BAB 9

1749 Words
“Setelah pameran ini, kamu mau kerja apa lagi?” “Ada pameran lain, Om. Kamis mulai.” “Di mana?” “Mall East Cost, make-up dan perawatan rambut.” “Berapa hari?” “Hanya sampai Minggu.” Liam menyantap nasi kucingnya dengan lahap. Dalam sekejap, empat bungkus kecil berisi nasi dan lauk sederhana sudah habis dilahapnya, lengkap dengan beberapa tusuk sate dan segelas kopi tubruk yang mengepul hangat. Kebersamaannya dengan Kamari selalu membawa hal-hal baru yang tak pernah terbayangkan sebelumnya. Liam, yang dulunya enggan makan di pinggir jalan, kini merasa tempat dan suasana tidak lagi jadi masalah. Selama Kamari ada di sisinya, ia merasa bisa menikmati segala sesuatu di mana pun dan kapan pun. Malam ini, Kamari-lah yang mengusulkan untuk kembali menikmati nasi kucing di angkringan, sebuah pengalaman yang penuh kenangan. Dulu, mereka sering melakukan hal yang sama, bercanda ringan sambil berbagi cerita di bawah lampu jalan yang temaram. Kini, mereka sedang mengulang momen-momen itu, membawa kembali rasa hangat dan akrab yang selalu hadir di antara mereka. “Selama nunggu kerjaan baru, biasa ngapain?” “Kalau lagi nggak ada kerjaan, kuliah dengan benar. Tapi, karena ini lagi libur, palingan aku cari kerjaan sampingan.” “Contohnya?” “Eh, temani orang kencan.” Liam terbatuk-batuk, dan hampir tersedak. Kamari mengulurkan air mineral dan ia meneguknya. Menghela napas panjang, kembali menatap Kamari dengan pandangan bertanya-tanya. “Maksudnya temani orang kencan itu gimana?” Kamari tersenyum. “Misal, ada yang minta ditemani nonton —” “Nggak boleh!” sanggah Liam keras. “Bisa-bisanya kamu kerja gituan.” “Kenapa, Om? Duitnya lumayan, loh. Sering juga dapat makan gratis. Apalagi, kalau orangnya lagi galau. Cukup dengerin dia ngoceh, aku makan aja.” “Gimana kalau ketemu yang kurang ajar? Mau pegang-pegang kamu?” Kamari tertawa lirih, makan sate usus sambil mencecap nikmat. “Aku selalu ada batasan, sih. Misal, nonton nggak mau sama cowok, kalau makan atau temani kondangan oke aja.” “Temani kondangan, diaku pacar?” “Terserah dia, nggak simpan nomor juga. Ada perantaranya. Intinya, bisa nyambung hidup dan klienku rata-rata masih anak muda, aku nggak terima om-om.” Nafsu makan Liam hilang seketika. Nasi kucing yang tersisa di tangannya kini terasa hambar. Ia masih berusaha mencerna kenyataan tentang gaya hidup Kamari, gadis yang selalu tampak tangguh dan ceria, tetapi ternyata menjalani banyak pekerjaan aneh demi uang. Liam tidak habis pikir, mengapa Kamari memilih jalan seperti itu. Ia tahu mungkin jumlah uang yang didapat tidak seberapa, tapi risikonya? Terlalu besar. Meski demikian, ia menahan diri untuk tidak menghakimi atau menyebutkan hal-hal tentang norma atau moralitas. Liam tahu, ia tidak punya hak untuk menilai, apalagi tanpa benar-benar memahami apa yang telah dilewati Kamari selama ini. Mungkin hidupnya penuh tekanan dan kebutuhan yang mendesak. Tapi, pekerjaan seperti menemani orang kencan? Baginya, itu sungguh tidak masuk akal. Pikirannya berkecamuk. Di satu sisi, ia ingin memarahi Kamari, tapi di sisi lain, ia hanya ingin tahu apa yang membuatnya mengambil keputusan itu. “Kamari, kenapa kamu nggak coba magang di tempat yang lain?” “Contohnya apa, Om? Aku harus bagi waktu sama kuliah.” “Restoran?” Kamari menggeleng. “Ini bukan di luar negeri, Om. Anak muda bisa kerja part time. Semua restoran atau minimarket, maunya kerja full time. Aku mana bisa.” Liam terdiam, membenarkan perkataan Kamari. Di sini memang susah untuk mendapatkan kerja part time. Kalau pun ada, biasanya tidak banyak jenisnya. Dari lesehan tempat mereka duduk, terlihat jalanan yang mulai lengang. Angkringan masih banyak pengunjung meskipun waktu sudah menunjukkan lewat tengah malam. Aroma sate yang dibakar, berbaur dengan wedang jahe. Liam melihat Kamari hanya makan dua nasi, selebihnya menghabiskan sisa sate yang mereka pesan. Wajah gadis itu terlihat lelah, meski begitu tidak mengurangi kecantikannya. Sering kali Liam merasa heran setiap melihat Kamari yang sekarang. Gadis yang dulu ia kenal sebagai sosok imut dan menggemaskan kini telah berubah menjadi wanita anggun dengan aura yang memancarkan daya tarik yang sulit diabaikan. Meski pakaian yang dikenakan Kamari selalu sopan dan jauh dari kesan berlebihan, pesonanya tetap begitu kuat, seolah ia mampu memikat tanpa perlu mengumbar apa pun. Namun, perubahan ini tak hanya membuat Liam kagum, tetapi juga gelisah. Ia sulit menerima kenyataan bahwa Kamari kerap menghabiskan waktu dengan para lelaki muda yang iseng dan kesepian, berpura-pura menjadi kekasih mereka demi uang. Membayangkan gadis itu tersenyum manis, bersikap mesra dengan mereka, membuat darah Liam mendidih. Ia merasa marah, bingung, dan tidak berdaya. Di balik perubahan Kamari yang memesona, ada sisi lain yang membuat Liam bertanya-tanya: apa yang telah membuatnya mengambil jalan ini? “Minggu ini kamu ada kerjaan lain?” tanyanya. Kamari menggeleng. “Nggak ada Om, istirahat aja dan persiapan semester baru.” “Baguslah.” “Kenapa emangnya, Om?” tanya Kamari bingung. “Karena, kalau kamu sampai ada kerjaan temani orang-orang iseng, aku janji akan bikin kerjaan kamu gagal!” Kamari menatap Liam dengan pandangan bingung, matanya membesar saat melihat ekspresi wajah laki-laki itu yang mengeras. Ia tidak habis pikir, apa yang sebenarnya membuat Liam begitu marah? Apakah mereka salah paham tentang sesuatu? Bukankah ia sudah berkata jujur tentang pekerjaannya? Selama yang ia lakukan tidak melanggar hukum, seharusnya tidak ada yang perlu dipermasalahkan. Toh, ia hanya mencari nafkah dengan cara yang menurutnya sah-sah saja. Namun, sikap Liam terasa aneh bagi Kamari. Pria itu bertingkah seperti kekasih yang protektif, bahkan hampir posesif. Padahal, apa sebenarnya hubungan mereka? Di antara mereka berdua, tidak ada apa-apa selain kenangan masa lalu sebagai teman lama yang kini bertemu kembali. Kamari menghela napas pelan, mencoba menenangkan pikirannya. Mengapa Liam begitu terpaku pada pekerjaannya? Apakah ini soal prinsip, atau mungkin Liam menyimpan sesuatu yang lebih dalam di hatinya? Pertanyaan-pertanyaan itu terus mengganggu pikirannya. “Om, jangan galak-galak. Nanti susah dapat istri, pada takut soalnya.” Liam menatap Kamari, meraih lengan gadis itu dan menariknya. Kamari terbelalak saat wajah mereka hampir berbenturan. Untung saja ia bisa menahan diri dan kini, jarak wajah mereka tak lebih dari tiga sentimeter. Ia melirik sekitar yang ramai, lalu meneguk ludah. “Om, ingat tempat. Di sini ramai.” Liam tersenyum kecil. “Oh, jadi kamu nggak keberatan kalau kita hanya berduaan di tempat yang sepi?” “Bu-bukan begitu, paling nggak jaga wibawa. Om itu direktur perusahaan besar. Kayak abege aja.” “Memangnya aku peduli dengan pandangan orang? Lagi pula, palingan orang-orang itu lagi mikir, kalau kita pasangan yang sedang kasmaran, nggak lihat-Iihat tempat untuk bermesraan. Bagaimana kalau kita ciuman?” Kamari terbelalak, dengan wajah memanas. Senyum Liam terlihat mengejek. Ia meneguk ludah, menahan gugup. Mana boleh mereka sedekat ini, apalagi di tempat umum. Harusnya, Liam bisa tahan diri untuk tidak menggodanya. Kamari menggigit bibir bawah tanpa sadar. Saat begini, kenangan masa lalu mereka berkelebat di otaknya. Dulu ia pernah diam-diam mengamati wajah Liam saat laki-laki itu tertidur di sofa. Dengan keberanian yang entah datang dari mana, ia berjongkok di samping sofa dan mengamati Liam yang pulas. Mengagumi wajah tampan, alis lebat, dan bibirnya yang setengah terbuka. Kamari kecil bahkan punya pikiran, bagaimana rasanya kalau mencium laki-laki itu. Sebuah niat kotor yang tercetus dari dalam hati, membuatnya malu setengah mati dan merasa sangat berdosa. Akhirnya, memilih untuk pergi sambil memukul sisi kepalanya. Wajah yang dulu pernah masuk dalam fantasy kecilnya, kini berada sangat dekat. Mereka dalam keadaan sama-sama sadar, dan tidak ada yang sedang tertidur. Tidak ada yang salah kalau saling mengecup. “Kamari ...” “Ya?” “Jangan basahi bibir, jangan mincing-mancing aku.” “Eh, Om ...” “Permisi, Kakak, Om, kami mau menghibur dengan nyanyian.” Mereka berdua terlonjak, mengalihkan pandangan pada sekelompok pemuda yang menatap keduanya dengan senyum tanpa dosa. Liam buru-buru melepaskan pegangannya di lengan Kamari dan berdehem lalu mengangguk pada para pengamen itu. Kamari menunduk, merapikan rambutnya, lalu menandaskan sisa teh pocinya. Ia tidak tahu apakah harus bersyukur atau marah dengan gangguan para pengamen. Selama jantung ini berdetak, kuakan selalu menjagamu hingga akhir waktu. Selama napas ini berembus, tak akan ada cinta yang lain, hingga tua bersama. Mereka menyanyikan lagu cinta, sayangnya tidak ada kesan romantis karena dibuat versi koplo. Namun, Kamari jujur mengatakan kalau suara para pengamen itu sangat merdu. Satu buah lagu dinyanyikan hingga selesai, para pengamen menerima uang dari Liam dengan mata berbinar. “Terima kasih, Kakak.” “Semoga sehat selalu dan langgeng hubungan dengan istrinya.” Liam tersenyum simpul sementara Kamari terkikik. Sungguh lucu melihat para pengamen itu mengira mereka adalah pasangan suami istri. Apakah pandangan orang yang lain juga sama seperti para pengamen itu? Apakah mereka terlalu mesra sampai-sampai orang salah paham? Kamari tidak mengerti. Liam mengantarnya pulang sampai ke depan kos seperti biasa. Ini adalah hari terakhir laki-laki itu bisa mengantarnya. Esok hari, entah bagaimana mereka bisa bertemu lagi. “Udah sepi banget jalanan di sini,” ucap Liam saat kendaraan berhenti di depan kos. “Om, ini jam satu lewat. Wajar kalau sepi.” “Iya, juga. Justru aneh kalau masih ramai orang.” Kamari membuka sabuk pengaman dan tersenyum sambil mengedipkan sebelah mata. “Terima kasih, Om. Udah diantar dan dikasih makan sampai kenyang. Terima kasih juga untuk bingkisannya.” Ia mengambil bingkisan yang diletakkan di bawah kakinya dan bersiap-siap keluar. “Tunggu, kamu belum bayar pajak,” ucap Liam. Kamari mengernyit heran. “Bayar pajak apaan, Om?” “Pajak pertemuan. Aku udah jemput kamu, traktir makan, sudah sewajarnya kamu bayar pajak pelayanan.” “Eh, maksudnya bagaimana?” Liam tersenyum, meraih bagian belakang kepala Kamari dan melayangkan kecupan di bibir gadis itu. Kali ini bukan kecupan ringan seperti yang pertama, melainkan sentuhan agak lama dari bibir ke bibir. Liam bahkan mengulum ringan bibir bawah Kamari dan membuat gadis itu terbelalak. “Yah, sudah, Terima kasih atas pajaknya yang dibayar tepat waktu. Turun sana, mandi dan istirahat.” Kamari turun dari kendaraan dengan langkah linglung, pikirannya masih kacau oleh apa yang baru saja terjadi. Liam, tanpa peringatan, bukan hanya mengecup bibirnya, tapi juga mengulum lembut seolah ingin mengungkapkan sesuatu yang tak terucapkan. Sensasi itu masih tertinggal, samar namun nyata, membuat bibirnya terasa hangat meski udara malam cukup dingin. Kamari bahkan tidak sempat menghindar; semua terjadi terlalu cepat, seperti kilat yang menyambar tanpa aba-aba. Ia melambaikan tangan dengan kikuk saat kendaraan Liam perlahan melaju, meninggalkannya berdiri bingung di depan gerbang rumah. Dadanya sesak oleh tanya, mencoba memahami apa yang sebenarnya dipikirkan Liam. Apakah laki-laki itu selalu bersikap mesra seperti ini kepada perempuan yang dekat dengannya? Atau, mungkinkah ada sesuatu yang berbeda dalam perlakuannya terhadap dirinya? Pikiran itu membuat Kamari gelisah. Di antara rasa bingung dan harapan samar, ia merasa dirinya terjebak di ujung kebimbangan yang tak kunjung reda.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD