Chapter 5 -Sepeda

1171 Words
Dina mengayuh sepedanya perlahan-lahan menyusuri desa. Setelah beberapa minggu tinggal di desa ini, ini kali pertamaDina mengelilingi desa seorang diri dengan mengendarai sepeda. Kebetulan ini hari minggu dan dia ingin sedikit berolah raga. “Mana tahu nanti ketemu cowok kampung yang cakep,” gumam Dina sebelum berangkat tadi. Jalanan desa masih lengang. Kabut juga terlihat menyelimuti ujung pepohonan yang mudah ditemui di sela-sela rumah warga. Sampai sekarang pun, Dina yang terbiasa tinggal di perumahan dan selalu melihat rumah yang saling berdempetan, masih belum terbiasa saat melihat rumah-rumah desa yang berhalaman luas dan sedikit berjauhan itu. Dina mengayuh sepedanya dan asyik menikmati pemandangan yang lumayan baru dengan udara yang menyegarkan paru-parunya. Tak terasa, Dina sudah mengelilingi desa kecil ini. Beberapa kali dia bertemu dengan penduduk desa yang berangkat ke sawah sekalipun ini hari minggu dan Dina menjadi gadis yang sopan dengan menyapa mereka sambil tersenyum. Dina sedikit kelelahan ketika dia sampe ke ujung desa yang berseberangan dengan rumahnya. Rencana awal Dina, dia ingin sampai ke tepi ujung desa itu, lalu akan balik kembali menuju ke rumahnya melalui rute yang sama. Toh, hanya ada satu jalan utama di desa ini dengan beberapa gang kecil di kiri kanannya. Tak kan mungkin akan tersesat. Dina menuntun sepedanya dengan keringat memenuhi badannya. “Dah lama juga nggak olahraga kek ginnih, jadinya, baru sepedaan bentar doang, dah habis nafas,” keluh Dina kepada dirinya sendiri. Sebenarnya Dina memang gadis yang suka olahraga, meskipun tidak bisa dibilang hobi, tapi kalau sekedar berenang, bersepeda atau jogging, Dina rutin melakukannya. Dia tidak mau menjadi cewek gendut yang selalu jadi bahan olok-olokan seperti si Lita teman sekelasnya. Saat pikirannya sedang melayang entah kemana, mulai dari bersepeda sampai si gendut Lita, tiba-tiba Dina menangkap sekelebat bayangan dari sudut matanya. Dina menolehkan kepalanya ke arah kiri dengan cepat dan berhenti melangkah. Dengan tatapan waspada, Dina mengedarkan pandangannya ke segala arah di antara deretan pohon-pohon buah yang ada di kebun tak terawat di sebelah kirinya itu.Dia penasaran, apakah matanya hanya salah melihat tadi atau apakah benar-benar ada sesuatu di sana? “Huft.” Tak lama kemudian, Dina yang tadi sedikit tegang dan waspada membuang nafas panjang setelah tak berhasil menemukan sosok bayangan yang tadi dilihatnya sekilas itu. Dia lalu memutar tubuhnya dan kembali menuntun sepedanya untuk menuju ke ujung batas desa seperti rencana awalnya. Saat itulah Dina melihatnya. Seorang nenek tua. Dengan rambut acak-acakan dan pakaian yang compang camping berdiri di depan Dina sambil menggendong sesuatu dalam pelukannya. Si nenek tua itu bergoyang ke kiri dan kanan seolah-olah sedang meninabobokan sesuatu yang ada di dalam gendongannya, seperti seorang ibu yang sedang menidurkan bayinya. Tatapan mata si nenek tua, beralih bergantian antara gendongannya dan Dina. “Nduk, kowe ngerti bojoku ning ngendi? Anakku nangis wae.” (Nak, tahukah kamu dimana suamiku? Anakku nangis terus dari tadi) Saat bertatapan mata dengan nenek tua itu, lutut Dina gemetar ketakutan tanpa dia sadari. Bahkan saat si Nenek tua perlahan-lahan mendekat ke arahnya, Dina hanya bisa terpaku diam di tempatnya tanpa bisa berbuat apa-apa bahkan hanya untuk sekedar mengeluarkan suara. “Iki lho, anakku nangis wae,” kata si nenek tua sambil memperlihatkan isi gendongannya. (Ini, anakku nangis terus) Dina menjerit sekuat tenaga dalam hati dan berusaha tidak memalingkan wajahnya untuk melongok ke dalam gendongan si nenek tua. “Jangan lihat!!!” teriak Dina dalam hati. Tapi, seolah-olah ada tangan tak terlihat yang memegang kepala Dina lalu memaksanya untuk memutar wajahnya dan melihat ke arah benda yang digendong oleh si nenek tua. Sekejap mata kemudian, semuanya menjadi gelap setelah itu dan Dina pun tak sadarkan diri. ===== “Aaaahhhhhhhhhhhhhhh,” teriak Dina keras sekali ketika dia membuka matanya. “Tenang. Tenang.” Beberapa suara terdengar di sekeliling Dina dan berusaha menenangkan dirinya. Dina pun melihat kearah sekelilingnya dan menemukan kalau dirinya ternyata sudah dikerumuni oleh beberapa orang laki-laki dan wanita yang tidak dia kenal. Dengan cepat Dina langsung beringsut menjauh sambil mendekapkan tangannya ke d**a. Dina berusaha untuk mengenali wajah-wajah asing itu dan lambat laun dia pun menjadi tenang. Mereka adalah warga desa ini. “Mbak Dina kan? Yang tinggal di rumah besar itu?” tanya seorang ibu yang mengenakan jilbab dan terlihat menenteng sebuah kantong plastik berisi sayuran. Dina menganggukkan kepalanya sebagai jawaban. “Mbak Dina ngapain tadi pingsan di sini?” tanya si Ibu lagi ke arah Dina. Dina dengan cepat melihat kesekelilingnya dan kaget sekali ketika menemukan dirinya sudah berada di depan rumahnya sendiri. Dengan panik Dina memeriksa seluruh tubuhnya dan menarik napas lega setelah menemukan kalau tidak ada barang berharga yang hilang ataupun sesuatu yang buruk telah menimpa dirinya saat dia pingsan. “Mbak?” Tiba-tiba terdengar sebuah suara yang sangat dikenal Dina, suara Sekar. “Sekar,” panggil Dina cepat dan hampir menangis. Baru kali ini Dina begitu bahagia melihat sosok wajah yang akrab dengannya itu. Sekar pun mendekat dan membantu Dina berdiri dari posisinya yang sedang duduk. Dina langsung memeluk Sekar dan mulai terisak-isak. “Sekar, tadi Mbak Dina ini ditemukan oleh Bu Ning saat sedang lewat di depan rumah ini. Kata Bu Ning, Mbak Dina pingsan tak sadarkan diri di rumput-rumput sana,” kata salah seorang bapak yang memegang sabit di tangannya dan sebuah keranjang rumput tergantung di punggungnya. “Bukannya Mbak tadi pamit mau sepedaan ya?” tanya Sekar ke arah Dina yang masih terisak-isak pelan. “Hu um, aku sepedaan sampi ujung desa, terus… terus…,” kata-kata Dina terhenti. Semua orang melihat ke arah Dina dengan tatapan penasaran. Dina menarik napas dalam dan berusaha mengumpulkan keberaniannya. “Ada nenek-nenek tua tiba-tiba muncul di depan…” “Dia menggendong sesuatu…” “Dia bilang itu anaknya…” Tapi belum sempat Dina melanjutkan ceritanya, beberapa orang yang mengelilingi Dina dan Sekar tiba-tiba saja memutar badannya dan seolah-olah terburu-buru untuk pergi. “Maaf ya Mbak Din, ini saya habis belanja dari warung, buru-buru mau balik,” kata Bu Ning dan tanpa menunggu jawaban Dina atau Sekar, dia langsung meninggalkan mereka berdua. Dina hanya terdiam melihat sikap aneh dari orang-orang di depannya. Dina pun melirik ke arah Sekar dan melihat kalau wajah gadis itu kini pucat pasi. Dina bahkan bisa melihat kalau tubuh si gadis yang seumuran dengannya itu bergetar pelan. “Sekar?” tanya Dina. Sekar seperti terperanjat kaget setelah mendengar teguran Dina barusan. “I… Iya Mbak?” tanya Sekar gugup. “Kamu kenapa?” tanya Dina. “Ndak pa-pa Mbak,” jawab Sekar. Dina pun mengajak Sekar berjalan masuk ke dalam rumah. Dan saat itulah Dina teringat kalau dia tadi sedang sepedaan. Dia pingsan di ujung desa dan bangun di depan rumahnya sendiri. Lalu sepedanya kemana? “Sekar, anterin aku ngambil sepeda yuk?” tanya Dina. “Dimana Mbak?” tanya Sekar. “Di ujung desa sana,” jawab Dina sambil menunjuk arahnya. Muka Sekar yang tadinya sudah berangsur sedikit cerah, langsung menjadi pucat pasi seketika. Dengan cepat dia menggelengkan kepalanya, “Sekar ndak berani Mbak,” jawab Sekar. Dina mengangkat alisnya. “Kenapa? Siapa sih nenek-nenek itu?” tanya Dina penasaran. “Sekar ndak tahu Mbak,” jawab Sekar sambil berlari meninggalkan Dina yang masih berdiri bengong di depan rumah.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD