“Ini gila!!” teriakPrayitno saat istrinya, Retno, pulang dan menceritakan semua yang dialaminya tadi kepada dirinya.
Prayitno jelas marah besar ketika mendengar tumbal gila yang diminta si mahluk jahanamm itu. Dia memang lelaki kampung yang miskin dan berpendidikan rendah, tapi dia masih tahu apa yang benar dan salah. Saat Rento mengatakan bahwa Kanjeng Ratu meminta tumbal ‘anak sekaligus cucu’, jelas saja dia marah besar.
Bukankah itu artinya, Prayitno harus merusak masa depan Astuti, anak kandungnya sendiri?
“Terus maumu apa?” teriak Retno tak kalah marah.
“Aku dah sabar Pak, bertahun-tahun hidup miskin seperti ini. Aku sudah muak. Aku ingin juga merasakan seperti orang lain,” teriak Retno sambil melotot ke arah suaminya.
“Bu, ini Astuti!! Anak kita!!” jawab Prayitno.
“Pengorbanan yang kecil untuk dia,” bantah Retno cepat.
Prayitno kehabisan kata-kata. Entah setan apa yang sekarang merasuki tubuh istrinya. Dia hanya bisa membanting tubuhnya ke atas dipan kayu yang ada di ruang tengah rumah mereka.
“Tunggu seminggu lagi, aku hapal jadwal anakmu,” kata Retno datar.
“Ibu!!” Prayitno kembali meradang ketika mendengar kata-kata istrinya.
Retno tak peduli dan dia pun pergi.
=====
Seminggu kemudian.
Dengan tubuh bergetar Prayitno hanya terdiam di dalam kamarnya. Dia merasa kalau hari ini adalah hari terburuk sepanjang hidupnya. Sejak seminggu lalu, setiap malam, Retno tak pernah berhenti mencekoki Prayitno dengan semua impian dan khayalan yang bisa mereka lakukan saat keadaan ekonominya berubah.
Mobil.
Rumah mewah.
Pakaian mahal.
Plesiran.
Begitu banyak mimpi yang ada di kepala sang Istri yang selama ini tak pernah diketahui oleh Prayitno. Bahkan setelah mereka menikah belasan tahun lamanya.
Prayitno masih larut dalam pikirannya yang semakin kalut ketika tiba-tiba sebuah suara ketukan terdengar di telinganya.
“Bapak, ini Tuti Pak.”
“Masuk, Nduk,” jawab Prayitno dengan suara bergetar.
Pintu kamar terbuka dan Astuti berdiri di sana, “Kata Ibu tadi sebelum berangkat ke rumah Bulik, Bapak meriang. Ibu nyuruh Tuti ngerokin punggung Bapak,” kata si gadis manis itu.
Prayitno tak menjawab dan memejamkan matanya. Dia menarik napas panjang dan berdiri dari ranjangnya.
“Maafkan Bapak, Nduk,” gumam Prayitno pelan dan berjalan mendekat ke arah putrinya.
“Bapak?” sejuta tanya terlihat di wajah Astuti yang dipenuhi kebingungan karena sikap aneh Bapaknya.
=====
Retno membuka sebuah warung kecil-kecilan yang berjualan kebutuhan sehari-hari dengan modal seadanya. Warung yang sebenarnya hanya berupa sebuah meja kayu kecil dengan seutas tali raffia yang diikatkan ke tiang rumah untuk menggantung berbagai macam barang seperti shampoo, penyedap rasa dan sejenisnya.
Sekalipun di ujung jalan yang ada di depan rumah Prayitno terdapat sebuah toko kelontong milik seorang penduduk keturunan yang jauh lebih besar dan komplit, tapi entah kenapa warung kecil Retno selalu ramai dengan pengunjung.
=====
Seorang gadis usia belasan tengah menangis di sebuah kebun yang berisi berbagai tanaman buah. Dia duduk di atas batang pohon yang tumbang dan terisak-isak tak berhenti.
“Maafkan Bapak, Nduk,” seorang lelaki yang sedari tadi memperhatikan si gadis, memberanikan diri untuk mendekat dan duduk di sebelah si gadis.Si gadis terlihat kaget dan ketakutan saat mendengar suara si laki-laki dan menjauh dengan cepat.
“Nduk…” panggil Prayitno sedih.
Astuti masih tetap menangis dan tak mau mendekat ke arah Prayitno. Mereka berdua terpaku di tempatnya. Si gadis masih terisak-isak sedangkan si laki-laki hanya bisa menundukkan kepalanya.
Waktu terus berjalan dan tak ada yang beranjak dari tempatnya. Prayitno tahu kalau sejak kejadian laknatt itu, keluarga mereka tak akan lagi sama seperti dahulu. Ada sesuatu yang telah rusak dan tak akan bisa diperbaiki lagi.
“Bapak kok tega sama Tuti?” tanya si gadis itu di sela-sela tangisannya.
Prayitno mengangkat kepalanya dan melihat ke arah putri kesayangannya itu dengan tatapan sedih,
“Bapak terpaksa, Nduk,” jawab Prayitno.
“Terpaksa seperti apa yang membuat seorang Bapak menyetubuhi paksa anak kandungnya sendiri?” teriak Astuti histeris karena dia masih tak mempercayai semua yang dialaminya ini.
Prayitno kembali menundukkan kepalanya dan terduduk di tanah ke arah Astuti. Sekalipun ada jarak beberapa meter di antara mereka berdua, Prayitno seolah sedang bersimpuh di bawah kaki sang anak, “Maafkan Bapak Nduk, Bapak khilaf, Bapak benar-benar tidak tahu harus berbuat apa lagi.”
Astuti masih menangis terisak-isak dan menatap ke arah Bapaknya yang ada di depannya. Dia tak pernah melihat sang Bapak seperti ini seumur hidupnya. Astuti mulai ragu dan sedikit yakin kalau Bapak benar-benar menyesal telah melakukan perbuatan keji itu. Tapi, tak akan ada hujan tanpa angin, tak akan ada asap tanpa api, sebuah pertanyaan besar masih tak terjawab di kepalanya dan itulah yang membuat Astuti galau selama beberapa hari belakangan ini.
Apa yang membuat Bapaknya sendiri yang selama ini selalu menyayangi Astuti tega melakukan perbuatan seperti itu?
“Kenapa Pak? Tuti ingin tahu alasannya,” tanya Astuti lirih beberapa menit kemudian.
Tanpa mengangkat kepalanya, tanpa berani menatap anaknya, Prayitno mulai menceritakan semuanya. Tentang ulah Retno yang setiap hari selalu tak merasa puas dengan kehidupan mereka.Tentang keirian Retno saat melihat pakaian bagusdan mahal yang dipakai oleh tetangga mereka.Tentang ide gila Retno yang menginginkan kekayaan dengan cara mudah yang entah dia ketahui darimana.Tentang pertemuan Retno dengan sang Dukun yang menjadi dalang dari semua pesugihan ini.Tentang tumbal yang diminta oleh mahluk gaib yang berjanji akan mengabulkan keinginan Retno.Tentang alasan kenapa Prayitno melakukan kelakuan kejinya kepada anak kandungnya sendiri.
“Semua ini ide Ibu?” tanya Astuti setengah tak percaya.
Prayitno menggelengkan kepalanya, “Bukan salah Ibumu, Nduk. Seandainya Bapak bisa mencukupi semua kebutuhan hidup kalian, Ibumu tak akan mengambil jalan pintas seperti ini,” keluh Prayitno.
Astuti hanya tertegun diam.
Peristiwa mengenaskan dan mengerikan itu memang telah berlangsung sebulan lalu. Astuti berusaha menguburnya dalam-dalam dan menjadi sangat benci dengan orang yang selama ini dipanggilnya Bapak. Tapi setelah mendengar semua cerita dari mulut laki-laki yang paling dibencinya itu,Astuti kini kebingungan dan tak tahu harus mengambil sikap seperti apa.
Astuti tak pernah menyangka kalaujustru Ibunya lah yang telah membuat Astuti merasakan semua kesedihan dan tangis yang selama sebulan ini dia ratapi.
Astuti bahkan sempat ikut senang dan bahagia saat usaha kecil-kecilan Ibunya setiap hari makin berkembang. Dia juga sempat meminta sang Ibu untuk menceraikan Bapak, toh mereka sudah mampu mencukupi kebutuhan mereka sendiri dengan warung sang Ibu.
Saat ditanya apa alasannya, Astuti hanya terdiam dan tak mau berbicara. Dia hanya terus meminta agar Ibu menceraikan Bapak, tanpa pernah bercerita tentang kejadian pilu hari itu.
Itu saja.
Astuti tak ingin Ibu bersedih saat mengetahui apa yang dilakukan oleh Bapak kepada anak kandungnya sendiri.Tapi kini, Astuti kebingungan. Jika memang semua yang diceritakan Bapak benar, bukankah otak dari semua ini justru Ibu?
Tunggu? Apakah semua ini benar-benar seperti yang dikatakan oleh Bapak?
Apakah laki-laki ini tidak sedang memutarbalikkan fakta?
Kepala gadis desa yang lugu itu terasa pecah ketika memikirkan semua hal yang menimpanya. Dia tak tahu mana yang harus dia percayai lagi. Meskipun saat ini,ada satu hal yang pasti, ada seorang laki-laki yang sedang menangis dan bersimpuh di hadapannya.
Haruskah dia memaafkan laki-laki ini? Laki-laki yang telah merenggut masa depannya? Masa depan anak kandungnya sendiri?
Tuti bimbang dan ragu.
“Cukup Pak, Tuti pusing. Tuti tak tahu apa yang harus dipercayai lagi. Kenapa kalian begitu tega melakukan ini ke Tuti?”
Astuti tak peduli lagi. Dia bingung dan tak tahu mana yang harus dipercayai. Dia berdiri lalu berlari meninggalkan Prayitno yang masih bersimpuh dan mengharapkan maaf dari putrinya.
Astuti mendengar Bapak memanggilnya tapi dia tak peduli. Dia terus berlari meninggalkan tempat ini. Sebisa mungkin dia ingin menghapus semua bayangan kelam dan menakutkan yang selalu menghantuinya sejak kejadian itu.
Prayitno masih tetap bersimpuh di tempatnya. Dia sedih karena telah mengecewakan anak kandungnya sendiri, seorang anak yang seharusnya dia lindungi.
“Aku gagal sebagai seorang lelaki dan aku gagal sebagai seorang bapak ….” gumam Prayitno lirih saat melihat anak gadisnya berlari tanpa mau memaafkan dirinya.