Chapter 6 -Terdiam

1098 Words
Astuti terdiam. Tak ada tangisan yang keluar dari matanya. Dia bagaikan patung tak bernyawa, dengan tatapan kosong entah kemana. Seolah menjadi sebuah raga tanpa sukma. Seolah menjadi sebuah tubuh tanpa jiwa. Padahal, ini adalah hari paling menyedihkan bagi dirinya.Jauh lebih menyedihkan bahkan dibandingkan saat malam durjana itu, malam di mana seorang bapak tega m*****i anak kandungnya sendiri karena permintaan sang istri. Hari ini… Mereka menemukan jasad Prayitno setelah dikabarkan hilang dan dua hari tak pulang ke rumah, setelah hampir separuh warga kampung kebingungan mencarinya kesana kemari. Saat ditemukan, Prayitno ternyata tewas bunuh diri, dengan menggantung diri di sebuah pohon, tak jauh dari tempat sang Bapak memohon maaf kepada Astuti sampai bersujud di bawah kaki sang putri dua hari lalu. Secarik kertas ditemukan di saku baju Prayitno. Sebuah kertas yang hanya berisi tiga kata saja, sederhana, lugas, tapi membuat Astuti bahkan tak sanggup untuk meneteskan air mata. ‘Maafkan Bapak, Nduk.’ Tak ada satu pun penjelasan yang lebih gamblang dari kalimat sederhana itu. Astuti tahu kalau semua yang dia dengar dari Bapak sore itu bukanlah sebuah kebohongan. Astuti terdiam. Tak ada tangisan yang keluar dari matanya. Dia bagaikan patung tak bernyawa, dengan tatapan kosong entah kemana. Seolah menjadi sebuah raga tanpa sukma. Seolah menjadi sebuah tubuh tanpa jiwa. Saat ini, hanya ada satu pikiran yang muncul di kepala gadis belia itu, seandainya saja, saat itu, ketika Bapak meminta maaf kepada dirinya sambil menangis dan bersimpuh di kakinya dan Astuti memaafkannya, mungkinkah Bapak saat ini tidak akan ditemukan dalam kondisi tanpa nyawa. Retno terlihat sibuk kesana kemari mempersiapkan semua prosesi acara tahlilan untuk sang Suami yang baru saja meninggal. Dia hanya sekali saja melirik ke arah Astuti yang hanya duduk berdiam diri tak bergerak dari tadi.Tak ada kata penjelasan, tak ada kata penghiburan, tak ada kata apa pun dari sang Ibu kepada putrinya. Tapi Astuti tak peduli, dia juga tak mengharapkannya. Karena sekarang dia tahu semuanya, dia tahu kebenarannya,dengan kematian sang Bapak sebagai gantinya. Tamu-tamu berdatangan ke rumah Prayitno. Untuk memberikan penghormatan terakhir, sekaligus memberikan doa dan tahlil. Raut muka sedih dan berkabung terlihat di wajah para tetangga dan saudara yang datang bertakziah ke sini. Tapi Astuti hanya melihat semuanya dengan tatapan kosong. Karena dia tahu kalau semua itu hanyalah topeng semu yang akan lepas setelah mereka melangkahkan kaki keluar dari pintu, Astuti yakin itu. “Yang sabar ya Nduk. Memang sudah takdirNya.” Sebuah suara terdengar di telinga Astuti dan mengagetkannya. Seorang kakek tua dengan raut muka teduh sedang memberikan senyumnya. Sang kakek tak menunjukkan raut muka sedih. Dia tersenyum. Seakan-akan semua ini hanyalah sebuah prosesi, sesuatu yang pasti terjadi dan menimpa semua orang. Bukan sesuatu yang perlu ditangisi, bukan sesuatu yang perlu disesali. “Kalau memang kamu sedih, doakan saja Bapakmu. InsyaAllah itu yang bisa membantunya,” kata sang Kakek lalu meninggalkan Astuti termenung sendiri di tempatnya. Astuti melihat si Kakek berjalan keluar lalu menghilang di antara pelayat yang datang ke rumahnya. Tapi senyuman kecilnya, raut muka teduhnya, dan kata-kata nasihatnya membuat Astuti menarik napas dalam. “Bapak, Tuti maafin Bapak,” gumam Tuti pelan dan hanya terdengar oleh dirinya sendiri. Astuti lalu perlahan-lahan berdiri dan berjalan menuju kamar mandi. Mengambil wudhu dan berniat untuk mendoakan orang tuanya. Hanya itu yang bisa dia lakukan saat ini. ===== “Cepetan!!” teriak beberapa orang laki-laki yang menyelempangkan sarung di badan mereka. Mereka semua berjalan menyusuri jalan yang sepi itu dengan menggunakan penerangan senter di tangan dan menundukkan kepala sambil bergerak cepat. Sedikit lagi, mereka akan meninggalkan kebun ini dan sampai ke jalan desa yang lumayan terang.Mereka adalah rombongan bapak-bapak yang baru saja pulang dari rumah Prayitno untuk melakukan tahlilan malam ke tujuh untuk Almarhum. Tapi… Di kampung ini, sudah tersiar kabar sejak malam pertama tahlilan, bahwa Kang Prayitno sering menampakkan diri untuk meminta tolong ke orang-orang kampung. Karena itu, mereka terpaksa berjalan pulang bersama-sama seperti sekarang ini. “Pelan-pelan, bentar lagi kita sampai ke jalan desa kok,” kata salah seorang dari mereka di sela-sela napasnya yang tersengal-sengal. “Untungnya ini malam tahlilan terakhir,” jawab warga yang lain. “Iya. Kalau nggak mandang si jandanya yang bahenol, mana mau aku datang tahlilan,” sahut warga lainnya yang disambut gelak tawa mesumm dari sekelompok warga yang kini sudah mulai berjalan pelan sambil menyusuri jalan setapak di tengah kebun ini. Belum selesai gelak tawa mereka menghilang, keenam laki-laki itu tiba-tiba saja menghentikan langkahnya. Entah siapa yang mengkomando mereka, tapi tatapan mata mereka berenam terarah ke rerimbunan pohon pisang yang berada sepuluh meter dari tempat mereka sekarang berdiri. Di sela-sela pohon pisang itu, sebatang pohon pisang terlihat berbeda dari yang lain. Batang pohon pisang itu berwarna putih dengan beberapa ikatan di tubuhnya. “Tolong saya, Mas…” Suara rintihan yang terdengar berasal dari jauh dan bergema, tiba-tiba saja terdengar oleh mereka berenam. “Po… Po… Pocoooooonnggggggggg…” Mereka berenam pun berlarian tunggang langgang tak karu-karuan ke segala arah. Ada yang kembali ke arah rumah Prayitno, ada juga yang berlari di antara batang-batang pohon pisang di kebun ke berbagai arah, asalkan bukan ke arah si pohon pisang berwarna putih berada. ===== “Usahamu makin maju aja, Nduk?” kata seorang laki-laki yang terlihat berpakaian rapi sambil duduk di salah satu kursi yang ada di warung Retno. “Nggih Pak, namanya juga demi ngasih makan anak. Jadi musti usaha keras,” jawab Retno sambil berjalan dan membawakan segelas kopi untuk si laki-laki itu. “Iya, namanya juga anak, apapun kita lakukan untuk mereka,” jawab laki-laki itu sambil meminum kopinya.Tak lama kemudian, dia menikmati gorengan yang tersedia di warung Retno. Pada awalnya, Retno hanya membuka warung kecil-kecilan untuk menyediakan kebutuhan pokok sehari-hari untuk para tetangganya. Tapi entah karena statusnya yang telah berubah menjadi janda atau karena hal lain, lambat laun, pelanggan Retno mulai berubah, dari yang dulunya emak-emak berdaster yang membeli samphoo dan bumbu dapur, kini berubah menjadi bapak-bapak berdandan necis dan bersikap genit. Retno memanfaatkan itu dengan sedikit demi sedikit mengubah jalur bisnis warungnya. Sekalipun dia tetap menyediakan kebutuhan sehari-hari, tapi di lain pihak, Retno juga membuatkan kopi dan camilan yang dipesan oleh bapak-bapak kurang kerjaan itu. Tentu saja, setelah merasakan sendiri betapa mudahnya uang mengalir dengan dalih segelas kopi, Retno akhirnya lebih fokus ke usahanya yang baru. “Nduk, aku dengar, anak gadismu itu cantiknya luar biasa, ngalah-ngalahin ibunya? Iya to?” tanya si laki-laki rapi. “Masih kecil Pak Lurah,” tolak Retno secara halus. “Biar aku yang nilai masih kecil apa ndak, sini aku mau liat,” kata Pak Lurah sambil tertawa mesumm. “Tapi Pak…” protes Retno. “Udah, kan liat tok ndak berkurang to?” paksa lelaki berpakaian rapi yang ternyata lurah di desa ini.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD