrinya lebih dulu dipanggil Yang Maha Esa. Tetapi, Joyo tak pernah menikah lagi setelah itu, sekalipun banyak warga desa yang menawarkan anak gadisnya untuk diperistri Sang Lurah. Joyo tahu, bagi sebagian besar warga desa, status ekonomi dan sosial yang dimilikinya sangatlah menggiurkan. Apalagi sebagai seorang duda, cibiran masyarakat ketika Joyo berbuat nakal bisa dengan mudah menjadi sebuah pemakluman. “Wajar kan kalau Pak Joyo jajan, dia kan duda. Butuh penyaluran kebutuhan biologis juga,” itu kata mereka. Tapi semua itu akan berbeda ceritanya jika Joko sudah menikah lagi dan melakukan hal yang sama. Mereka, para warga desa, pasti akan berkata, “Dasar Lurah buaya darat, mentang-mentang kaya dan punya posisi suka jajan seenaknya. Padahal kan dia punya istri yang cantik menunggu di rumah.” Itulah salah satu alasan kenapa Joyo memilih untuk menduda selama beberapa tahun belakangan ini sejak istrinya meninggal dunia. Tapi semua itu berakhir ketika Joyo bertemu dengan Retno. Awalnya, Joyo begitu tertarik dengan janda si Prayitno itu. Bahkan karena saking tertariknya, Joyo sempat bermaksud untuk menjadikan Retno sebagai istrinya. Dan tentu saja, Joyo seperti para lelaki kurang kerjaan lainnya di desa Setoyo, menjadikan warung Retno sebagai alasan untuk nongkrong dan menghabiskan waktu. Joyo sendiri tak tahu, apa alasan yang membuatnya begitu tertarik dengan Retno. Yang dia tahu, setiap kali dia melihat sosok wanita itu, kelelakiannya terasa berdesir dan ada keinginan untuk menaklukkannya. Ada sesuatu yang berteriak dalam dirinya dan meminta Joyo untuk menjadikan Retno sebagai miliknya dan tak membiarkan lelaki mana pun mendekatinya. Joyo sendiri tak pernah merasa seperti itu sebelumnya kepada seorang wanita. Pun kepada mendiang istrinya sendiri. Tetapi ketika Joyo melihat tatapan laki-laki lain yang menjadi pelanggan warung Retno, dia menemukan sorot mata yang sama dengan miliknya. Sorot mata ingin menaklukkan dan memiliki. Saat itulah Joyo tiba-tiba tersadar. Ada sesuatu yang salah dengan semua ini. Dia mengenal pasangan Prayitno dan Retno sejak lama. Di desa kecil seperti milik mereka ini, semua saling mengenal satu sama lain. Apalagi bagi orang-orang yang seumuran seperti mereka, semua pasti saling mengenal dekat. Seingat Joyo, tak pernah sedikitpun atau sekalipun Retno memancarkan pesona seperti sekarang ini. Kalau lah dia semenarik ini saat masih gadis dulu, pasti bukan Prayitno yang menjadi suaminya. Pasti Retno sudah menjadi rebutan para jejaka desa, mungkin termasuk Joyo sendiri. Karena itu, Joyo menemukan sebuah kejanggalan. Joyo memiliki sebuah kecurigaan. Dan dia pun memutuskan untuk sowan ke gurunya yang mengajari dia dulu olah kanuragan. “Dia ini dari laut, Yo,” kata seorang laki-laki tua yang masih berbadan tegap dan gempal sekalipun sebagian besar rambutnya sudah dipenuhi uban. Joyo mengrenyitkan dahinya. Bukan karena cara dia memanggil seorang Lurah seperti dirinya dengan panggilan ‘Yo’ yang mungkin dianggap sebagian warga desa sangat tak sopan, tapi karena kata-katanya yang janggal barusan. “Dari laut gimana, Mbah?” tanya Joyo bingung. “Kamu nanya soal jandanya si Prayitno kan?” tanya laki-laki tua gempal beruban yang duduk di pematang sawah dengan sebatang rokok kretek di sela-sela jemarinya itu. “Iya, Mbah,” jawab Joyo menganggukkan kepalanya. “Lha iya, ada sesuatu yang mengikuti si jandanya Prayitno itu dan dia berasal dari laut. Dia yang bikin laki-laki di sekitarnya kesengsem,” jawab si Mbah yang bernama Rebo itu. “Pelet?” tanya Joyo. Rebo terdiam dan menghisap rokok kreteknya dalam-dalam. Matanya terlihat seperti kehilangan fokus untuk sesaat sebelum akhirnya kesadarannya kembali lagi, “Ini lebih parah dari sekedar pelet.” “Terus?” kejar Joyo sambil mengrenyitkan dahinya. Rebo mengibaskan tangannya, “Aku ndak mau ikut-ikut, Yo. Itu urusan masing-masing orang,” jawabnya. “Tapi, Mbah…” protes Joyo. “Ndak ada tapi-tapian. Dah sana! Aku mau lanjutin benerin galengan sawah ini lagi,” tukas Rebo sambil mengusir Joyo agar tak mengganggu pekerjaannya lagi. Joyo dengan terpaksa berdiri dan mundur beberapa langkah. Gurunya yang tadi duduk di sebelahnya membuang puntung rokok kretek yang sudah habis itu ke saluran air di sebelah galengan yang ada di dekatnya. Dia lalu meraih cangkul yang tergeletak tak jauh dari dirinya dan mulai kembali mengayunkan alat itu untuk melanjutkan pekerjaannya. Joyo hanya menarik napas panjang. Dia membungkukkan badannya sedikit ke depan dan berpamitan, “Kulo pamit riyen, Mbah,” kata Joyo takzim. “Iyo, sing ati-ati. Kalau bisa jangan berurusan dengan jandanya si Prayitno,” jawab Rebo tanpa menghentikan gerakan tangannya mengayunkan cangkul. “Nggih, Mbah,” jawab Joyo sambil memutar badannya dan berlalu. Mungkin tak akan pernah ada yang menyangka jika buruh tani yang tak punya sawah sendiri dan hanya dibayar upah seadanya untuk mengerjakan lahan orang itu adalah guru dari Joyo sang Lurah. Tapi Joyo sendiri tak pernah meragukan kemampuan dari Rebo, gurunya itu. Karena Joyo adalah bukti hidup berjalan dari semua itu. Di desa, pemilihan kepala desa atau lurah, tak hanya mengandalkan kekuatan uang ataupun massa, ada sisi gelap yang juga ikut bermain di sana. Termasuk penggunaan jasa orang-orang yang dianggap pintar untuk masalah kebatinan dan kanuragan. Joyo termasuk salah satunya. Waktu Joyo mencalonkan dirinya sebagai kandidat kepala desa, dia mendekati salah satu orang pintar yang dianggap mumpuni di daerahnya. Sekalipun belum tentu lawannya akan melakukan cara-cara yang sama, tapi lebih baik bersiap-sedia daripada merana. Joyo sendiri tak yakin sebenarnnya kalau dia bisa meminta dukungan dari orang pintar tersebut, karena dia tahu, si orang pintar itu akan menjadi pilihan pertama bagi semua calon kepala desa yang ingin menggunakan jasa yang sama. Tapi kata-kata yang didengarnya dari mulut si orang pintar malam itu saat dia menemuinya masih diingat Joyo hingga saat ini. “Kalau kau bisa meminta restu dari gurumu, Mbah Rebo, dan membuat dia bersedia mendukungmu, aku ikut jadi bagian dari tim suksesmu.” Joyo pun mencobanya dan berhasil meyakinkan si buruh tani yang dulu sempat mengajari Joyo silat saat dia dan teman-teman seumurannya masih bersekolah di tingkat dasar itu untuk merestuinya saat mencalonkan diri sebagai Kepala Desa. Saat mendengar kabar itu, si orang pintar pun memenuhi janjinya dan menjadi bagian dari tim sukses Joyo. Saat malam sebelum pemilihan Kepala Desa tiba, waktu di mana kiriman-kiriman hadiah mesra dari langit meluncur dari satu calon ke calon lainnya terjadi, Joyo membuktikan semuanya. Ketika si orang pintar yang sudah tersohor dan dihormati oleh masyarakat sekitar sebagai paranormal mumpuni itu melihat sosok Rebo si buruh tani, dia tergopoh-gopoh menyambutnya datang dan bahkan mencium tangannya sebagai tanda hormatnya. Joyo dan orang-orang di sekitarnya jelas terpana tak percaya. “Nyerang itu urusanmu, aku cuma bantu nahan. Ngerti?” tanya Mbah Rebo yang disambut anggukan kepala berkali-kali oleh si paranormal yang menjawab dengan kata-kata penuh percaya diri, “Asalkan sampeyan yang nahan Mbah, saya yakin 100% kalau ndak akan ada yang bisa masuk.”
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD