Chapter 2 - Muak

1221 Words
“Bu, jangan gila!!” teriak Bapak ke Ibu malam itu. Ibu hanya mendengus kesal sambil balas menatap tajam ke arah suaminya, “kalau Bapak bisa mencukupi semuanya, Ibu nggak akan kepikiran untuk berbuat seperti ini!! Semua ini salah siapa?” teriak Ibu berapi-api tak kalah keras dengan suara Bapak. “Iya Bu, tapi nggak harus dengan cara seperti ini!” jawab Bapak dengan muka yang meradang karena emosi. “Terus? Mau ngandelin bayaran buruh tanimuyang cuma berapa puluh ribu itu? Ibu juga pengen pake baju bagusPak. Pengen seperti Ibu-ibu yang lainnya juga,” teriak Ibu sambil menunjuk ke arah rumah tetangga-tetangganya, “Aku muak hidup kere, Pak!!” “Tapi cara ini nggak bener Bu, semua pasti ada balasannya nanti,” protes Bapak. “Sudah!! Biar Ibu nanti yang nanggung, toh Bapak juga tinggal ngejalanin aja,” jawab Ibu sambil berkacak pinggang. Bapak pun akhirnya menyerah dan hanya bisa melihat nanar ke arah istrinya, wanita yang bernama Retno dan dulu pernah berjanji akan bersedia hidup susah senang bersamanya. Kini wanita itu seperti sosok asing yang tak dikenalinya lagi. ===== “Pripun Mbah?” tanya Retno malam itu di dalam sebuah ruangan yang gelap dan sempit. Di depannya duduk seorang nenek tua renta yang mengenakan kebaya dan kain jarik sedang mengusapkan kapur sirih ke giginya yang tampak mulai menguning. Asap dupa dan kemenyan memenuhi ruangan sempit yang dindingnya terbuat dari anyaman bambu yang di pedesaan sering disebut dengan gedhek itu. “Nduk, kamu yakin to?” tanya si nenek tua yang dipanggil Mbah oleh Retno. “Yakin Mbah, saya sudah mantap,” jawab Retno tanpa berpikir. “Yo wis, kalau kamu yakin, tapi Mbah ingatkan, semua ini atas permintaanmu sendiri yo, Nduk,” kata si Mbah sambil menatap tajam ke arah Retno. “Inggih Mbah, saya yang minta,” jawab Retno. Si Nenek tua lalu menundukkan kepalanya dan mulai mendengungkan mantradengan mulut komat-kamit tanpa suara. Sesekali dia akan menaburkan sesuatu ke dalam tungku kemenyan yang ada di depannya dan membuat aroma di ruangan ini semakin menyengat. Ingin sekali Retno menutupi hidungnya yang terasa gatal dan panas, tapi dia menahannya sebisa mungkin. Tak lama kemudian, si nenek tua membuka matanya. “Mbah wis minta ke Kanjeng Ratu, kalau kamu mau keinginanmu yang tadi tercapai, ada syaratnya,” kata nenek tua itu. “Syaratnya apa Mbah?” tanya Retno dengan jantung yang berdegup kencang. “Yang pertama, harus ada sarana. Artinya, kamu harus punya usaha Nduk, lebih baguslagi kalau yang berupa dagang. Entah warung kecil, bengkel atau sejenisnya, yang penting ada sarana,” kata si nenek tua. “Saget Mbah, saget,” jawab Retno cepat, itu syarat yang gampang sekali dipenuhi. “Yang kedua, Kanjeng Ratu minta tumbal,” bisik si nenek tua pelan. Jdeerrrrrrrr. Retno seperti dihantam petir ketika mendengar permintaan si Mbah yang kedua itu. Suaminya sudah mengingatkan, apapun yang berbau pesugihan pasti ujung-ujungnya tumbal. Karena itu dia sangat menentang usul Retno agar pergi ke tempat Mbah yang sekarang ada di depannya ini. Dan ternyata dugaan suaminya benar. “Tumbal apa Mbah?” tanya Retno dengan suara bergetar. Si nenek tua yang sedari tadi menundukkan kepalanya dan terlihat hanya berbisik-bisik pelan tanpa melihat ke arah Retno, perlahan-lahan mengangkat kepalanya. Dia lalu menatap wajah Retno sambil tersenyum, senyuman sinis yang entah kenapa membuat semua bulu kuduk di tubuh Retno berdiri. Apalagi ketika ada cairan kental yang menetes pelan dari sudut bibir si Mbah. Sekalipun Retno tahu kalau itu mungkin adalah cairan kapur sirih yang dikunyah si Mbah, tapi entah kenapa Retno melihat seolah-olah cairan kental itu berubah menjadi seperti darah. Lalu dengan senyuman sinis di bibirnya, si Mbah membuka mulutnya perlahan tanpa suara, tapi Retno tahu benar kata yang terucap olehnya. “Anakmu.” Sekalipun hampir tak terdengar suara keluar dari mulut si Mbah, tapi kataitu bagaikan petir yang menyambar di telinga Retno. Dia harus menumbalkan anak gadis semata wayangnya sendiri yang bernama Astuti? Dengan suara bergetar, Retno melihat kearah si nenek tua, “Mbah, apa nggak bisa diganti yang lain tumbalnya?” Si nenek tua yang tadinya menatap Retno sambil tersenyum sinis itu tiba-tiba seperti dipukul dari depan dan kepalanya terhentak ke belakang dengan cepat. Retno kaget saat melihatnya. Cairan merah mengalir makin deras dari sudut bibir si Mbah yang kepalanya sekarang mendongak keatas dan tak lagi menatap Retno dengan senyuman sinis di bibirnya. Perlahan-lahan, nenek tua itu menundukkan kepalanya ke bawah.Ketika Retno melihat wajahnya, bulu kuduknya yang tadi sempat mereda, kini merinding kembali di sekujur tubuhnya. Tak ada pupil hitam di mata si Mbah. Mata itu berwarna putih semua seperti seseorang yang sedang pingsan atau kehilangan kesadaran diri. “Kowe sing moro rene njaluk pesugihan karo aku!! Saiki kowe sing meh nganyang tumbal sing tak jaluk??” sebuah suara keluar dari mulut si Mbah yang matanya telah memutih semua itu, tapi bukan suara nenek-nenek yang tadi didengar oleh Retno, suaranya melengking tinggi tapi jernih, mirip suara seorang wanita yang masih dalam masa remajanya. (Kamu yang datang kesini meminta pesugihan kepadaku!! Sekarang kamu yang justru menawar untuk tumbal yang aku minta??) Tubuh Retno kaku seketika, bulu kuduknya merinding makin kuat, lututnya bergetar karena ketakutan dan tanpa bisa ditahan, air hangat membasahi bagian bawah paha Retno, membuat daster Retno terasa lembab dan basah. “Mboten Mbah, ” pinta Retno dengan suara bergetar, “Kulo mboten nolak permintaan sampeyan.” “Kikikikikikikiki,” si nenek tua itu tertawa mengikik keras dan melengking. “Yo wis, aku njaluk putumu!” teriaknya sambil mengacungkan jari telunjuknya menuding ke arah Retno. (Ya sudah, aku minta cucumu!) Tanpa berpikir panjang, Retno langsung menganggukkan kepalanya. Saat ini Astuti masih kelas 2 SMA. Entah berapa lama lagi dia akan menikah dan mempunyai cucu. Dia bisa memikirkan nanti bagaimana cara mengatasinya. Setidaknya, dia berhasil menyelamatkan anak gadis semata wayangnya. “Kikikikikikkikiki,” si nenek tua tertawa mengikik lagi ketika melihat kesanggupan Retno. “Aku njaluk putumu tapi sekaligus anakmu,” kata si Mbah yang membuat Retno kembali bergidik. “Mbah, tadi kan sudah…” Retno mencoba membantah meskipun dia ketakutan. Tapi si nenek tua langsung memotong kata-kata Retno dan tangannya bergerak mencengkeram leher wanita itu, “Aku njaluk putumu sekaligus anakmu, bojomu karo anakmu wedok, campur, putu sekaligus anak.” Retno diam terpaku di tempatnya ketika mendengar perkataan mahluk yang merasuki si nenek tua di depannya. Dia masih saja terpaku diam tak bergerak sekalipun tangan si Mbah sudah terlepas dari lehernya dan si nenek tua itu sudah terlihat kembali normal. “Nduk?” panggil nenek tua itu. Retno sama sekali tak menyahut pertanyaan si nenek tua dan terlihat masih terkejut dengan tatapan menerawang tak percaya. Dia benar-benar tak menyangka kalau semuanya akan berujung seperti sekarang. “Nduk!!” teriak si nenek berusaha membuyarkan lamunan Retno. Kali ini Retno gelagapan dan terlihat kaget saat si Mbah meneriakinya barusan, “maaf Mbah, maaf,” kata Retno sambil menundukkan kepalanya berkali-kali ke arah si Mbah yang ada di depannya. “Sudah tahu kan apa yang harus kamu lakukan?” tanya Si Mbah. “Nggih Mbah,” jawab Retno sedikit ragu dan gamang. Tak lama kemudian Retno pamit undur diri setelah meninggalkan amplop yang berisi segepok uang di depan si nenek tua. Dia lalu bergegas pulang setelah memanggil tukang ojek yang melintas di depan rumah si nenek tua dan pulang ke rumahnya. Sepanjang jalan, Retno masih terbayang dengan jelas kata-kata ‘nenek’ tadi saat meminta tumbal yang akan dijadikan perantara pesugihan yang Retno inginkan.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD